HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Ponsel Shara bergetar di meja, menampilkan nama yang jarang sekali muncul di layarnya: Ibu.
Jantungnya mencelos. Sejak meninggalkan kampung halaman tiga tahun lalu, ibunya hampir tidak pernah menelepon kecuali ada hal yang benar-benar mendesak.
"Ibu?" Shara menjawab cepat.
"Shara..." Suara ibunya terdengar parau, seperti seseorang yang telah lama menahan tangis. "Nak... pulanglah. Ayahmu... kami dalam masalah besar."
Shara mengernyit. "Masalah apa?"
Ada jeda panjang, seolah ibunya ragu untuk menjawab. Lalu, dengan suara yang lebih seperti desa*han putus asa, ia berkata, "...Ayahmu terlilit hutang. Mereka... datang hari ini, Shara."
Dada Shara mengencang. "Hutang apa, Bu?"
"Tolong pulang dulu," suara ibunya bergetar, seakan ketakutan. "Kami butuh kamu di sini."
Sebelum Shara bisa bertanya lebih jauh, panggilan sudah terputus.
Dan tanpa ia sadari, itu adalah panggilan yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya.
***
Malam telah turun saat Shara tiba di kampung halamannya. Udara dingin menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak.
Ia turun dari ojek, langkahnya cepat menuju rumah. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam membuatnya terpaku.
Ibunya terduduk di kursi tua, wajahnya sembab. Ayahnya berdiri di dekat jendela dengan bahu merosot, seperti seseorang yang telah kehilangan seluruh harapan. Pipinya nampak tirus dan hilang aura wajahnya.
Dan seorang pria duduk di sofa, tampak begitu tenang seolah ruangan itu adalah miliknya.
Shara langsung tahu bahwa dialah pusat dari semua kekacauan ini.
Pakaiannya sederhana, kemeja hitam dengan lengan tergulung, celana panjang gelap. Tubuhnya tegap, rahangnya kokoh, tapi yang paling mencolok adalah sorot matanya.
Dingin dan mengintimidasi.
Seolah ia melihat dunia dari balik dinding es yang tebal, tanpa sedikit pun emosi.
Shara berusaha menelan kegelisahannya dan bertanya dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan, "Ibu... siapa dia?"
Ibunya hanya menangis, sementara ayahnya tetap diam.
Hingga akhirnya, dengan suara hampir tak terdengar, ibunya berbisik, "Ayahmu... terlilit hutang. Riba, Shara... bunganya membengkak... kami tidak bisa membayarnya."
Shara mengepalkan tangannya. "Berapa?"
Ayahnya akhirnya berbicara, tapi suaranya terdengar seperti gumaman penuh rasa malu. "Tiga ratus juta."
Darah Shara berdesir. "Tiga ratus..."
Bagaimana bisa?
"Kami... tidak punya jalan keluar." Mata ibunya penuh permohonan.
"Lalu... dia datang."
Shara menoleh kembali ke pria itu, tatapannya curiga.
"Apa maksudnya?"
Pria itu akhirnya bersuara. Nada suaranya rendah, tapi tidak bernada permintaan lebih seperti pernyataan yang tak bisa dibantah.
/0/23685/coverorgin.jpg?v=67f525831c2cc86f2a390a0c8e8938db&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=20241128095111&imageMogr2/format/webp)
/0/9030/coverorgin.jpg?v=883fe3c7ef3c952d8025ab444c7ba36a&imageMogr2/format/webp)
/0/8464/coverorgin.jpg?v=bb2fa6976040b74967606847f472435d&imageMogr2/format/webp)
/0/8667/coverorgin.jpg?v=20250122135729&imageMogr2/format/webp)
/0/15407/coverorgin.jpg?v=20250123120812&imageMogr2/format/webp)
/0/20438/coverorgin.jpg?v=f4ce88162c20b83c898310594ebee030&imageMogr2/format/webp)
/0/6823/coverorgin.jpg?v=20250122151557&imageMogr2/format/webp)
/0/13806/coverorgin.jpg?v=6dee71f2e8c7e5f6082c315bfbd2d8af&imageMogr2/format/webp)
/0/23360/coverorgin.jpg?v=2d2f8239eaf8451cd8b110e539e29803&imageMogr2/format/webp)
/0/27041/coverorgin.jpg?v=7b74931a9c037a360dd277c6141a658b&imageMogr2/format/webp)
/0/10277/coverorgin.jpg?v=7f61f7cf176fe1e1f9efbaaa6ddd141a&imageMogr2/format/webp)
/0/23403/coverorgin.jpg?v=20250425210404&imageMogr2/format/webp)
/0/15483/coverorgin.jpg?v=20250123120833&imageMogr2/format/webp)
/0/17784/coverorgin.jpg?v=20240401115211&imageMogr2/format/webp)
/0/6212/coverorgin.jpg?v=33fcc45f392f9a7bbf6673d20c778e0d&imageMogr2/format/webp)
/0/30878/coverorgin.jpg?v=7de7c97d187f4d0ba12ce0ed605dedbc&imageMogr2/format/webp)