/0/22562/coverorgin.jpg?v=79ad4da2ee8b4c1948bdf5f78f4c2217&imageMogr2/format/webp)
Palma. Kota ini selalu punya dua aroma: aroma garam laut yang getir dan aroma basil segar yang merayap dari lorong-lorong tua. Evelyn Rossi sudah terlalu lama akrab dengan keduanya, tapi belakangan, hanya satu aroma yang paling menempel di pakaiannya, di rambutnya, bahkan di pori-pori kulitnya: adonan ragi, keju mozzarella yang meleleh, dan saus tomat pekat. Aroma dari kedai kecil yang ironisnya bernama Delizia-Kenikmatan.
Tapi bagi Evelyn, tidak ada kenikmatan di sana.
Jendela kayu tua di balik konter kasir sudah hampir berembun oleh uap panggangan. Pukul tujuh pagi. Evelyn sudah di sana sejak subuh, tangannya sudah licin oleh minyak zaitun. Dia menarik napas panjang, bau bawang putih panggang ini menusuk hidungnya seperti jarum. Satu tahun. Hanya tinggal satu tahun lagi.
Tepat 365 hari. Atau mungkin 366 kalau tahun depan adalah tahun kabisat. Angka-angka itu adalah satu-satunya selimut hangat di tengah hidupnya yang beku. Angka-angka itu adalah mercusuar harapan di tengah badai yang diciptakan oleh kakek tiri sialannya sepuluh tahun lalu. Sepuluh tahun membayar harga atas kebodohan dan keserakahan pria yang bahkan tak pantas ia sebut keluarga.
Setiap lembar uang yang ia dapatkan-dari melayani pelanggan, dari mengaduk adonan, dari membersihkan remah-remah di lantai marmer kusam-semua hanya mengalir ke satu tempat: rekening bank pribadi milik Riccardo Valentini, pemimpin Kartel La Sanguina. Mafia yang memegang lehernya, yang mengikatnya dengan benang utang yang terbuat dari baja.
Evelyn menatap cermin buram di belakang etalase. Matanya yang cokelat tampak lebih gelap, seperti kopi tanpa gula. Rambutnya, yang seharusnya ia biarkan tergerai bebas, selalu diikat ketat agar tidak mengganggu pekerjaannya. Dia terlihat seperti pelayan toko pizza biasa di pinggir Palma.
Dan itulah intinya. Penyamaran.
Delizia bukanlah toko pizza biasa. Di balik rak-rak berisi botol minyak zaitun dan toples acar, ada ruangan kecil dengan pintu baja tersembunyi. Di situlah transaksi, pembukuan, dan terkadang, hukuman, dilakukan. Delizia adalah pos terdepan La Sanguina. Dan Evelyn, si pelayan cantik yang selalu tersenyum ramah pada setiap pelanggan, adalah mata uang berjalan yang tidak boleh rusak.
Pintu depan berderit, memutus lamunannya.
"Buon Giorno, bella," sapa Dante, pria bertubuh besar dengan tato kalajengking di lehernya. Dante adalah salah satu kaki tangan Riccardo yang paling setia-dan paling menjengkelkan. Ia datang bukan untuk sarapan, tapi untuk memastikan Evelyn ada di tempatnya.
"Selamat pagi, Dante," jawab Evelyn, senyum profesionalnya langsung terpasang, tanpa satu pun emosi yang nyata. "Mau kopi atau espresso?"
"Kau tahu aku tidak suka kafein. Aku datang untuk melihat si cantik ini. Ada pesanan khusus hari ini?" Dante menyandarkan tubuhnya di konter, pandangannya terlalu lama tertuju pada pergelangan tangan Evelyn yang ramping.
"Panggangan baru akan menyala. Belum ada pesanan khusus selain yang biasa kau tahu," balas Evelyn dingin. Maksud 'pesanan khusus' Dante selalu sama: laporan tentang siapa yang datang ke bagian belakang toko kemarin malam, berapa banyak uang yang ditransfer, dan siapa yang tampak mencurigakan. Evelyn hafal betul perannya. Dia adalah telinga dan mata mereka, tapi dia bersumpah, dia tidak akan pernah melibatkan hatinya.
Dante tertawa kecil, suara seraknya terdengar seperti amplas. "Santai saja, tesoro. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Riccardo... Bos kita... ia tidak suka barang miliknya mendapat masalah."
Hati Evelyn mencelos. Barang miliknya. Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini, ia tahu statusnya. Bukan karyawan. Bukan pelayan utang. Tapi properti. Kata-kata itu, "Barang miliknya," selalu berhasil mengoyak dinding pertahanannya, bahkan setelah sepuluh tahun.
"Aku tahu, Dante. Aku tahu betul," kata Evelyn sambil mengelap konter dengan gerakan cepat, mencoba menjauhkan Dante darinya tanpa terlihat kasar. "Aku tidak akan lari. Bukan sekarang. Utangku hampir lunas. Aku tidak sebodoh itu untuk merusak sepuluh tahun kerja keras."
