/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
"Aduh, Lia! Lo itu kayak bidadari turun dari langit, tapi kenapa hatinya kayak batu es yang dibekuin di freezer 10 tahun, sih?"
Suara cempreng Rina, sahabat paling cerewet Aurelia Safira, langsung memenuhi sudut coffee shop yang lagi lumayan sepi itu. Di depan Lia, ada dua cewek lain, Shasa dan Dara, yang kompak ngangguk setuju sambil nyeruput iced latte mereka.
Lia, si empunya nama, cuma bisa mutar bola mata. Dia udah tahu banget ke mana arah pembicaraan ini. Lagi-lagi, topik tentang 'kebekuan hati' Lia. Gimana nggak beku? Sampai usianya menginjak 19 tahun-usia yang seharusnya lagi hot-hotnya ngerasain cinta monyet atau bahkan cinta serius-Lia itu zero. Nol besar. Nggak pernah naksir siapa-siapa, apalagi sampai jatuh cinta.
"Bisa nggak sih, sehari aja kita nggak bahas soal status jomblo abadi gue?" Lia menyandarkan punggungnya ke sofa kulit, memajukan bibir, ekspresinya murni bete. Dia cantik, beneran cantik parah. Kulitnya putih bersih, rambut hitam panjangnya ikal alami, dan matanya itu lho, kayak ada bintangnya. Cowok mana yang nggak nengok kalau dia lewat? Masalahnya, tatapan mata itu selalu datar kalau udah menyangkut urusan asmara.
Shasa, yang lebih bijak, mencoba menjelaskan. "Bukan gitu, Sayang. Kita gemes! Lo kuliah udah semester tiga. Sejuta cowok ganteng di kampus udah ngantri dari Maba sampai BEM, tapi lo tolak semua. Alasannya selalu sama: 'Gue nggak ada rasa.'"
"Ya, terus kenapa? Emang salah kalau gue nggak mau pacaran cuma buat ikut-ikutan tren?" Lia membela diri. Jauh di lubuk hatinya, dia memang merasa ada yang salah. Semua temannya heboh kalau udah bahas gebetan, crush, atau drama putus-nyambung. Lia? Dia cuma bisa dengerin, nggak pernah bisa ikutan ngerasain deg-degan atau sakit hati yang mereka ceritain. Rasanya kayak dia datang dari planet lain yang nggak punya gravitasi emosi.
Dara, yang biasanya pendiam, tiba-tiba pasang tampang serius. "Kita tahu lo nggak pernah jatuh cinta karena lo belum pernah beneran ngerasain momen 'terbang'. Lo terlalu jaga jarak, Lia. Lo harus take a risk."
Lia ketawa sinis. "Take a risk? Maksud lo, gue harus loncat dari lantai sepuluh?"
Rina, si biang kerok, langsung menjulurkan tangan ke tengah meja, menampakkan senyum iblisnya. Matanya berbinar penuh rencana jahat.
"Nggak perlu loncat dari gedung, Honey. Tapi, lo harus buktiin ke kita kalau lo bisa ngerasain sesuatu, minimal ketertarikan fisik yang gila, sekali aja. Atau lo selamanya bakal kita cap sebagai Ice Queen yang cuma peduli sama buku sama tugas."
"Gila, lo nantang gue?" Lia menantang balik, tapi ada sedikit rasa takut dan penasaran yang mulai merayap di dadanya.
Tantangan itu, singkatnya, adalah tentang sebuah tempat yang nggak sembarangan.
"Lo tahu 'Elysium', kan?" tanya Rina, suaranya pelan dan misterius, seperti menyebut nama dewa yang tersembunyi.
Lia mengernyit. Tentu dia tahu. Elysium bukan kelab biasa. Itu adalah private lounge super eksklusif di lantai paling atas gedung pencakar langit yang terkenal hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu-para pebisnis gila, seniman nyentrik, dan orang-orang super kaya yang nggak pengen diganggu. Tempat itu terkenal gelap, musiknya lembut tapi menggoda, dan katanya, di sana nggak ada aturan.
"Terus?" tanya Lia.
