/0/22082/coverorgin.jpg?v=ad2b0922cd8b095696d41f8ce878db88&imageMogr2/format/webp)
Alina Darya duduk di sudut kantin kampus, matanya menatap secangkir teh hangat yang hampir habis, tangan gemetar memegang sendok plastik yang tergeletak di meja. Tentu saja, hidupnya tidak pernah sesederhana ini. Setiap pagi, dia bangun lebih awal untuk menyiapkan kue-kue buatan neneknya, sebelum membawa mereka ke kampus untuk dijual. Tidak ada pilihan lain. Tanpa orang tua, tanpa banyak dukungan, dia hanya memiliki nenek yang semakin rapuh dan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Di luar jendela kantin, terlihat keramaian mahasiswa yang sedang menikmati istirahat sejenak. Mereka tertawa, berbicara tentang ujian, tentang tugas-tugas yang tidak pernah selesai. Namun bagi Alina, semua itu terasa jauh, seperti dunia lain yang tidak pernah bisa dia jangkau. Hidupnya penuh dengan perasaan kesepian yang dalam, sebuah keheningan yang menghimpit dada.
Tiba-tiba, sebuah suara baritone yang tajam dan penuh kuasa menginterupsi pikirannya. "Hei, kamu di sana. Itu kue apa yang kamu jual?" Alina menoleh, matanya terfokus pada sosok pria yang baru saja menghampirinya. Rayan Syahmir. Dia tidak asing di kampus ini-pria tampan dengan wajah yang sering muncul di media sosial dan acara-acara kampus. Namun ada sesuatu yang tajam dalam pandangannya, seolah-olah ia datang bukan hanya untuk membeli kue, melainkan untuk mencari sesuatu yang lebih.
Alina tersenyum kecil, berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. "Kue cubir," jawabnya pelan, "kue tradisional buatan nenek saya."
Rayan mengangguk, tetapi ekspresinya tetap dingin, seolah-olah dia sedang menilai lebih dari sekadar kue itu. "Tidak pernah dengar. Tapi apapun, aku akan coba."
Dia mengambil kue itu tanpa bertanya lebih lanjut, seperti mengambil sesuatu yang tidak berarti. Tidak ada senyuman, tidak ada rasa ingin tahu. Hanya perasaan angkuh yang memancar dari dirinya. Alina merasa sedikit terganggu, tapi dia mencoba menahannya. Sambil menunggu, dia kembali menatap langit-langit kantin, berharap Rayan segera pergi.
Namun, tak lama kemudian, pria itu kembali mendekat dengan ekspresi yang lebih serius. "Kue ini... payah," katanya dengan suara datar yang tidak mengandung belas kasihan. "Bisa dibilang ini salah satu kue terburuk yang pernah aku coba. Bagaimana bisa kau menjual ini di sini?"
Alina terkejut. Kata-katanya menusuk jauh, jauh lebih dalam daripada yang bisa dia bayangkan. Mata Rayan tajam, penuh perhitungan, seolah ia sedang memandang sesuatu yang tidak layak untuk dihargai.
/0/22565/coverorgin.jpg?v=533d39bd5986dd798d6eaf560d8e19bf&imageMogr2/format/webp)
/0/23568/coverorgin.jpg?v=44b2fe43acc91ec0b82a1c987c096130&imageMogr2/format/webp)
/0/16486/coverorgin.jpg?v=34ad0f647000aa76ff52d6f02460b85f&imageMogr2/format/webp)
/0/17428/coverorgin.jpg?v=2cc6f1713c4b54b04a5081d42c17c767&imageMogr2/format/webp)
/0/13021/coverorgin.jpg?v=ec43d33d2e3b5300094f0312a3a61c05&imageMogr2/format/webp)
/0/5274/coverorgin.jpg?v=6c0468ae171a01ff8164588e81f7dc7f&imageMogr2/format/webp)
/0/16695/coverorgin.jpg?v=49123be41f7ee72bdbc5bab43fb08273&imageMogr2/format/webp)
/0/23409/coverorgin.jpg?v=bff9ac62bc8dbdd3a3e5c75c1ad9e5d8&imageMogr2/format/webp)
/0/3531/coverorgin.jpg?v=72d3cabea25da2ff51c0cb0a8bec0cae&imageMogr2/format/webp)
/0/6716/coverorgin.jpg?v=aa47d8853cb4fc2d190f699a4e96e89a&imageMogr2/format/webp)
/0/13040/coverorgin.jpg?v=df3bb57e7a690203159e06e2277418f4&imageMogr2/format/webp)
/0/13167/coverorgin.jpg?v=fbe3725e71f0b9d903e30a34735feaff&imageMogr2/format/webp)
/0/24410/coverorgin.jpg?v=30f6326ee82a632700fc03ebabc4fe71&imageMogr2/format/webp)
/0/2446/coverorgin.jpg?v=f6d9bcad1b57dd615f2d32909f9e4759&imageMogr2/format/webp)
/0/22779/coverorgin.jpg?v=c7df2ae606df727a42b8bbece4cef249&imageMogr2/format/webp)
/0/27624/coverorgin.jpg?v=d835003021b2dcaffd0db8369e1c1393&imageMogr2/format/webp)
/0/19442/coverorgin.jpg?v=514b8f74f4a80f5752760ff512d8e672&imageMogr2/format/webp)
/0/5718/coverorgin.jpg?v=8a810f1f6341293bfe26070b3b2d6fbc&imageMogr2/format/webp)