/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
Mata Rea terlihat sembab karena menangis sejak pagi.
Napasnya pun masih terasa sesak dan berat. Mental dan pikirannya bagai diterjang badai setelah ibunya mengembuskan napas terakhirnya pagi ini.
"Rea! Apa yang kau lakukan? Masih banyak tamu yang berdatangan!" sergah Lydia, saudara jauh yang sering ia panggil bibi itu.
Rea berkedip untuk mengaburkan lamunan. Benar saja. Tamu yang datang untuk berbela sungkawa semakin banyak. Entah sudah berapa lama Rea termenung di sini. Wajah gadis itu pun terlihat pucat dan lesu karena bersedih sejak pagi.
"Ayahmu juga tidak ada! Cepat cari dia. Siapa yang akan mengurus semua tamu-tamu ini jika bukan Ryan? Bibi tidak mengenal mereka!" gerutu Lydia.
Tak heran jika ia menjadi temperamental, sebab wanita yang sebenarnya saudara jauh ibunya itu pun sudah lelah sejak pagi.
Rea menghapus air mata di pipinya dan cepat-cepat berdiri untuk mencari sang ayah. Padahal, Rea melihat pria itu masih berada di antara tamu-tamu beberapa menit lalu.
Gadis itu mencari ke mana-mana, tetapi tidak berhasil menemukannya hingga ia melihat siluet sang ayah di area belakang rumahnya.
Rea mencoba menjulurkan kepala dan ia melihat sang ayah tengah berbicara dengan seseorang. Dalam jarak ini, ia tak bisa melihat lawan bicaranya karena terhalang mobil yang terparkir.
Gadis itu berniat berjalan mendekat, tetapi langkahnya terhenti saat tahu-tahu sang ayah memeluk lawan bicaranya.
Deg
Jantung Rea seolah berhenti saat itu juga. Seluruh tubuhnya membeku, tak dapat digerakkan sedikit pun.
"Sabar sedikit, Baby." Suara sang ayah terdengar, mengusap lembut rambut wanita di pelukannya.
Rea tak bisa melihatnya karena wajahnya tertutup dekapan sang ayah. Namun, ia bisa melihat rambut panjang, lurus, dan berwarna kemerahan itu.
"Aku benar-benar merindukan Mas." Wanita itu menjawab.
Ryan mengangguk dan memeluknya lebih erat. Mata Rea membelalak dan terpaku seolah lupa berkedip. Baru kali ini melihat sang ayah bersikap begitu hangat dan lemah lembut. Sebelumnya, kepada ibunya yang sakit pun Ryan tak pernah menunjukkan kasih sayang.
"Aku tahu, tapi aku masih disibukkan dengan upacara pemakaman ini."
"Wanita itu benar-benar merepotkan, ya? Untung saja sekarang dia sudah mati. Mas tidak akan kerepotan lagi," jawab wanita itu.
Napas Rea menjadi semakin berat mendengarnya. Jantungnya berdenyut nyeri tiap kali ia bernapas.
Rea tak percaya dengan apa yang dilihat. Makam ibunya bahkan masih basah dan ayahnya justru bermadu kasih dengan wanita lain.
"Kau benar. Mulai sekarang, aku bisa fokus menghabiskan waktu bersamamu," jawab sang ayah, kemudian mengecup puncak kepala wanita itu.
Rea yang menjadi anaknya saja belum pernah dikecup semenjak ia kecil.
"Bagaimana jika putrimu mengetahuinya?"
"Dia sibuk dengan kuliahnya. Dia tidak akan tahu sampai kapan pun. Lagi pula, jika dia curiga, aku hanya perlu menyentaknya."
Wanita dalam dekapan sang ayah itu terkekeh. Rea masih tak bisa melihat wajahnya. Hanya satu langkah. Rea akan mengetahui wajahnya jika ia maju satu langkah. Namun, hal itu juga akan menunjukkan keberadaan dirinya.
"Baiklah. Mas pasti capek. Aku akan memberi pelayanan tambahan jika kita bertemu nanti," jawab wanita itu dengan nada manja.
Rea nyaris muntah mendengarnya. Daun telinganya terasa panas dan air mata nyaris tak bisa ia bendung lagi.