"Tantangannya gini. Malam minggu besok, lo datang sendirian ke sana. Lo harus dandan total, dress up yang paling gila yang lo punya. Dan lo harus bawa pulang cerita. Cerita kalau lo udah ngerasain sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat lo lupa diri. Sesuatu yang membuat lo ngerasa lo bukan lagi Lia yang kaku," jelas Rina, menekan kata 'sesuatu' dengan sangat ambigu.
Shasa menimpali, nadanya sedikit khawatir. "Lia, dengerin. Ini cuma tantangan buat unlock emosi lo, bukan buat nyari jodoh. Lo harus tunjukkin ke diri lo sendiri, lo itu cewek normal, bukan robot. Kalau lo nggak berani, kita nggak maksa, kok."
Gengsi Lia langsung naik sampai ubun-ubun. Dicap sebagai 'bukan cewek normal' gara-gara nggak bisa jatuh cinta? Nggak, itu nggak bisa dia terima. Dia bisa ngerasain emosi! Dia bisa marah, bisa sedih, bisa senang! Cuma urusan cinta aja yang jadi misteri buat dia.
"Oke. Deal," kata Lia cepat, suaranya mantap, meski tangannya di bawah meja udah dingin sedingin es. "Tapi denger ya, kalau gue berhasil, kalian nggak boleh bahas soal Ice Queen lagi selama setahun ke depan."
Rina, Shasa, dan Dara langsung bersorak kemenangan, seolah mereka baru aja berhasil menjual tiket ke neraka buat Lia.
Malam itu datang. Malam yang dijanjikan, malam yang ditakdirkan untuk mengubah segalanya dalam hidup Aurelia Safira.
Sejak sore, Lia udah kayak kesurupan. Dia bukan tipe cewek yang suka dandan menor atau pakai baju seksi. Paling pol, dia cuma pakai jeans dan oversized hoodie buat ke kampus. Tapi malam ini, dia memaksa dirinya. Dia menarik keluar little black dress yang belum pernah dia pakai, gaun sutra yang memeluk lekuk tubuhnya dengan elegan dan hanya ditutupi sedikit kain. Backless, parah.
Dia mematut dirinya di depan cermin. Ada sensasi aneh yang menjalar, campuran rasa cemas, rasa bersalah, dan yang paling aneh, rasa penasaran yang menggebu-gebu.
"Aurelia, lo itu mau ngapain sih?" gumamnya pada bayangan di cermin.
"Lo mau buktiin ke mereka kalau lo bisa ngerasain 'sesuatu'. Tapi... gimana caranya?"
Lia menghela napas panjang. Dia nggak punya rencana. Rencana Lia cuma satu: datang, cari cowok yang good looking tapi nggak mencurigakan, ngobrol sebentar, dan... melakukan sesuatu yang bisa dia ceritain ke teman-temannya besok pagi. Tapi, apa yang disebut 'sesuatu' itu? Apa cukup cuma pegangan tangan? Atau ciuman? Jantungnya mulai berdebar kencang, dan itu bukan karena rasa cinta, tapi murni karena rasa takut dan adrenalin.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengoleskan lipstik merah gelap, warna yang benar-benar asing di wajahnya. Selesai. Di depannya berdiri seorang Aurelia yang baru, seorang Aurelia yang siap berbohong pada dirinya sendiri demi sebuah tantangan gila.
Dia memesan taksi online. Sepanjang perjalanan ke gedung megah itu, Lia terus-terusan mengamati lampu jalanan. Perutnya serasa diaduk. Dia mulai menyesal. Seharusnya dia nggak usah sok berani menerima tantangan Rina si iblis itu. Tapi, mobil taksi itu sudah berhenti.
Di depannya, berdiri sebuah gedung kaca menjulang tinggi, yang puncaknya diselimuti kabut malam. Di sanalah Elysium berada.
Melangkah masuk ke Elysium, Lia merasa seperti masuk ke dimensi lain.
Semuanya gelap. Bukan gelap menyeramkan, tapi gelap yang mewah dan intim. Penerangan hanya datang dari lampu sorot berwarna amber yang diarahkan ke dinding bertekstur, dan dari lampu-lampu kristal rendah di bar. Aromanya mahal: campuran wiski tua, parfum desainer, dan udara dingin AC. Musiknya, ya Tuhan, musiknya itu. Slow jazz dengan ritme yang sangat lambat, sensual, dan seperti bisikan.
