/0/29677/coverorgin.jpg?v=4e40cdeaf1f377a7c7b9a8742f772598&imageMogr2/format/webp)
Lia menatap angka di lembaran uang lusuh di tangannya dengan tatapan kosong. Dua lembar sepuluh ribuan dan satu lembar lima ribuan. Totalnya persis Rp 25.000. Nafasnya mendesah panjang, menciptakan embun tipis di udara pagi Jakarta yang terasa mulai menyengat. Uang ini, ibaratnya, adalah tiket sehari dia bertahan hidup. Tiket sehari untuk memberi makan enam orang dewasa di rumah besar yang ironisnya terasa lebih sempit daripada kontrakan petak.
"Dua puluh lima ribu..." gumamnya, suaranya nyaris hilang ditelan bising kendaraan yang mulai ramai di depan gang. "Dua puluh lima ribu untuk enam orang. Hari ini masak apa lagi, ya Allah?"
Pikiran Lia langsung berputar liar. Otaknya sudah terlalu lelah melakukan simulasi ekonomi mikro setiap pagi. Jika dia beli ayam seperempat, harganya sudah pasti melampaui separuh jatah. Itu baru lauk. Belum sayur, bumbu, apalagi tempe yang merupakan penyelamat umat berbudget cekak.
Kemarin, Lia mencoba memberanikan diri. Karena ia tahu suaminya, Dion, dan terutama ibu mertuanya, paling sensitif kalau urusan perut. Kemarin, ia hanya mampu membeli ikan asin yang paling murah, plus satu ikat kangkung. Ia pikir, sudahlah, dimasak sambal pedas pasti tertolong.
Ternyata tidak.
Begitu makan malam disajikan, suasana ruang makan yang biasanya sudah tegang menjadi semakin mencekam. Ayah mertua memang diam, fokus pada nasi. Tapi Ibu Mertua, Mami Sandra, langsung menyodok piring Lia dengan pandangan tajamnya.
"Lia, ini apa?" tanya Mami Sandra, nadanya sudah seperti pisau dapur yang diasah.
Lia, yang selalu berusaha tenang di bawah tekanan, menelan ludah. "Ikan asin jambal roti, Mi. Digoreng kering, sama sambal terasi..."
"Jambal roti?" Mami Sandra tertawa kecil, tawa yang menusuk gendang telinga. "Saya kira ini sampah dapur. Bau. Mana cukup buat enam orang, hah? Kamu kasih suami saya, anak saya, makan ginian? Mau jadi apa anak saya kalau tiap hari kamu kasih makanan murahan begini?"
Dion, yang duduk di sampingnya, seharusnya membela. Seharusnya dia bilang, "Kan ini uang dari aku, Ma." Tapi Dion? Pria itu hanya sibuk mengaduk nasinya, pura-pura fokus pada remah-remah di piring, seolah telinganya budek mendadak. Sikap Dion itu yang paling melukai Lia. Bukan kritikan mertua, tapi pengkhianatan diam-diam dari suaminya sendiri.
"Ini semua karena kamu tidak becus mengelola uang, Lia," lanjut Mami Sandra, nadanya semakin tinggi. "Dion sudah kasih kamu jatah, ya. Kenapa kamu tidak bisa pintar-pintar membelikan bahan yang lebih baik? Kamu ini ibu rumah tangga macam apa? Pemalas!"
Air mata Lia sudah tertahan di ujung pelupuk mata. Kata 'pemalas' itu sungguh menyakitkan. Demi dua puluh lima ribu itu, Lia sudah bangun jam empat pagi, jalan kaki jauh ke pasar tradisional, membandingkan harga tiap sayuran, menawar sampai urat lehernya terasa mau putus, dan kembali ke rumah sebelum subuh untuk memasak. Semua itu dia lakukan sendirian, tanpa bantuan. Dan balasannya? Disebut pemalas.
Pria yang Lia nikahi, Dion, adalah akar dari segala masalah ini. Bukan, bukan karena Dion tidak punya uang. Dion bekerja di perusahaan lumayan, dan gajinya sebenarnya cukup untuk hidup layak, jauh dari kata pas-pasan. Tapi Dion punya filosofi hidup yang aneh: dia sangat pelit, tidak hanya pada Lia, tapi pada dirinya sendiri. Dia selalu percaya, menyimpan uang adalah segalanya. Namun, kekikiran Dion ini hanya berlaku pada pengeluaran rumah tangga yang dikelola Lia. Untuk urusan pribadinya? Beda cerita.
