Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Kota Harapan, dengan rumah-rumah tua bercat warna pastel dan taman-taman kecil yang tertata rapi, terasa begitu damai dan menenangkan. Aria, seorang fotografer muda yang baru saja pindah ke sini, berharap dapat menemukan inspirasi baru untuk karyanya. Ia ingin menangkap keindahan sederhana yang terpancar dari setiap sudut kota ini.
Hari pertamanya di Kota Harapan, Aria memutuskan untuk menjelajahi taman kota yang terkenal dengan keindahannya. Taman yang luas dan hijau itu dipenuhi dengan pepohonan rindang, bangku-bangku kayu, dan air mancur yang menari-nari. Di tengah taman, matanya tertuju pada sebuah bangku kayu yang terletak di bawah pohon beringin tua. Di sana, duduk seorang pria dengan tubuh tegap dan rambut hitam yang sedikit beruban. Ia mengenakan kemeja putih yang bersih dan celana panjang berwarna cokelat.
Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Aria tertarik. Mungkin karena aura misterius yang terpancar dari dirinya, atau mungkin karena tatapan matanya yang dalam dan penuh makna. Aria tidak bisa berhenti memperhatikannya. Ia merasa ada magnet yang menariknya menuju pria itu.
Dengan hati berdebar, Aria mendekati bangku kayu itu. Ia duduk di bangku di seberang pria itu, menjaga jarak yang cukup agar tidak membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, pria itu tidak menoleh. Ia tetap fokus pada buku yang sedang dibacanya, seakan-akan tidak menyadari kehadiran Aria.
"Permisi," sapa Aria dengan suara lembut. "Apakah boleh saya duduk di sini?"
Pria itu akhirnya menoleh. Matanya yang berwarna cokelat gelap menatap Aria dengan intens. Ada sebersit senyum tipis di bibirnya.
"Tentu," jawabnya dengan suara yang dalam dan berat. "Silakan."
"Terima kasih," kata Aria. "Nama saya Aria."
"Dimas," jawab pria itu singkat.
Percakapan mereka terhenti sejenak. Keduanya terdiam, hanya suara gemerisik daun dan kicauan burung yang memecah kesunyian. Aria merasa gugup, tetapi ia juga merasakan ketertarikan yang kuat terhadap Dimas.
"Anda sering duduk di sini?" tanya Aria, berusaha memecah keheningan.
"Ya," jawab Dimas. "Setiap hari."
"Apakah Anda suka membaca?" tanya Aria lagi, menunjuk buku yang sedang dipegang Dimas.
"Ya, saya suka membaca," jawab Dimas. "Terutama buku-buku tentang sejarah dan filsafat."
"Oh, menarik," kata Aria. "Saya juga suka membaca, tapi lebih ke buku-buku fiksi."
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Aria merasa nyaman berbicara dengan Dimas. Ia menemukan bahwa Dimas adalah pria yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki selera humor yang baik.
"Anda fotografer?" tanya Dimas, melihat kamera yang tergantung di leher Aria.
"Ya," jawab Aria. "Saya baru saja pindah ke sini dan ingin menjelajahi kota ini dengan kamera saya."
"Kota ini memiliki banyak tempat menarik," kata Dimas. "Jika Anda ingin, saya bisa menunjukkan beberapa tempat yang indah."
"Benarkah?" tanya Aria, matanya berbinar. "Saya sangat senang jika Anda mau."
"Tentu," jawab Dimas. "Kapan Anda punya waktu?"
"Bagaimana kalau besok pagi?" tanya Aria. "Saya bisa menjemput Anda di taman ini."
"Baiklah," jawab Dimas. "Saya tunggu di sini."
Senyum lebar terukir di wajah Aria. Ia merasa senang dan bersemangat. Pertemuannya dengan Dimas di taman itu terasa begitu istimewa. Ia tidak menyangka akan menemukan seseorang yang begitu menarik di kota kecil ini.
"Sampai jumpa besok," kata Aria.
"Sampai jumpa," jawab Dimas.
Aria beranjak dari bangku dan berjalan pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Dimas lagi besok. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Ia berharap pertemuan ini adalah awal dari sebuah kisah cinta yang indah, sebuah kisah yang akan selamanya terukir di hatinya.
Keesokan harinya tanpa sengaja aria dan dimas ketemu lagi di tempat yang sama waktu mereka berdua ketemu.
"Selamat pagi," sapa Dimas, senyum tipis terukir di bibirnya.