Lia, yang selalu merasa nyaman di keramaian kampus, mendadak merasa asing di sini. Semua orang di sana seolah punya cerita rahasia yang terukir di raut wajah mereka. Mereka semua cantik, tampan, dan yang paling penting, terlihat berbahaya.
Dia berjalan menuju bar dan memesan mocktail paling manis yang ada. Dia nggak mau minum alkohol; dia perlu kesadaran penuh untuk menjalankan misi bunuh dirinya ini.
Dia duduk di kursi tinggi. Sendirian, dengan punggung telanjang terekspos gaun backless-nya, Lia adalah target empuk. Dan benar saja, baru lima menit dia duduk, seorang pria-paruh baya, dengan jas mahal dan cincin emas tebal-sudah berdiri di sampingnya.
"Malam, Cantik. Sendirian?" suara bariton yang berat itu terdengar menjijikkan di telinga Lia.
Lia tersenyum tipis-senyum yang paling dingin yang bisa dia berikan. "Malam. Nggak, saya lagi nunggu teman."
Pria itu mundur, wajahnya menunjukkan kekalahan. Lia menghela napas lega. Phew. Ini lebih susah dari yang dia bayangin. Tantangannya bukan cuma soal berani, tapi soal berani di tempat yang isinya orang-orang dengan niat yang kayaknya cuma satu: bersenang-senang tanpa batas.
Dia melirik jam tangannya. Baru pukul sembilan. Dia harus bertahan setidaknya sampai tengah malam, atau Rina pasti akan menganggapnya gagal total.
Lia mulai memaksakan diri untuk melihat sekeliling, mencari 'target' yang kira-kira bisa diajak ngobrol santai tanpa harus menjual jiwanya. Matanya menyapu deretan sofa beludru, kemudian berhenti di sebuah sudut yang paling gelap dan paling jauh dari keramaian.
/0/29970/coverorgin.jpg?v=8468e320cc264639e38e064c33f62408&imageMogr2/format/webp)
/0/8523/coverorgin.jpg?v=db62730b9b480114cf51a5d41c6d41c7&imageMogr2/format/webp)
/0/10280/coverorgin.jpg?v=720740195ee454df06c4ac25d01a910a&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/3577/coverorgin.jpg?v=9a10b40436f7abf9f3b857b8ccdd06e1&imageMogr2/format/webp)
/0/2271/coverorgin.jpg?v=cee7b8f96f143390feaac003409d6d7f&imageMogr2/format/webp)
/0/5790/coverorgin.jpg?v=9af903677fa8001e4c6d90e49bf62d0a&imageMogr2/format/webp)
/0/7843/coverorgin.jpg?v=fd5abd8393c59ee69f53adb1cf5258c0&imageMogr2/format/webp)
/0/10720/coverorgin.jpg?v=20250122182816&imageMogr2/format/webp)
/0/17221/coverorgin.jpg?v=b9ad6680c7d9af69bd74c67906ede212&imageMogr2/format/webp)
/0/16214/coverorgin.jpg?v=bd3cc26a627eb974d7232f0cb9cd42dc&imageMogr2/format/webp)
/0/17031/coverorgin.jpg?v=18ee657678e2e7004ead498855e82b31&imageMogr2/format/webp)
/0/2878/coverorgin.jpg?v=bda6231cfef7a8dedc7ed2cfadfb00ca&imageMogr2/format/webp)
/0/13618/coverorgin.jpg?v=aab15d9bad99d5a408270c875b6054a0&imageMogr2/format/webp)
/0/13077/coverorgin.jpg?v=d8e07ba3c12f28a16dbd6bc435d73ff8&imageMogr2/format/webp)
/0/15325/coverorgin.jpg?v=bc443b2fe4f706c1171c34a92edb313f&imageMogr2/format/webp)
/0/20480/coverorgin.jpg?v=7c7b8129708782ea9a0782b7c54d26a7&imageMogr2/format/webp)
/0/28867/coverorgin.jpg?v=7b0e6024e1de511891092aedce1d1655&imageMogr2/format/webp)