Lia ingat pernah sekali ia memberanikan diri protes.
"Mas, masa sih nggak bisa dinaikin dikit jatahnya? Tiga puluh ribu aja deh, Mas. Biar aku bisa beli protein yang layak buat anak-anak."
Dion, yang saat itu sibuk melihat layar ponselnya, menjawab tanpa menoleh. "Nggak bisa. Dua puluh lima ribu itu sudah standar. Itu sudah cukup kalau kamu pintar. Istriku dulu juga bisa tuh, masak enak dengan uang segitu."
Istriku dulu. Kata-kata itu selalu sukses membuat hati Lia mencelos. Dion tidak pernah berhenti membandingkannya dengan 'mantan istri' (sebenarnya mantan pacar paling serius, bukan istri sah) yang selalu dianggapnya sempurna.
"Kamu itu harusnya kayak Sarah. Dia pintar masak, pintar hemat, pintar dandan. Coba kamu lihat dia di Instagram, penampilannya selalu rapi," ucap Dion, lagi-lagi membuat Lia merasa dirinya hanya seonggok kegagalan.
Lia menarik napas dalam-dalam. Dua puluh lima ribu hari ini. Harus bagaimana?
Ia memutuskan untuk pergi ke warung sayur di ujung gang saja. Warung itu menjual eceran, lebih mahal sedikit memang, tapi menghemat ongkos jalan kaki ke pasar yang lumayan jauh. Ia tidak punya waktu. Dia harus segera memasak sebelum jam sarapan keluarga mertua.
Di warung itu, mata Lia tertumbuk pada sekumpulan ikan teri yang kecil-kecil, harganya Rp 7.000 per ons. Mahal. Tapi kalau digoreng kering dan dijadikan pelengkap, lumayan. Lalu, ia melihat bayam yang tampak segar, satu ikat Rp 3.000. Dan... penyelamat sejati: tahu putih. Dua buah tahu besar hanya Rp 5.000. Total sementara: Rp 15.000.
"Masih sisa sepuluh ribu..." pikir Lia.
/0/30156/coverorgin.jpg?v=024834ba7b0fdcfa072c64276dd92cbf&imageMogr2/format/webp)
/0/2314/coverorgin.jpg?v=83d6a252aa475c96b561cd00597ad4c5&imageMogr2/format/webp)
/0/2398/coverorgin.jpg?v=0b2b1c54e4252520e4b43f1d7776df14&imageMogr2/format/webp)
/0/3456/coverorgin.jpg?v=de716839bd98a0fdefee9093bf308d00&imageMogr2/format/webp)
/0/4027/coverorgin.jpg?v=54ca138eca4dd4c2dd32806ddd744bd8&imageMogr2/format/webp)
/0/5359/coverorgin.jpg?v=31dc0782c37317ab6efea0d844053c45&imageMogr2/format/webp)
/0/15445/coverorgin.jpg?v=9237c6edf1bfb2243d6db3d85f70d75f&imageMogr2/format/webp)
/0/22567/coverorgin.jpg?v=7c92bcb6385ea72a8db1d758256db4ae&imageMogr2/format/webp)
/0/16754/coverorgin.jpg?v=d4db72e404c10eee92f590cbd35a266b&imageMogr2/format/webp)
/0/12338/coverorgin.jpg?v=c41896a45e5a62f0557b2e461059601a&imageMogr2/format/webp)
/0/6247/coverorgin.jpg?v=ea3dd330e42c5e623297872568058779&imageMogr2/format/webp)
/0/16151/coverorgin.jpg?v=a220e864e5dbf64d96768e682ffbbf09&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=309d2c68cdf00ae1a052e743831ec10a&imageMogr2/format/webp)
/0/23722/coverorgin.jpg?v=99d347a720b226ce13c8e6b617d987ca&imageMogr2/format/webp)
/0/12754/coverorgin.jpg?v=e6ce11975e25da3381ac05989a07a327&imageMogr2/format/webp)
/0/14018/coverorgin.jpg?v=47bf9242167409c77e6f00bf9182166a&imageMogr2/format/webp)
/0/13056/coverorgin.jpg?v=4c5c425d88c3802dc6d1aad5d5a417f1&imageMogr2/format/webp)