Obat Posesif Untuk Ratu Es

Obat Posesif Untuk Ratu Es

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Di kantor, aku dikenal sebagai "Ratu Es" yang sempurna dan tak tersentuh. Namun di balik topeng itu, aku menyembunyikan neraka bernama PGAD-kelainan yang membuat tubuhku terus-menerus berada dalam gairah seksual yang menyiksa tanpa obat penekan hormon. Bencana terjadi saat gathering kantor di Puncak: aku lupa membawa obat penyelamatku, dan parahnya, aku dipaksa berbagi kamar sempit dengan Dhimas Pakpahan, atasan kaku yang paling kutakuti. Malam itu, pertahananku runtuh. Dhimas tidak hanya menyaksikan tubuhku menggeliat liar di luar kendali, dia juga yang turun tangan "menjinakkan" gairahku dengan sentuhan intim yang menghancurkan batas profesionalisme kami. Keesokan harinya, saat seorang rekan kerja mesum mencoba memperkosaku karena melihat kondisiku yang kacau, Dhimas mengamuk dan menghajarnya hingga babak belur. Namun, ketakutan sejatiku justru muncul setelahnya. Bukan karena darah yang tumpah, melainkan saat Dhimas mendekapku erat di depan semua orang, menatapku dengan obsesi gelap, dan menyatakan klaimnya: "Mulai sekarang, kamu adalah tanggung jawabku. Hanya aku yang boleh menjadi 'obat' bagi tubuhmu."

Bab 1

Di kantor, aku dikenal sebagai "Ratu Es" yang sempurna dan tak tersentuh.

Namun di balik topeng itu, aku menyembunyikan neraka bernama PGAD-kelainan yang membuat tubuhku terus-menerus berada dalam gairah seksual yang menyiksa tanpa obat penekan hormon.

Bencana terjadi saat gathering kantor di Puncak: aku lupa membawa obat penyelamatku, dan parahnya, aku dipaksa berbagi kamar sempit dengan Dhimas Pakpahan, atasan kaku yang paling kutakuti.

Malam itu, pertahananku runtuh.

Dhimas tidak hanya menyaksikan tubuhku menggeliat liar di luar kendali, dia juga yang turun tangan "menjinakkan" gairahku dengan sentuhan intim yang menghancurkan batas profesionalisme kami.

Keesokan harinya, saat seorang rekan kerja mesum mencoba memperkosaku karena melihat kondisiku yang kacau, Dhimas mengamuk dan menghajarnya hingga babak belur.

Namun, ketakutan sejatiku justru muncul setelahnya.

Bukan karena darah yang tumpah, melainkan saat Dhimas mendekapku erat di depan semua orang, menatapku dengan obsesi gelap, dan menyatakan klaimnya:

"Mulai sekarang, kamu adalah tanggung jawabku. Hanya aku yang boleh menjadi 'obat' bagi tubuhmu."

Bab 1

Gisela Soegiharto POV:

Hidupku adalah kebohongan yang dingin, sebuah topeng sempurna yang setiap hari kubangun untuk menyembunyikan api neraka di dalam diriku. Malam ini, topeng itu akan meleleh, dan aku akan terbakar habis. Aku lupa obatku.

Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena kegembiraan perjalanan ke Puncak, tapi karena ketakutan yang mencekik. Di dalam tas tangan Hermes-ku yang mahal, yang selalu rapi dan terorganisir, ada satu lubang besar: botol kecil pil penekan hormon itu tidak ada. Napasku tertahan di tenggorokan. Ini bukan sekadar lupa dompet atau ponsel. Ini adalah bencana.

Aku menderita PGAD, Persistent Genital Arousal Disorder. Atau, dalam bahasa yang lebih jujur, hiperseksualitas. Ini bukan fetish atau pilihan gaya hidup. Ini adalah kutukan genetik yang membuat setiap sentuhan, setiap getaran, setiap rangsangan sekecil apa pun, memicu gairah yang tak terkendali. Sensasi yang tak pernah berhenti, tak pernah puas. Aku hidup dalam neraka gairah yang konstan.

