/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
"Jangan sisakan satupun nyawa. Bunuh semuanya!"
Angin malam membawa aroma kematian ke seluruh sudut kediaman keluarga Moretti. Jeritan dari para penjaga yang tumbang satu per satu terdengar seperti simfoni suram, mengiringi bayang-bayang kematian yang semakin mendekat.
Api mulai menjilat pintu utama rumah megah itu, sementara Lorenzo Ricciardi berdiri dengan tatapan dingin di halaman depan. Wajahnya seperti diukir dari batu, tanpa emosi, meskipun tangannya baru saja menodai nyawa.
"Pastikan tidak ada yang tersisa!" perintah Lorenzo kepada anak buahnya dengan suara tegas.
Anak buahnya bergegas memborbardir, suara tembakan menggema, diikuti oleh jeritan kesakitan yang segera lenyap menjadi keheningan. Lorenzo mengayunkan kakinya ke arah pintu utama yang kini terbuka.
"Mereka pasti bersembunyi di dalam. Temukan mereka!"
Di lantai atas rumah, Isabella Moretti gemetar di balik lemari besar di kamar tidurnya. Hatinya berdetak seperti genderang perang, menenggelamkan suara apa pun di sekitarnya.
Namun, ia tahu ia tahu siapa yang datang malam ini. Lorenzo Ricciardi, pria yang sering disebut 'Malaikat Maut' oleh dunia bawah tanah.
"Orang tuaku salah apa? Sampai dibunuh dan rumahku dihancurkan begini," gumamnya pelan, tangannya erat memegang salib kecil di lehernya.
Ia mendengar langkah berat mendekat ke kamar. Isabella menggigit bibirnya, mencoba menahan napas. Ketika pintu kamar terbuka dengan keras, detik waktu terasa kian melambat.
"Periksa semua tempat." Terdengar suara salah satu anak buah Lorenzo. "Gadis itu harusnya ada di sini."
Isabella tahu ia tak punya banyak waktu. Diam-diam, ia merangkak keluar dari balik lemari, mencoba mencapai jendela untuk melarikan diri.
Namun saat ia hampir membuka kaca, suara bariton menghentikannya. "Jangan bergerak!"
Isabella berbalik dengan perlahan. Lorenzo berdiri di sana, tubuhnya menjulang tinggi dengan mantel hitam panjang yang berkibar tertiup angin dari jendela. Kilatan matanya tajam menusuk ke dalam iris Isabella.
"Jadi, kau putri Moretti?" Lorenzo berjalan mendekat, sepatu hitamnya berderap di lantai marmer. "Yang selalu dipuja-puja itu?"
Isabella mencoba menegakkan tubuhnya meskipun kakinya gemetar. "Kalau kau datang untuk membunuhku, lakukan saja sekarang."
"Berani sekali," gumam Lorenzo dengan senyum sinis. "Seperti ayahmu."
"DON'T!" Isabella berteriak, matanya berkaca-kaca. "Jangan sebut namanya dari mulutmu yang kotor itu!"
Lorenzo menghentikan langkahnya. Sejenak, ada kilatan emosi di matanya. "Kau memang berbeda," katanya dingin. "Kebanyakan akan memohon untuk hidup mereka. Tapi kau ... malah ingin mati seperti ini?"
"Lebih baik mati daripada menyerah pada iblis sepertimu!"
Mendengar itu, Lorenzo mengangkat sebelah alisnya, seolah terhibur. "Menarik. Tapi aku tidak akan memberimu kematian secepat ini."
Isabella menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Lorenzo mendekat, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Isabella. "Aku ingin kau menderita. Kehilangan segalanya, termasuk harga dirimu." Suaranya seperti bisikan iblis yang merasuk ke dalam pikirannya. "Tapi aku tidak akan membunuhmu. Ah, maksudku ... belum."
"Lakukan apa saja padaku, tapi aku bersumpah, aku akan membalas dendam untuk keluargaku," ujar Isabella dengan tegas, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya.
Lorenzo mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Isabella bisa merasakan napas hangatnya. "Kau akan mencoba, tapi aku pastikan kau tidak akan berhasil." Ia menoleh pada anak buahnya yang menunggu di ambang pintu. "Bawa dia ke mobil."
/0/21438/coverorgin.jpg?v=0b02ebfe9498379b9de835ace5234dfc&imageMogr2/format/webp)
/0/10736/coverorgin.jpg?v=b939c426b55d646451be81456d492c69&imageMogr2/format/webp)
/0/17434/coverorgin.jpg?v=1de4f94e2e2aba3ab8d4e61d73353126&imageMogr2/format/webp)
/0/17059/coverorgin.jpg?v=5f6e058de49b1d2b018b68b106d57469&imageMogr2/format/webp)
/0/21167/coverorgin.jpg?v=0eaf36107d3953be702842be2e46ecb6&imageMogr2/format/webp)
/0/18008/coverorgin.jpg?v=c117440b6886cefdb6e9950c4468fbbf&imageMogr2/format/webp)
/0/10432/coverorgin.jpg?v=55eec7bd8c6ddef6ed23f46ede30247b&imageMogr2/format/webp)
/0/14244/coverorgin.jpg?v=0aaba09d9c7fd5816b0b9970f63d080d&imageMogr2/format/webp)
/0/15598/coverorgin.jpg?v=f653fa1c67a8c0cb568160fc4e500d33&imageMogr2/format/webp)
/0/28419/coverorgin.jpg?v=57b2b078f3adc4e611e7d5c25b8f3cc4&imageMogr2/format/webp)
/0/22561/coverorgin.jpg?v=525b31d5acfe8be18c1a87cb0176ec7c&imageMogr2/format/webp)
/0/14378/coverorgin.jpg?v=431eae7888845d48fdba0a524f2dc790&imageMogr2/format/webp)
/0/19899/coverorgin.jpg?v=ef25e24013022f1e5084d13e9fc9e886&imageMogr2/format/webp)
/0/13205/coverorgin.jpg?v=9af290515da8dd995ad0829d60f3154b&imageMogr2/format/webp)
/0/20212/coverorgin.jpg?v=8704580479c1067c241cc50e5d87daee&imageMogr2/format/webp)
/0/27882/coverorgin.jpg?v=fb3af0b7aa134f32aba29157ac30ac5c&imageMogr2/format/webp)
/0/28867/coverorgin.jpg?v=7b0e6024e1de511891092aedce1d1655&imageMogr2/format/webp)