Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Sebuah taksi berhenti di area pemakaman, langkah kakinya terasa berat. Dia membawa dua karangan bunga yang sudah di pelukannya dengan erat.
Dua batu nisan terpampang jelas di pelupuk matanya. Ada rasa sesal dan sesak dalam dada, rasa sakit yang disimpan selama lima tahun itu tertumpah begitu saja diatas batu-batu nisan tersebut.
"Aku pulang Pah, Lana. Maaf membuat kalian menungguku terlalu lama. Maaf karena aku telah banyak menyusahkan kalian. Aku berjanji akan menjaga dan merawat mama menggantikan kalian."
Deraian air mata berjatuhan membasahi wajah nan cantik jelita. Mengingat semua kejadian lima tahun lalu meninggalkan luka yang teramat dalam.
Setelah menaruh karangan bunga, dia pun pergi meninggalkan area pemakaman. Taksi kembali melanjutkan perjalanan pada sebuah rumah sakit.
Dia membawa satu karangan bunga lili putih juga sekotak makanan kesukaan. Wanita paruh baya itu terbaring lemah dengan selang infus di lengan dan hidungnya. Alat bantu yang membuatnya bertahan untuk hidup.
Wanita nan cantik jelita tadi meletakan bunga lili putih kesayangan menggantikan bunga yang sudah layu di atas meja pasien.
"Ma, aku sudah pulang, aku sudah sehat. Semua ini berkat Lana yang sangat menyayangiku. Sekarang giliran aku yang menjaga dan merawatmu," ucap wanita nan cantik jelita itu sambil mengusap lembut pipi wanita kesayangan yang sudah terlihat keriput.
Suara dorongan pintu dibuka, seorang pria berkacamata menghampiri wanita nan cantik jelita tadi, "Kau sudah datang, Nis? Bagaimana perjalananmu?" suara tadi menepuk perlahan pundak wanita itu.
"Uhm, lumayan melelahkan Adam, tapi aku sudah bertemu papa dan Lana sebelum kesini," ucapnya sambil tangan mungil itu memijat perlahan lengan wanita kesayangan tadi.
"Sebaiknya kau pulang dan istirahat, dua hari lagi kau kan sudah mulai bekerja dan maaf jika tempat tinggal yang kupilihkan tidak sesuai dengan keinginanmu. Aku harap kau tak keberatan," tambah lelaki yang bernama Adam tadi.
"Terima kasih sudah membantuku mencarikan pekerjaan dan tempat tinggal buatku, Dam!" suaranya nan lembut dengan lesung pipi yang kembang kempis juga tersenyum saat berbicara.
"Jangan bicara seperti itu Nis, selama ini paman dan bibi sudah banyak membantuku. Kalau bukan mereka yang membantu, mungkin aku masih bergelandangan di jalan," ucap Adam menatap Nisa yang sedang mengkhawatirkan kondisi ibunya.
"Bagaimana dengan kondisi terakhir mamaku, Dam? Apa yang dokter katakan?" Nisa mencoba mengalihkan dengan pertanyaan.
"Bibi memerlukan transplantasi jantung dan yang paling penting biaya untuk operasi juga pemulihannya membutuhkan biaya yang tak sedikit," jelas Adam.
Meski mencoba tersenyum, Adam sangatlah tahu beban yang sedang dirasakan Nisa.
"Uhm, aku paham!"
Nisa hanya mengangguk perlahan, dia mencoba memahami semua ucapan yang dikatakan Adam.
Ya ... inilah awal baru untuk seorang Faranisa Aznii setelah orangtuanya bangkrut. Ayah dan adiknya, Lana meninggal karena kecelakaan dan jantung Lana didonorkan kepadanya. Sedangkan dirinya terpaksa memulihkan diri di negeri orang dengan sia-sia ekonomi terakhir mereka.
Ibunya memiliki riwayat yang sama seperti Nisa, terpaksa hanya bisa mengandalkan peralatan bantu untuk mendominasi tubuhnya tiga tahun belakangan ini. Kali ini Nisa harus berjuang mengandalkan diri sendiri dan kemampuannya yang tak seberapa untuk mencari biaya perawatan, operasi ibu juga dirinya sendiri.
Nisa berjalan keluar rumah sakit berbarengan dengan satu mobil yang diparkir dengan tergesa, terlihat salah seorang membuka pintu penumpang dan memapah seseorang yang terluka. Mereka hanya terhalang satu orang sehingga tidak ada satupun dari mereka yang menyadarinya.
"Nis, aku akan mengantarkanmu." Adam berlari menyusul Nisa.
"Kau pasti lelah seharian bekerja, Dam. Apa masih ada waktu untuk mengantarkanku?"
Nisa merasa sungkan karena selama dia tak ada, Adamlah yang menjaga juga merawat ibunya.
"Tidak apa-apa, Nis. Kau juga pasti belum makan, kita mampir makan sekalian ya," ucap Adam, Nisa tak bisa menolak lagi menerima ajakan dari Adam.
"Aku ambil motorku sebentar. Kau tunggu disini ya, Nis," lanjut Adam meninggalkan Nisa berjalan ke arah parkiran.