Gadis itu cepat-cepat pergi dari sana. Hingga saat ia tiba di dalam rumah, air mata kembali tumpah membasahi wajahnya.
Rea tak bisa mempercayai ini. Ayahnya sendiri berselingkuh tepat pada hari pemakaman ibunya.
Tidak, mungkin saja ayahnya sudah sebelum hari ini? Semenjak ibunya sakit-sakitan?
Gadis itu masih berusaha menghapus air matanya saat tahu-tahu ayahnya berjalan masuk. Dia menatap ke arah Rea dengan tidak senang.
"Nangis melulu," komentarnya, "Apakah kamu tidak capek menangis sejak pagi? Cepat! Banyak tamu yang berdatangan!" omel Ryan.
Pria itu memang selalu bersikap galak dan tegas kepada Rea dan ibunya. Oleh sebab itu, ia terheran-heran menatap sikap lembut Ryan terhadap wanita itu.
Rea masih terisak saat Ryan berjalan pergi meninggalkannya. Pria itu bersikap seolah tak terjadi apa-apa, tetapi satu noda di sisi leher Ryan berhasil menarik perhatian Rea. Warnanya kemerahan dan tampak samar. Namun, dari ukurannya, Rea bisa langsung menerka apa itu.
Ia sungguh merasa jijik.
***
***
Pikiran Rea masih berkecamuk sehari setelah pemakaman ibunya.
Benaknya dibanjiri kesedihan, tetapi pikirannya terus tertuju pada wanita yang memeluk ayahnya kemarin.
/0/15353/coverorgin.jpg?v=7557f4a1b21f2ece9067206ca91e739c&imageMogr2/format/webp)
/0/3095/coverorgin.jpg?v=1113e82abad1f60f913a3f9d60365a6e&imageMogr2/format/webp)
/0/7971/coverorgin.jpg?v=dca440106a4673dbd2ad510e2059881b&imageMogr2/format/webp)
/0/5633/coverorgin.jpg?v=473528e6affb2aefc9d4b35de866c49e&imageMogr2/format/webp)
/0/10736/coverorgin.jpg?v=b939c426b55d646451be81456d492c69&imageMogr2/format/webp)
/0/12672/coverorgin.jpg?v=e267e35c6f73324fb77bb52565e1bcfb&imageMogr2/format/webp)
/0/30058/coverorgin.jpg?v=7e6f95ada6d9f78ff009e46c6f25d3cb&imageMogr2/format/webp)
/0/7242/coverorgin.jpg?v=9dd27e4d10822b34509e52f3feb4289f&imageMogr2/format/webp)
/0/13557/coverorgin.jpg?v=fc94ee21ff3cb328b0874d2e8f3d6d46&imageMogr2/format/webp)
/0/20961/coverorgin.jpg?v=5e8a06fedbb6f6291ce59c5b50c6f99d&imageMogr2/format/webp)
/0/15668/coverorgin.jpg?v=3f88a78401dadfc0906470d07dde1aa3&imageMogr2/format/webp)
/0/2878/coverorgin.jpg?v=bda6231cfef7a8dedc7ed2cfadfb00ca&imageMogr2/format/webp)
/0/30662/coverorgin.jpg?v=94147b5f1a691127d46c8a965fd0615b&imageMogr2/format/webp)
/0/17434/coverorgin.jpg?v=1de4f94e2e2aba3ab8d4e61d73353126&imageMogr2/format/webp)
/0/21438/coverorgin.jpg?v=0b02ebfe9498379b9de835ace5234dfc&imageMogr2/format/webp)
/0/27383/coverorgin.jpg?v=51f079974a32f97d08d8f66a35f472df&imageMogr2/format/webp)
/0/17059/coverorgin.jpg?v=5f6e058de49b1d2b018b68b106d57469&imageMogr2/format/webp)
/0/19016/coverorgin.jpg?v=fa0a7ea0d31a1a092582abff71ac8703&imageMogr2/format/webp)
/0/21167/coverorgin.jpg?v=0eaf36107d3953be702842be2e46ecb6&imageMogr2/format/webp)