Obat-obatan adalah satu-satunya penolongku. Pil-pil itu menekan badai hormon di dalam diriku, memberiku kedamaian semu, memungkinkan aku berfungsi seperti manusia normal. Tanpa mereka, aku hanya akan menjadi budak dari tubuhku sendiri, sebuah wadah kosong yang dikendalikan oleh nafsu yang tak pernah terpuaskan. Aku gemetar memikirkan apa yang akan terjadi.

Kantor mengadakan gathering di Puncak. Sebuah acara rutin untuk mempererat kebersamaan tim. Bagiku, ini adalah arena perang. Setiap mata, setiap sentuhan tak disengaja, adalah ancaman. Aku harus menjaga jarak. Aku harus menjadi "Ratu Es".

"Gisela, kamu baik-baik saja?" Suara Rina, rekan kerjaku dari HRD, memecah lamunanku.

Aku mengangguk kaku, berusaha menutupi kepanikanku. "Ya, hanya sedikit pusing karena perjalanan."

Dia tersenyum pengertian. Aku tahu dia tidak curiga. Tidak ada yang pernah curiga. Bagaimana mungkin mereka membayangkan seorang wanita yang selalu rapi, dingin, dan profesional, menyembunyikan monster seperti itu di dalam dirinya? Aku adalah Gisela Soegiharto, Senior Administration Staff, 25 tahun, dan aku adalah penipu ulung.

Vila yang kami sewa berada di lereng bukit Puncak, terpencil dan damai. Udara dingin pegunungan menyelinap masuk melalui jendela mobil, menusuk kulitku. Dinginnya Puncak, itu yang berbahaya. Dingin membuat tubuhku bereaksi lebih tajam. Setiap serat sarafku terasa telanjang, terlalu peka.

"Ada sedikit masalah dengan booking kamar," Bu Susi, kepala HRD, mengumumkan dengan nada menyesal. "Ada double booking untuk beberapa kamar. Jadi, kita harus sedikit menyesuaikan."

Jantungku mencelos. Tidak. Tolong jangan.

"Gisela, kamu dan Pak Dhimas akan berbagi satu unit vila kecil. Ini yang tersisa. Maaf ya," Bu Susi tersenyum canggung.

Dhimas Pakpahan. Namanya saja sudah membuatku merinding. Manajer Operasional kami. Pria Batak yang berwibawa, bertubuh besar, atletis, dan hemat bicara. Auranya mendominasi, memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan. Dia adalah definisi dari bahaya yang terbungkus dalam setelan rapi. Dan aku harus berbagi kamar dengannya.

Aku merasakan getaran halus dimulai di antara kedua kakiku, sensasi yang familiar dan menakutkan. Tanpa obat, tubuhku sudah mulai memberontak. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menghentikannya. Ini baru permulaan.

"Baik, Bu," kataku, suaraku terdengar serak di telingaku sendiri. Aku tidak bisa menolak. Aku tidak pernah bisa menolak. Aku adalah bawahan, dan dia adalah atasan.

Dhimas hanya mengangguk, ekspresinya datar seperti biasa. Matanya yang tajam sempat menatapku sekilas, seolah mencoba membaca sesuatu. Aku segera mengalihkan pandanganku, takut dia akan melihat kepanikan yang membara di mataku. Aku akan hancur. Aku akan kehilangan segalanya.

Aku tahu, PGAD ini bukan hanya sekadar "gairah tinggi". Ini adalah rasa sakit. Sensasi yang terus-menerus itu terasa seperti tekanan yang tak tertahankan, seperti ada sesuatu yang mengiris di dalam diriku, mencari jalan keluar. Rasanya seperti ada jutaan semut merayap di bawah kulitku, tapi hanya di satu tempat. Tempat yang paling intim.

