Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
POV Amanda
“Jika kau setuju, maka aku akan membantumu membayar uang jaminan untuk bebas dan menyewa seorang pengacara yang hebat untuknya.”
Aku tertegun menatap seorang pria asing yang menawarkan kemurahan hatinya padaku sekarang. Dia tidak sengaja mendengar percakapanku dengan Andrew Fletcher—kakakku, melalui telepon seluler tadi. Si idiot itu sedang ditahan di kantor polisi bersama dua orang temannya yang lain karena kasus pengeroyokan di klub Red Flame.
“Bolehkah aku duduk?” tanyanya kemudian.
Aku langsung tersentak, lantas mengiyakan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan menungguku ke depannya. Ada sesuatu dalam nada bicara pria itu yang terasa memprovokasi batas privasiku. Dia menciptakan persepsi bahwa dia sosok yang gemar mendominasi setiap orang hanya lewat caranya mengerling dan itu membuatku gugup.
Aku mulai memperhatikan gerak-geriknya yang kaku, seolah-olah dia baru saja tergelincir di atas jalan bersalju dengan posisi pinggang yang jatuh lebih dahulu. Dia menarik punggung kursi itu sedikit, menempatkan dirinya di sana, dan merogoh sesuatu dari balik saku kemejanya. Menyodorkan benda tersebut dengan sikap hati-hati.
Sebuah kartu nama yang kertasnya mengilap itu beralih ke dalam genggamanku. Aku memperhatikan setiap detailnya yang mengagumkan. Tipografinya yang didesain secara khusus, logo perusahaan, sampai pada seluruh warna tinta yang terukir dengan indah di sana.
Aku berasumsi dia bukan orang sembarangan, tetapi mengapa dia harus repot-repot mencampuri urusanku? Maksudku, dia sudah menguping obrolan kami dan aku melupakan pelajaran hidup paling penting tentang kewaspadaan terhadap orang asing. Mungkin pria itu psikopat sinting seperti dalam tajuk utama koran pagi atau bisa jadi punya tujuan tertentu padaku.
Logan Caldwell. Aku membaca nama yang dicetak tebal dalam huruf kapital tersebut, melirik ke arah rahang perseginya yang ditumbuhi bakal janggut itu, kemudian meletakkan kartu nama miliknya ke dekat cangkir kopiku. Dia seorang seniman dan mengelola bisnis seni.
Logan. Aku mengeja namanya sekali lagi dalam kepalaku, memindai ekspresi wajahnya yang tetap datar secara keseluruhan, dan merasakan keringat seketika meluncur bebas di antara kedua tali braku. Dia masih sangat tampan untuk ukuran seseorang yang usianya dua kali lipat dariku juga lebih terlihat seperti bandit daripada pengusaha.
Tidak ada cincin yang melingkar di jari manis Logan. Jadi, aku lagi-lagi bergelut dengan sejumlah asumsiku sendiri tentang niat pria itu. Aku sempat menduga bahwa dia merupakan bujangan tua menawan yang harus tersisih oleh lingkungan sekitar akibat sifat anehnya atau dia memang bermasalah dengan kepribadiannya yang kelewat dingin.
“Tuan Caldwell?” sapaku mencairkan suasana canggung di antara kami, menyelipkan sehelai rambutku yang keluar dari jalur ke daun telinga kiriku, dan kembali mengamati wajahnya.
“Logan saja.”
Mengapa harus ‘Logan saja’? Mengapa dia membuat hubungan kami seperti seorang teman lama yang kebetulan berjumpa di sebuah restoran Prancis pada hari Sabtu? Mengapa dia memandangiku dengan cara yang membuatku resah oleh kesan pengintimidasinya yang menyebalkan?
“A-Amanda. Amanda Fletcher,” balasku sambil menjilat bibir dengan kikuk sebab berinteraksi dengan orang-orang baru sama sekali bukan keahlian dasar yang kupunya.
“Amanda Fletcher,” desis Logan yang masih mengunci tatapannya padaku.
Suara Logan yang parau sontak menciptakan kegelisahan yang mengular di dadaku. Aku meraih cangkirku dengan jemari yang gemetar dan menyesapnya cepat, menyembunyikan semburat pada wajahku di balik sisa kopi yang sudah dingin, dan melupakan eksistensi pria itu untuk sejenak.
“Apa kita sepakat, Nona Fletcher?” todongnya lagi dengan sorot mata yang menyala oleh ambisi.
Aku spontan menaruh cangkirku ke tempat semula dan mengoreksi, “Amanda.”
Logan menunggu, sepasang iris cokelatnya yang gelap dan selaras dengan warna rambutnya itu menyipit, menimbulkan sensasi cemas yang menjadi-jadi di bagian perutku. Sialnya, aku mendadak merasa mual. Apa aku telah terserang gejala GAD dan harus mengambil sesi psikoterapi?