/0/20742/coverorgin.jpg?v=42b8e5c123d24a569124d1d64b20c386&imageMogr2/format/webp)
"Gue udah bilang sama lo!! Jangan sekali-kali dengerin omongan temen lonte lu!! Mana ada gue selingkuh. Coba tanya temen lu! Dimana dia liat gue bawa cewek, hah?!!! Dimana?!!"
Ayah mencengkram lengan ibu dengan mata melotot tajam, bola matanya memerah memandang ibu yang menunduk pilu sambil menangis, surainya berantakan dan wajah ibu begitu tersiksa namun tak bisa lepas.
Ibu sesegukan dalam cengkraman ayah, aku diam memeluk tubuh di pojok ruangan. Ini bukan tontonan baru bagiku ketika ayah murka kepada ibu yang meminta cerai karena tak kuat. Ayah selalu begitu, tidak pernah berubah walau sering meminta maaf setelahnya.
Maafnya hanya di mulut, tidak pernah sampai ke hati.
Aku dengar suara teriakan nenek yang keluar meminta tolong, sebab ayah seperti orang kerasukan. Sempat mengambil barang apa saja untuk ia lempar kepada ibu, bahkan sampai mengenai kepalaku. Aku menangis, tentu saja. Aku hanya bocah 13 tahun yang tidak berdaya, tidak begitu mengerti cara membela diri.
Tapi dalam hati aku berucap syukur, adik lelakiku tengah bermain disaat kedua orang tuaku bertengkar hebat lagi, para tetangga datang untuk melerai pertengkaran ibu dan ayah. Pun tubuhku yang diraup oleh seseorang yang entah siapa, sampai aku memeluk tubuhnya erat kemudian mendengar suara lelaki yang kukenali.
"Sudah... Gapapa, disini ada abang. Nggak usah takut, nanti kalau ayah sama ibu berantem lagi. Keluar aja nyari abang atau kerumah ende Iwan, jangan didalam rumah aja, ya. Hm...?"
Ia mengusap belakang kepalaku pun punggung ringkihku, menenangkan sekali. Aku merasa aman dalam dekapannya jadi aku mengangguk sembari sesegukan.
"Setan lo!! Awas aja kalau sampe lu masih temenan ama itu lonte!! Gue cekek mati, babi!"
Ayah terus berteriak walau sudah dipegangi oleh tiga orang warga. Ibu sudah dibawa keluar oleh ibu-ibu yang aku tidak lihat siapa. Ibu memang bukan wanita baik-baik, tapi ibu wanita yang mencoba belajar patuh pada suaminya. Hanya lingkup teman-temannya saja yang kotor, sejak ayah ketahuan selingkuh saat ibu melahirkan adik lelakiku.
Ayah tidak datang, dia entah ada dimana sampai teman ibu membagikan poto ayah sedang berciuman di dalam club dengan perempuan lain yang di kata teman ibu adalah selingkuhannya selama ini.
Parahnya lagi, aku melihat poto itu. Tidak. Aku di paksa untuk melihat. Ibu yang lelah menjadi murka tanpa pandang bulu ia sodorkan gambar itu padaku yang berusia 10 tahun ketika itu. Ibu berteriak marah sambil memegangi kepalaku agar melihat kelakuan ayah dari layar ponsel ibu.
"Liat!! Liat gimana ayah kamu kelakuannya!! Laki-laki gak bener kaya begini, sudah seharusnya dari dulu ibu tinggalkan. Liat gimana bejatnya ayah yang kamu hormati, kak!!"
Aku ingin mengelak tapi kepalaku dicengkeram kuat oleh ibu. Jadi aku memejamkan mata tapi ibu malah berteriak kencang semakin tidak terkontrol.
"Buka mata kamu, kak!! Jangan pejamkan. Liat gimana kelakuan ayah kamu!! Benci dia, dia yang sudah buat kita sengsara kak, dia yang suka pergi tanpa mikirin gimana perut kamu sudah kenyang atau belum, gimana bayaran sekolah kamu!!! Gimana mulut kotor itu memaki ibu dan kamu!"
Aku tentu berteriak sambil menangis ketakutan, karena tingkah ibu yang seperti orang kesetanan. Ibu memukul dadanya setelah melepas kepalaku, beliau terlihat tersiksa sekali akan rasa sakitnya tapi saat itu aku tidak mengerti.
Aku berlari keluar menuju kamar nenek. Aku yang kecil tentu saja tidak paham apa yang terjadi dengan benar, aku hanya mengadu jika ibu menjambak kepalaku dan memperlihatkan poto ayah sedang berciuman dengan perempuan yang bukan ibu.
Nenek marah dan mendatangi kamar ibu kemudian menampar ibu yang tengah menangis. Nenek berteriak tidak karuan di dalam kamar ibu, aku tidak berani masuk. Suara nenek dan ibu bersahutan sangat menyeramkan. Ketika itu aku ketakutan bukan main, jadi aku berlari keluar pukul sembilan malam untuk mengetuk rumah abang.
Setelahnya ibu selalu murung, ibu layaknya mayat hidup. Apalagi ayah semakin menjadi dengan pulang tengah malam bahkan ketika pagi akan datang. Aku jadi sering mendengar suara ayah di malam hari yang sedang menelpon dengan rayu-rayuan dan ucapan vulgar entah dengan siapa. Dan disitu ibu ada di sisiku tengah menidurkan adik lelakiku yang rewel ditengah malam.