Dulu, aku berpikir aku gila. Aku masih remaja ketika pertama kali merasakannya. Sensasi aneh yang tak bisa dijelaskan. Aku malu, takut, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dokter-dokter bilang aku cuma "terlalu aktif" atau "sedang dalam fase pencarian jati diri." Sampai akhirnya, aku bertemu seorang spesialis yang mengerti. Dia memberiku nama untuk monsterku: PGAD. Dan dia memberiku obat.

Obat itu adalah penopang hidupku. Tanpa itu, aku tidak bisa bekerja, tidak bisa bersosialisasi. Bayangkan, mencoba fokus pada spreadsheet sementara tubuhmu berteriak minta dilepaskan. Bayangkan, mencoba tersenyum pada rekan kerja sementara setiap sentuhan pakaian di kulitmu terasa seperti sengatan listrik.

Sekarang, pil-pil itu, penyelamatku, ada di meja rias di apartemenku, ratusan kilometer dari sini. Dan aku terjebak di sini, di Puncak, dalam satu vila kecil, dengan Dhimas Pakpahan, atasan langsungku yang kaku, yang tak pernah ramah, dan yang entah mengapa, membuat setiap pori-pori kulitku terasa lebih hidup.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungku yang semakin liar. Aku harus tetap tenang. Aku harus. Kalau tidak, aku akan mempermalukan diriku sendiri di depan semua orang. Lebih buruk lagi, di depan Dhimas. Aku tidak bisa membiarkannya melihatku seperti ini. Seorang wanita karier yang profesional, yang mereka sebut "Ratu Es," tiba-tiba berubah menjadi... sesuatu yang lain.

Sensasi itu kini mulai menjalar lebih kuat, tekanan di antara pangkal pahaku semakin intens. Aku bisa merasakan denyutan yang tak teratur, dan rasa gatal yang dalam, seperti ingin mencakar kulitku sendiri. Aku mengatupkan gigiku, mencoba menahan. Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini. Atau setidaknya, mencari cara untuk selamat dari malam ini.

Tetapi, bagaimana caranya? Aku tidak punya alasan logis untuk menolak pembagian kamar ini. Aku tidak punya cara untuk mendapatkan obatku. Aku terjebak. Dan monster di dalam diriku, yang sudah lama tertidur, kini mulai terbangun. Aku merasa seperti bom waktu yang detiknya mulai berdetak semakin cepat.

Keringat dingin membasahi punggungku meskipun udara Puncak sangat dingin. Aku bisa merasakan celana dalamku mulai lembap. Sial. Ini terlalu cepat. Biasanya, aku setidaknya punya beberapa jam sebelum efek penekanan hormonnya benar-benar hilang. Tapi mungkin stres dan kehadiran Dhimas mempercepat segalanya.

Aku melirik Dhimas yang sedang berbicara dengan Bu Susi, wajahnya tenang dan berwibawa. Dia tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Dan aku harus memastikan itu tetap begitu. Ini adalah hal terakhir yang aku inginkan, untuk rahasia tergelapku terbongkar di depan atasan yang paling aku hormati - dan takuti.

Bagaimana jika suaraku bergetar? Bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan ekspresiku? Bagaimana jika... bagaimana jika tubuhku bereaksi begitu liar sehingga Dhimas tidak punya pilihan selain menyadarinya? Rasanya seperti kehancuran yang tak terhindarkan, sebuah takdir yang telah menunggu untuk menjemputku di Puncak ini.

Aku memejamkan mata sesaat, berdoa agar ini semua hanya mimpi buruk. Tapi saat aku membukanya, Dhimas sudah berdiri di depanku, memegang kunci kamar. Matanya menatapku dengan tatapan yang entah kenapa terasa mengintimidasi.

"Gisela?" suaranya rendah dan dalam. "Kita satu kamar."

Itu bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan. Dan bagiku, itu adalah awal dari akhir.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku