Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Toloong!" Seorang anak yang sedang bergelantungan di pipa sandaran jembatan berteriak panik. Tangisnya pecah karena ketakutan.
"'Tolooong," teriaknya parau, mulai putus asa.
Jalanan tampak sepi, tidak ada orang yang lewat. Tangannya yang sudah lama bergelantungan semakin lama semakin melemah. Dia menangis, tidak ada yang datang.
HUP
Matanya membuka sempurna saat merasakan tangan hangat yang memegang tangannya erat.
"Aku akan membantumu."
Isak tangis masih terdengar dari mulutnya, seakan tidak memercayai penglihatannya. Penyelamatnya telah datang.
"Kalau kau menangis, aku akan pergi." Si penolong bergumam mengancam, membuatnya segera menghentikan tangis, meski isak kecil masih terdengar sesekali.
"Sekarang aku akan menarikmu."
Dia mengangguk dan mengeratkan pegangan. Si penolong menariknya keluar dari jambatan, meski sulit mereka akhirnya berhasil. Keduanya terlentang di badan aspal. Rintik hujan sesekali mengenai wajah mereka.
"Terima kasih," gumamnya penuh terima kasih kepada penolongnya.
Si penolong memalingkan pandangan. Dia tersenyum dan kembali memandang langit yang dihiasi awan gelap.
Terima kasih, batinnya sekali lagi menatap wajah penolongnya dan menanamnya dalam memori terbaiknya.
***
Kedua matanya membuka sempurna. Sesaat dia terlihat kebingungan sampai sebuah suara berhasil menarik kesadarannya yang berserakan.
"Arum, bangun Sayang, hari ini kamu harus ke kampus!"
Gadis yang dipanggil Arum tengah bergelung dengan selimut tebalnya. Sepasang visual tajamnya kini menatap pintu kamarnya yang tengah digedor oleh bundanya.
"ARUUM!"
Teriakan penuh peringatan itu membuat kesadarannya pulih dalam sekejap. Dia bangun dan segera menyingkap selimut tebalnya. Bergegas masuk kamar mandi dan tenggelam di dalamnya atau kalau tidak, dia harus bersiap-siap mendengar omelan yang pasti akan membuat gendang telinganya bermasalah.
"Hari ini ada pertemuan bukan?"
Arum mengangguk mendengar pertanyaan bundanya begitu dia menginjakkan kaki di ruang makan keluarga. Sudah ada ayah, dan juga adiknya yang siap dengan sarapan paginya.
"Iya, Bunda," balasnya setelah mengambil kursi. Tangannya dengan cekatan menyendok nasi ke dalam piring.
"Pasti pertemuan buat ngeluarin kakak 'kan?"
Arum melotot mendengar ucapan adiknya. Ini anak gak ada sopan-sopannya sama kakak sendiri.
"Enak saja, mana ada yang berani ngeluarin kakak dari kampus," ujarnya bangga. Dia mengibas rambut panjangnya dengan angkuh.
"Ya ampuun, kakak tuh udah 7 tahun kuliah tapi gak lulus-lulus, loh. Apalagi kalau bukan mau ngeluarin surat DO," ucap adiknya menyeringai. Matanya berbinar penuh humor membuat Arum mendecak kesal.
"Ih, ngimpi. Gak mungkin," serunya yakin.
"Sudah, selesaikan sarapan kalian. Hari ini Ayah yang akan mengantar kakakmu." Ayah mereka membuka suara, menengahi pertengkaran yang selalu menghiasi meja makan setiap harinya.
Arum menelan ludah susah payah mendengar penuturan ayahnya. Kalau sudah seperti ini berarti hanya satu hal. Ayahnya mau bicara serius dengannya. Arum melirik bundanya untuk mencari petunjuk, namun bunda Arum hanya menggeleng. Arum mengernyit. Apa yang ingin ayahnya bicarakan sampai bundanya sendiri tidak tahu?
"Ayo!"
Arum bergegas berdiri, mencium bundanya dan buru-buru mengikuti jejak ayahnya. Arum menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki mobil yang di supiri ayahnya, bersiap dengan apa pun yang akan dia terima.
"Apa yang ingin Ayah bicarakan?" tanya Arum begitu dia duduk nyaman di mobil. Dia tidak suka dibuat penasaran. Dia tahu, keadaan seperti ini terjadi hanya jika ayahnya ingin bicara serius.
Ayah Arum melirik putrinya sekilas sebelum mulai menyalakan mesin mobil dan membelah jalanan. "Ayah mau tahun ini kamu sudah lulus kuliah, Arum."
Arum melotot. Loh, kenapa tiba-tiba dia didesak seperti ini? "Tapi kenapa, Yah?" tanyanya bingung. Selama ini kedua orang tuanya tidak pernah keberatan dengan kuliahnya yang tidak kunjung lulus. Jadi kenapa hari ini tiba-tiba berubah? Ada angin ribut apa yang datang menerpa kepala ayahnya?
Ayah Arum balik melotot tidak percaya. "Arum, kalau kamu lupa ini tahun ke-7 kamu kuliah di sana? Mau sampai kapan kamu di sana? Adikmu sudah mau wisuda sedangkan kamu ...," Ayah Arum mendesah frustrasi membuat Arum memberengut.
"Pokoknya Ayah tidak mau tahu, tahun ini kamu harus lulus. Jika tidak ...,"
Arum menunggu dengan was-was.
"Terpaksa kamu harus membiayai semua pengeluaranmu, itu termasuk biaya hidup dan juga biaya kuliah, dan satu lagi ...," Ayah Arum melirik putrinya sekilas. "Kamu tidak akan tinggal di rumah jika tahun ini tidak lulus."
"WHATT!!" pekiknya terkejut, menatap ayahnya seakan tidak pernah melihatnya. Ayahnya pasti bercanda kan?
"Ayah ... serius?" cicitnya diantara deru mobil yang melintas. Ayolah, bagaimana mungkin ayahnya tega membuat keputusan kejam seperti itu pada putri semata wayangnya. Putrinya yang cantik ini akan tinggal di mana kalau dia diusir?
"Dua rius malahan, Kamu itu sudah tua Arum, teman-temanmu sudah pada menikah dan bekerja sementara kamu ...." Ayah Arum kembali menggantung kalimatnya. Pandangannya yang putus asa, mau tidak mau membuat Arum memutar mata. Bukan salahnya kan jika dia tidak lulus sampai sekarang? Dan lagi, dia belum setua itu. Wajah imut begini mana bisa dikatakan tua?
"Hari ini kamu temui dekanat. Ayah sudah meminta bantuannya. Ayah mau kamu lulus tahun ini, itu jika kamu masih mau tinggal di rumah."
Arum menggerutu tanpa kata. Dia mimpi apa sih semalam sampai menerima berita horor ini saat cuaca sedang begitu cerahnya?
Sepanjang perjalanan tidak ada lagi pembicaraan. Arum yang terlalu kesal dengan ultimatum ayahnya hanya bisa mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu tanpa suara. Begitu memasuki halaman kampusnya, Arum keluar setelah menatap ayahnya dengan tatapan jengkelnya.
Arum bergegas memasuki ruang dekanat dan menyiapkan diri pada berita buruk berikutnya yang akan dia terima.
"Apa kamu tahu kenapa kamu di sini?" Adalah pertanyaan pertama yang dia terima setelah berbasa-basi dengan dekan fakultasnya.