Ibu menatap kosong wajah adik, tidak lagi berteriak ataupun memaki jikalau mendengar ayah menelpon selingkuhannya. Aku jadi menutup diri sejak pertengkaran hebat ibu dan ayah. Aku dikucilkan, di katai anak brokenhome. Padahal waktu itu aku belum tau apa itu brokenhome, aku hanya tau mereka mengatai keluargaku yang tidak harmonis dan suka bertengkar.
Ibu akhirnya kabur dan menggugat ayah tanpa mau ada mediasi, ayah tidak terima dan sempat mengamuk di pengadilan sebab ibu memberikan bukti KDRT dan perselingkuhan ayah untuk menguatkan gugatan cerai.
Sebulan setelah itu ayah membawa wanita baru dan ibu bekerja entah dimana, aku hanya sesekali ditelepon dengan rasa rindu yang memeluk erat. Aku rindu ibu pun adikku juga sering bertanya ketika itu, kemana ibu pergi. Ayah tidak memedulikan kita berdua.
Kami terlantar, sampai kabar nenek meninggal membuat aku semakin sedih. Ditambah sejak saat itu, ayah seakan hanya memiliki tanggung jawab pada dirinya saja, tak mengingat aku maupun adikku.
Uang jajanku dan adik berkurang. Ibu sulit aku hubungi dan ayah sering berteriak membentak pada kami. Aku sering kali melihat adik lelakiku memandangi temannya yang jajan namun ia tidak. Kami sering kelaparan. Kemudian waktu berjalan cepat, aku sudah berusia 17 tahun dan masih melanjutkan sekolah sampai jenjang SMA.
Aku mulai kewalahan membayar uang sekolah bersama uang jajan adikku, hampir putus sekolah. Sampai teman ibuku menawarkan pekerjaan yang gajihnya lumayan dalam semalam, ia bilang waktu itu kepadaku yang berumur 17 tahun.
"Pekerjaanmu di akhir pekan saja, dan kamu hanya perlu menuangkan minuman kedalam gelas orang-orang disana."
***
Suara tawa berat bersorakan ketika salah seorang berjas yang sudah terbuka kancingnya. Berdiri diatas meja dan meminum gelas berisi cairan emas di hadapan teman-temannya, kebanyakan dari mereka sudah memiliki istri dan anak. Aku menuangkan lagi botol beralkohol ini kedalam gelas lelaki dewasa yang kutahu sudah mempunyai dua anak remaja.
Dia cukup tampan dan mapan tentunya, sebab dialah yang menyewa tempat dan beberapa wanita penghibur termasuk diriku.
"Kamu benar-benar tidak mau ngamar denganku ya? Padahal aku sengaja terus menyewa kamu." Dia memulai percakapan.
/0/2942/coverorgin.jpg?v=27222bb1c9504600771a63e2dfbcade0&imageMogr2/format/webp)
/0/5888/coverorgin.jpg?v=88ed910bbcf55b640b1eb6eb4ed85c97&imageMogr2/format/webp)
/0/10504/coverorgin.jpg?v=70f46d2b7d1b54273dd655e97f0c6085&imageMogr2/format/webp)
/0/15870/coverorgin.jpg?v=a317703c002318a241814809524d7686&imageMogr2/format/webp)
/0/14914/coverorgin.jpg?v=c06b91a92410edccaee2387dc6f8d05b&imageMogr2/format/webp)
/0/22533/coverorgin.jpg?v=ac42a10c716b1b3cb93cf42b843fe60b&imageMogr2/format/webp)
/0/6529/coverorgin.jpg?v=cddeb0bc243bcef36794eb78d95cc4dd&imageMogr2/format/webp)
/0/24611/coverorgin.jpg?v=ec8a20c274b82dd9df63cf3f627d9889&imageMogr2/format/webp)
/0/16645/coverorgin.jpg?v=ef346df3b63e19bf964828ca82a1a7a0&imageMogr2/format/webp)
/0/7632/coverorgin.jpg?v=ce45d869568359bb87d6d808cb9c3e9e&imageMogr2/format/webp)
/0/22609/coverorgin.jpg?v=716779415ae18478e858361ac7dd49d4&imageMogr2/format/webp)
/0/30743/coverorgin.jpg?v=206a36a220d7e12db2205562ad6c9db6&imageMogr2/format/webp)
/0/3066/coverorgin.jpg?v=1968055e65003abae00f1e114a907847&imageMogr2/format/webp)
/0/4896/coverorgin.jpg?v=e4d73480546b66939e583eeaf04cb2d9&imageMogr2/format/webp)
/0/4290/coverorgin.jpg?v=f69af7fae1687f0e6c25f81bff95b97e&imageMogr2/format/webp)
/0/16428/coverorgin.jpg?v=3d8410225546bfa5035f1dc4b89f685f&imageMogr2/format/webp)
/0/17900/coverorgin.jpg?v=f1f2373bc8cacb04006479fe87f70548&imageMogr2/format/webp)
/0/19737/coverorgin.jpg?v=6182bdc09f7b348fb30c10a15d7173ce&imageMogr2/format/webp)
/0/3968/coverorgin.jpg?v=ceb6ecf5c18b901dd17f817d8465961f&imageMogr2/format/webp)