Dante tersenyum sinis, memperlihatkan gigi depannya yang sedikit renggang. "Itu gadis baik. Tapi... bahkan setelah lunas, apa kau pikir Bos akan membiarkanmu pergi semudah itu?"
Pertanyaan itu menampar Evelyn lebih keras daripada tamparan fisik manapun.
Ia membeku. Tangan yang memegang lap berhenti bergerak. Pertanyaan itu adalah hantu yang selalu menghantuinya setiap malam. Selama ini, dia berpegang teguh pada perjanjian: Sepuluh tahun, setelah itu dia bebas. Tapi ini adalah dunia Mafia. Perjanjian tertulis di atas kertas. Obsesi Riccardo Valentini tertulis di udara yang ia hirup. Dan di dunia ini, udara jauh lebih nyata daripada kertas.
Evelyn mengangkat dagunya, memaksakan keberanian kembali. "Perjanjian adalah perjanjian. Riccardo adalah pria bisnis. Dia tahu itu."
"Riccardo adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, carissima." Dante menegakkan badan, mengakhiri percakapan kecilnya, tapi meninggalkan racun keraguan yang menyebar cepat dalam darah Evelyn. "Lanjutkan pekerjaanmu. Aku harus pergi menemui Rocco."
Setelah Dante menghilang ke lorong, Evelyn bersandar di dinding belakang, napasnya memburu. Pintu baja di ruang tersembunyi berdentang pelan, tanda Dante sudah masuk ke 'kantor' sebenarnya. Jantungnya berdetak liar. Ia harus membuang pikiran itu jauh-jauh. Fokus. Satu tahun. Hanya satu tahun lagi.
Ia ingat Riccardo, meskipun ia sudah lama tidak bertatap muka langsung dengannya-hampir tiga tahun. Tapi kenangan itu, atau lebih tepatnya teror dari kenangan itu, masih segar.
Riccardo Valentini. Pria yang membuat setan pun tampak seperti malaikat. Wajahnya-sangat tampan, struktur rahangnya tajam seperti pahatan marmer, mata gelapnya selalu memancarkan kombinasi kejenuhan dan bahaya yang mematikan. Pria itu berjalan dengan aura kekuasaan yang membuat semua orang ingin berlutut, termasuk para Capo dari kartel lain.
Riccardo telah melihat Evelyn tumbuh dari seorang remaja yang ketakutan menjadi wanita muda yang lelah namun bersemangat. Ia menyaksikan setiap perjuangan Evelyn dari balik bayangan. Dan di mata gelapnya, Evelyn selalu melihatnya: bukan sekadar keinginan, tapi klaim kepemilikan. Klaim yang lebih menakutkan daripada utang seratus juta euro.
Aku menginginkan kau, Evelyn. Kau adalah bunga yang tumbuh di sarangku. Dan bunga itu, tentu saja, hanya akan mekar untukku.
Suara Riccardo berbisik di benaknya, mengulangi kata-kata yang pernah ia ucapkan empat tahun lalu, tepat sebelum Evelyn melarikan diri untuk pertama kalinya. Pelarian yang gagal, yang berakhir dengan perang kartel kecil-kecilan dan Evelyn kembali di bawah perlindungan Mafia Rusia, Ivanovic Romanov. Dan setelah empat tahun bersembunyi di pelukan pria lain, ia tetap ditemukan. Diculik. Dan diklaim kembali.
Kini, ia kembali ke Delizia, tempat awal ia membayar dosa. Bedanya, kali ini ia tidak bersembunyi di sini. Ia diposisikan. Riccardo tahu, Evelyn akan mencoba lari lagi. Dan menempatkannya di Delizia, di jantung wilayahnya, hanya menunjukkan betapa yakinnya Riccardo bahwa Evelyn tidak akan ke mana-mana.
Pukul sepuluh pagi. Toko mulai ramai. Pria-pria bersetelan mahal dan sepatu kulit mengilap berdatangan, bukan untuk pizza, tapi untuk meeting di ruang belakang. Evelyn menyajikan kopi dengan tangkas, otaknya sibuk menghitung sisa waktu.
Aku tidak boleh menunggunya sampai utang ini lunas. Begitu lunas, ia tidak punya alasan hukum untuk menahanku, tapi ia akan punya alasan lain: obsesi.
Satu-satunya cara untuk menang adalah menghilang sebelum hari terakhir utang itu jatuh tempo. Mungkin tiga bulan sebelumnya. Empat bulan. Cukup waktu bagi Riccardo untuk tidak menduganya.
Pikiran itu membuatnya ngeri, tapi juga memberi dorongan adrenalin yang sangat ia butuhkan. Lari berarti kehilangan sisa utang yang sudah ia bayar, tapi itu berarti membeli kebebasan. Nyawa dan kebebasan jauh lebih berharga daripada beberapa ratus ribu euro sisa pembayaran.
Siang itu, sekitar pukul satu, telepon di konter berdering. Telepon khusus, yang hanya berdering jika itu adalah jalur komunikasi langsung dari kantor pusat La Sanguina. Evelyn meneguk ludah, jantungnya kembali berdebar tak karuan.
