Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Prolog
“Aku tidak akan menyakitimu, anjing manis. Aku janji.” Anna mengulurkan tangan kirinya pada hewan predator itu.
Serigala seukuran kuda. Bulu kusutnya adalah bukti perjuangan. Gigi runcingnya sengaja dipamerkan guna mempertegas jarak di antara mereka.
Mengabaikan geraman kasar si serigala, Anna justru membawa langkahnya lebih dekat ke depan. Belaian lembut mendarat ke atas kepala makhluk itu. “Kau terluka. Siapa yang tega melakukan ini padamu?”
Suara lengkingan parau keluar dari moncongnya. Mata biru yang salah satunya tersabet luka gores milik serigala itu menatap waspada wajah Anna.
“Aku juga pernah punya anjing peliharaan yang warnanya persis seperti dirimu. Sayang, dia menyeberangi jembatan pelangi terlalu cepat.”
Ketika Anna menempelkan keningnya, serigala itu tersentak oleh semburan adrenalin aneh yang meresapi pembuluh darahnya. Tubuhnya mendadak dikuasai insting dan hasrat. Sesuatu yang meledak-ledak meruntuhkan ruang kendali dalam dirinya.
Terlapisi keinginan primitif untuk mencicipi. Merasakan. Melindungi. Sensasinya luar biasa mengejutkan dan membuatnya menyerah pada emosi yang jauh lebih gelap.
Lehernya tercekik saat Anna memisahkan diri. Kehampaan membombardir hatinya dari segala penjuru. Rasa lapar yang belum pernah dirasakannya membuat serigala itu berperang dengan kewarasannya sendiri.
Anna mengeluarkan benda pipih kecil dari saku rok rimpelnya. Dia tersenyum. “Ini, ada plester luka untukmu. Mungkin kau perlu lebih banyak karena kau anjing raksasa, tapi aku hanya punya satu.”
Anna melekatkan plester lukanya di alis kanan serigala itu dan telah melanggar batasan yang tak terlihat di antara mereka. Jurang tinggi yang seharusnya tidak boleh dilewati dan membentuk ikatan asing tanpa dia sadari. Tato magis berpola rumit khas suku Varet melingkari pergelangan kaki kiri Anna sebelum kemudian lenyap pada detik kelima.
“Anna? Di mana kau?” teriak Paman Cédric sambil menenteng peralatan memancingnya.
“Itu Paman Cédric. Dia bisa mengobatimu,” bisik Anna mengangguk.
Terlibat dalam takdir bersama bocah sembilan tahun itu sama sekali bukan bagian dari rencana. Serigala itu mengerjap-ngerjap gelisah sebelum matanya terpejam rapat. Coba menghalau debaran ganjil yang memukul di sepanjang tulang rusuknya.
“Rupanya kau di sini.” Nada Paman Cédric dipenuhi kelegaan.
Anna berbalik menghadap Paman Cédric. Ujung sweternya yang tipis bergoyang ditiup angin malam. “Bisakah kita mengajak anjing itu pulang, Paman Cédric?”
“Anjing? Anjing mana yang kau maksud?” Paman Cédric meletakkan keranjangnya ke tanah.
“Yang di—” tunjuk Anna yang kembali menoleh. Namun, serigala itu sudah pergi tanpa meninggalkan jejak seolah-olah dia tak pernah ada di sana sebelumnya.
***
Anna
Ada tiga orang di sana. Dengan tinggi rata-rata dan janggut tebal berantakan. Mengenakan sepatu bot yang lebih cocok dipakai di musim dingin, tulang pipi cekung, dan kantong mata yang menegaskan kesan bahwa mereka sudah melewatkan jam tidur untuk waktu yang begitu lama.
Tubuhku terlonjak saat gerombolan bandit itu mengayunkan kapak mereka berkali-kali ke meja makan. Bahan dari kayu mahoni yang minggu lalu telah dipelitur cantik oleh paman spontan hancur berkeping-keping. Menyisakan bekas koyak di atas lantai linoleum rumah kami.
Salah satu dari mereka yang mengenakan topi koboi lalu meraup kasar stoples dalam rak. Gula pun tumpah dan mengotori dapur. Tawa puasnya mengudara setelah melihat kekacauan yang berhasil mereka ciptakan.
Aku luar biasa gemetar. Beruntung kegelapan di sudut ruangan membantu menyamarkan keberadaanku. Aku masih mengintip dari balik celah lemari dengan ukuran sempurna yang dapat menyembunyikan diriku di dalamnya.
Pria koboi kembali melayangkan kapaknya ke kompor dan perapian dua tungku milik bibi langsung rusak. Adrenalin menjalari tulang punggungku yang kebas. Aku hampir menjerit setelah mataku menangkap cipratan noda darah segar yang tertinggal di ujung mata kapak.
Apa mereka sudah menghabisi paman? Aku terus bertanya-tanya sambil menahan tangisku yang berubah jadi isak parau tak tertahankan. Aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkan kondisi paman sekarang.
Foto keluarga kami kemudian mendadak jatuh dari dinding. Bingkainya pecah. Seseorang yang lain yang bibirnya dihiasi tindik segera memungutnya dan menyeringai memamerkan deret gigi depannya yang tak rapi.
“Si tua bangka itu punya putri yang cantik,” komentarnya sambil menggaruk-garuk rambut.
Pria koboi serentak memalingkan wajah. Ekspresinya berubah asing dan gelap. Matanya memancarkan ketertarikan yang berbahaya.
Dia maju mendekati foto. Kepalanya terteleng seolah-olah sedang mengaktifkan radar pendeteksi arah. Jantungku mencelus ketika tatapannya tertuju lurus pada tempatku berlindung.
“Aku suka rambutnya. Akan menyenangkan saat digagahi di ranjang.” Tawa terbahak-bahaknya membuatku meringkuk makin jauh dan memeluk erat kedua lututku.
“Jeez, she’s too young for you.” Pria yang memakai jaket kulit itu menyahut, aksennya ganjil, ada bekas keloid yang mencolok di rahang kirinya.