/0/29740/coverorgin.jpg?v=498ec92023b9e068b41f744dca672409&imageMogr2/format/webp)
“Mas udah bosen dengerin ocehan, Mama! Pasti ada masalah sama rahim kamu!”
“Mas … Mas kan udah tau sendiri hasil dari dokter. Aku sehat kok Mas,” ucap Aisyah membantah.
“Kalau sehat mana buktinya? 4 tahun kita menikah kamu belum hamil juga!” jawab Bima kecewa.
“Mama pasti ngerti kok, asal Mas bisa ngasi pengertian juga ke Mama.”
“Aku kalau jadi Mama bakalan sama juga, kok. Kamu lihat di luar sana teman-teman Mama semuanya udah gendong cucu,” ucap Bima seraya menyindir.
“Mas kok jadi banding-bandingin aku gini sih? Mas kira aku juga nggak pengen punya anak. Di kondisi kayak gini aku yang paling sedih harusnya Mas support aku,” sahut Aisyah sembari meneteskan air mata.
“Aku harus support kayak gimana lagi? Kuping aku tuh panas tiap pulang kerja dengerin Mama minta cucu mulu, aku tuh capek punya istri kayak kamu!” ucap Bima lancang.
Aisyah yang mendengar perkataan menyakitkan dari suaminya itu lantas menangis tersedu dan meninggalkan Bima di tengah percakapan yang sedang berlangsung. Pertengkaran semacam ini selalu saja terjadi sejak setahun pernikahan mereka hingga empat tahun berlalu mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Ajeng, mertua Aisyah selalu menuntut mereka untuk segera mempunyai momongan tanpa memberikan solusi ataupun support untuk Aisyah melainkan hanya sindiran dan selalu membanding-bandingkan menantunya itu dengan orang-orang di luar sana yang sudah bisa memberikan mertuanya seorang cucu.
“Dikit-dikit nangis, sudah tau salah siapa suruh nggak hamil-hamil, gimana suaminya mau bahagia kalau kerjaannya nangis terus!” ucap wanita tua itu dengan nada keras. Berharap di dengar Aisyah yang tujuannya memang untuk menyindir perempuan malang itu.
Tangis Aisyah semakin pecah, ia hanya bisa menutup telinganya dan mengurung diri di kamar.
“Ya, buka! Ini, Mas.”
Aisyah dengan tertatih membuka pintu, “Kenapa Mas? Mas mau ikutan nyindir aku lagi? Belum puas ya!”
“Maaf, Mas nggak maksud nyakitin kamu,” ucap Bima menyesali perkataannya.
“Terus Mas kira aku percaya sama kata maaf dari Mas? Ini udah maaf yang keberapa kali?”
“Kamu harusnya bisa ngertiin Mas dong! Aku ini capek pulang kerja harus ngadepin ocehan Mama tiap hari.”
“Mas, kalau kamu nyamperin aku ke sini cuman mau adu nasib mending gausah ganggu aku dulu deh! Mas kira aku di rumah leha-leha, aku juga nggak bisa ngerasa capek? Aku lelah tubuh lelah batin Mas.”
/0/18016/coverorgin.jpg?v=c433198e5cf2153ea10bac61cea62a83&imageMogr2/format/webp)
/0/17290/coverorgin.jpg?v=7ccbd0cb91087b216bf988ef50b95682&imageMogr2/format/webp)
/0/21448/coverorgin.jpg?v=2da3699e0441bf95c1b7cb8c9d116469&imageMogr2/format/webp)
/0/16835/coverorgin.jpg?v=e4fb7f2d306934fd883fb8ff2f2e9fc3&imageMogr2/format/webp)
/0/10812/coverorgin.jpg?v=198d370c74eb96f286a5bfcb5000632b&imageMogr2/format/webp)
/0/2834/coverorgin.jpg?v=adf507028e4f3f79b0285199008acca1&imageMogr2/format/webp)
/0/28246/coverorgin.jpg?v=69fbceda06bc1129f3e6418c397952ca&imageMogr2/format/webp)
/0/3799/coverorgin.jpg?v=ef70d33ef92a09130c251ab011da9cb5&imageMogr2/format/webp)
/0/16944/coverorgin.jpg?v=060a845495c96644c28b2058802d384c&imageMogr2/format/webp)
/0/17951/coverorgin.jpg?v=826938fa2d6147a359ff89b8580da6c0&imageMogr2/format/webp)
/0/21487/coverorgin.jpg?v=0ac87d32e96af18e2cb6c0cf3e61df32&imageMogr2/format/webp)
/0/3809/coverorgin.jpg?v=e7e077333046fba0f011a2436c21b55a&imageMogr2/format/webp)
/0/16375/coverorgin.jpg?v=e56af4b1eb7de8d02d28ff39bff2e150&imageMogr2/format/webp)
/0/8054/coverorgin.jpg?v=6150d9a9449774c2451ea4b3a210dbc2&imageMogr2/format/webp)
/0/9067/coverorgin.jpg?v=c97c160b1f7e5de936fe89beed03c9f0&imageMogr2/format/webp)
/0/20189/coverorgin.jpg?v=b7deb36926a430a8e6c2e9b1ef3f5ab6&imageMogr2/format/webp)