"Delizia," jawab Evelyn, suaranya berusaha keras terdengar normal.
"Evelyn? Ini Marco." Suara Marco, tangan kanan Riccardo. Ia selalu formal, selalu efisien, jauh lebih menakutkan daripada Dante. "Riccardo membutuhkanmu. Sekarang."
"Aku... aku tidak bisa meninggalkan toko, Marco. Aku sedang membersihkan dapur untuk panggangan shift kedua."
"Bersihkan nanti. Ini bukan permintaan. Ini perintah." Suara Marco tidak mengandung negosiasi. "Riccardo ada di vila. Dia meminta kau datang ke sana, membawa sesuatu. Kau tahu jalannya."
Evelyn memejamkan mata. Vila Riccardo. Tempat ia tidak pernah ingin kunjungi lagi. Tempat yang menjadi simbol dari malam-malam tanpa tidur dan mimpi buruk. Ini bukan hanya tentang membawa sesuatu. Ini adalah undangan. Umpan.
"Apa yang harus kubawa?" tanya Evelyn.
"Sebotol anggur merah vintage 1982. Anggur yang kau sembunyikan di ruang bawah tanah. Dan... bawa dirimu, Evelyn. Bos ingin memastikan kau masih sedap dipandang."
Sialan. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Riccardo tidak akan sabar. Setidaknya, ini bukan hari terakhirnya lari. Ini hanya hari di mana ia harus berakting.
Evelyn segera mencari Luigi, koki paruh waktu yang bertugas mengurus pizza di sore hari. Ia memberikan instruksi singkat, mengenakan jaketnya-jaket denim lusuh yang tidak mencolok-dan berjalan menuju gudang anggur di ruang bawah tanah.
Gudang itu dingin, sunyi, dan beraroma tanah lembap. Evelyn menemukan botol Bordeaux vintage yang dicari Riccardo. Anggur itu terasa berat di tangannya, seberat nasibnya sendiri. Ia menyembunyikannya di dalam kantong kain hitam.
Dia mengambil kunci mobil dinas toko-Fiat Panda tua yang bobrok-dan melaju keluar dari Palma menuju pinggiran kota, tempat Vila Valentini berada. Jalanan berliku, diapit oleh pohon-pohon cypress yang tinggi, terasa semakin mencekik seiring ia mendekati tujuannya.
/0/29965/coverorgin.jpg?v=ec69d0101e8cde98fc4fecd888d324b2&imageMogr2/format/webp)
/0/30249/coverorgin.jpg?v=9a0645046effe8b1d75fe574e30f0892&imageMogr2/format/webp)
/0/24944/coverorgin.jpg?v=10858967469b3fd4003ba811cbbca4db&imageMogr2/format/webp)
/0/2860/coverorgin.jpg?v=ca7ff0334afb8a520de8069ee0b3715d&imageMogr2/format/webp)
/0/3778/coverorgin.jpg?v=45659e33fc35fc3013be25deafe72fcf&imageMogr2/format/webp)
/0/9153/coverorgin.jpg?v=d739cadec9e6d9f609887335587c2f88&imageMogr2/format/webp)
/0/6716/coverorgin.jpg?v=aa47d8853cb4fc2d190f699a4e96e89a&imageMogr2/format/webp)
/0/10520/coverorgin.jpg?v=8362ba6365a8e12a64ad0ca121db53d4&imageMogr2/format/webp)
/0/12939/coverorgin.jpg?v=6c174984c8ef1145cdac2fdce22ee108&imageMogr2/format/webp)
/0/14156/coverorgin.jpg?v=0d6bcf5b3aacc35c4be934b534409f0b&imageMogr2/format/webp)
/0/13005/coverorgin.jpg?v=9cd78141f83941c03784c9a5bde701b1&imageMogr2/format/webp)
/0/3149/coverorgin.jpg?v=3f0c9548d342ef9937c0d337c8cc2b32&imageMogr2/format/webp)
/0/4318/coverorgin.jpg?v=a16a7f280a121aa972c6f257b844ac5a&imageMogr2/format/webp)
/0/3898/coverorgin.jpg?v=e8c73da8248f56bfc2354a940f0bf48f&imageMogr2/format/webp)
/0/3926/coverorgin.jpg?v=4197dc5431d625fbde309664f6306c13&imageMogr2/format/webp)
/0/14868/coverorgin.jpg?v=ed691902cab62c9f9016d20bc582a957&imageMogr2/format/webp)
/0/20579/coverorgin.jpg?v=2a9ead463aa57c9d48544b5acfa2bce0&imageMogr2/format/webp)
/0/22021/coverorgin.jpg?v=40ba8dce77cf7c4da1bd8af23dfd3d9b&imageMogr2/format/webp)
/0/28398/coverorgin.jpg?v=b6753d55de50fdeda83199c069830624&imageMogr2/format/webp)
/0/5774/coverorgin.jpg?v=c4321a0e698161da875110311678e3a9&imageMogr2/format/webp)