/0/20257/coverorgin.jpg?v=d895fe5a67d001708f299466b8794622&imageMogr2/format/webp)
Di hari ulang tahunku, tunanganku, Vano, merencanakan kejutan di tepi kolam renang.
Namun, bukannya pelukan hangat, ia justru mendorongku ke dalam air yang dingin.
Padahal ia tahu persis aku memiliki trauma mendalam dan tidak bisa berenang.
Saat aku berjuang mencari napas, ia malah tertawa puas sambil merangkul Melodi, mahasiswa magang yang ternyata selingkuhannya.
"Sialan, jangan sampai dia mati," gumamnya panik saat aku ditarik keluar, bukan karena mengkhawatirkanku, tapi takut akan reputasinya sendiri.
Ketika aku sadar di rumah sakit, ia dengan wajah tanpa dosa berbohong kepada semua orang bahwa aku terpeleset karena ceroboh.
Melihat wajah munafiknya, rasa cintaku seketika berubah menjadi kebencian yang membara.
Pria ini baru saja mencoba membunuhku demi wanita lain, dan aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja.
Maka, saat ia mencoba memegang tanganku dengan sok peduli, aku menepisnya kasar dan menatapnya dengan tatapan kosong.
"Maaf, Anda siapa?" tanyaku dingin.
"Aku tidak mengenalmu. Aku hanya ingat kekasihku, Bahar Adijaya."
Mendengar nama musuh bebuyutannya disebut sebagai kekasihku, wajah Vano seketika pucat pasi.
Permainan balas dendamku baru saja dimulai.
Bab 1
Sekar Yuli POV:
Udara dingin menghantam paru-paruku. Air kolam renang yang dalam menelanku, menarikku ke dalam kegelapan yang sangat kukenal. Ini bukan perayaan ulang tahun biasa. Ini adalah tindakan kejam yang direncanakan.
Tubuhku meronta. Tanganku berusaha meraih apa pun, siapa pun. Tapi yang ada hanyalah biru yang tak berujung, dan suara tawa yang jauh dan terdistorsi. Tawa itu milik Vano. Mantan Vano-ku. Pria yang kucintai selama tiga tahun. Pria yang baru saja mendorongku ke kolam yang mengerikan ini.
Dia berdiri di tepi kolam, seringai bermain di bibirnya. Di sampingnya, Melodi, sang mahasiswi magang. Matanya, yang biasanya polos, kini berkilat dengan kepuasan yang dingin. Senyum tipis, penuh kemenangan, menyentuh bibirnya. Dia membuat gerakan, anggukan halus ke arah Vano. Vano membalasnya dengan kedipan mata.
Hatiku hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena air. Tapi karena pengkhianatan yang mutlak. Aku tenggelam. Lagi.
Paru-paruku terasa terbakar. Penglihatanku memudar. Ingatan akan hari itu, bertahun-tahun lalu, ketika ombak menyeretku ke bawah, melintas di benakku. Ketakutan. Ketidakberdayaan. Itulah mengapa aku sangat membenci air. Vano tahu. Dia tahu itu dengan sangat baik.
Aku sudah memohon padanya, bukan? "Vano, jangan di atas kapal. Aku tidak nyaman dengan air."
Tapi dia hanya tertawa. "Sayang, ini ulang tahunmu. Kita harus merayakannya dengan gaya!" Dia suka pamer. Terutama ketika ada wajah-wajah baru.
Melodi adalah salah satunya. Dia bergabung dengan perusahaannya sebulan yang lalu. Muda. Terlihat polos. Rambutnya yang panjang dan gelap selalu tertata sempurna. Matanya, lebar dan tampak naif, selalu terlihat mencari Vano.
Aku menyadarinya. Cara Vano menatapnya. Cara dia mencari alasan untuk berbicara dengannya, menyentuh tangannya, bercanda dengannya. Aku mencoba mengabaikannya. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa itu hanya Vano yang seperti Vano. Dia memang playboy, tapi dia selalu kembali padaku. Dia bahkan pernah melamarku, memegang cincin berlian yang berkilauan seperti janji. Sebuah janji yang kini terasa seperti kebohongan.
Dia berkata, "Sekar, kamu adalah satu-satunya untukku. Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Aku memercayainya. Seperti orang bodoh, aku memercayainya.
Sekarang, yang kulihat hanyalah Melodi, kepolosan palsunya yang larut menjadi senyum kejam. Dan Vano, Vano-ku, menanggapi Melodi dengan tatapan yang seharusnya hanya untukku.
Air memenuhi mulutku, menyengat hidungku. Tubuhku terasa berat. Aku tidak bisa melawan lagi. Ini dia. Tenggelam. Lagi.
Percikan air yang tiba-tiba. Lengan yang kuat melingkari pinggangku. Seseorang menarikku ke atas. Udara. Udara yang sangat berharga, membakar paru-paruku. Aku terbatuk, tersedak, tubuhku kejang-kejang.
"Sekar!" Sebuah suara, panik. Bukan suara Vano.
Aku sudah di dek. Orang-orang mengerumuniku. Wajah-wajah yang penuh kekhawatiran. Tapi wajah Vano berbeda. Itu pucat, ketakutan di matanya. Bukan ketakutan untukku, aku menyadari. Tapi ketakutan untuk dirinya sendiri.
"Apa yang terjadi?" seseorang bertanya.
"Dia jatuh." Suara Vano tegang. Sebuah kebohongan.
Melodi memalingkan muka, senyumnya hilang, digantikan oleh ekspresi terkejut yang berpura-pura. Oh, dia sangat pandai berakting.
Penglihatanku memudar menjadi hitam. Hal terakhir yang kudengar adalah Vano bergumam, "Sialan, jangan sampai dia mati."
Aku terbangun karena bau antiseptik yang steril. Tenggorokanku sakit. Kepalaku berdenyut. Aku berada di ranjang rumah sakit.
Vano ada di sana, duduk di sampingku, tampak khawatir. Dia meraih tanganku.
Aku tersentak. Ingatan akan dorongannya, air dingin, senyum Melodi, gumaman paniknya... Semuanya membanjiri pikiranku.
"Sayang, kamu sudah sadar." Dia terdengar lega. Terlalu lega.
Dia menatapku, matanya penuh dengan apa yang dia ingin aku percayai sebagai kekhawatiran. Dia meremas tanganku.
Aku menarik tanganku menjauh. Tubuhku menegang, penolakan naluriah.
Dia mengerutkan kening. "Kenapa, Sayang? Aku Vano. Kekasihmu."
Mataku bertemu dengan matanya. Sebuah kesadaran yang dingin dan keras menghunjam dadaku. Pria ini, pria keji dan mengerikan ini, mencoba membunuhku. Dia tidak pantas mendapatkan kemarahanku. Dia tidak pantang mendapatkan apa pun. Sebuah ide, dingin dan cemerlang, berkelebat di benakku.
"Vano? Siapa itu Vano?" bisikku, suaraku serak. Mataku membelalak, berpura-pura bingung.
Dia tampak terpana. "Sekar? Kamu... kamu tidak ingat aku?"
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, air mata menggenang di mataku. Bukan untuknya, tapi untuk kehidupan yang kutinggalkan. Dan untuk kehidupan yang akan kubangun.
"Aku... aku tidak tahu siapa kamu."
Wajahnya jatuh. Topeng kekhawatirannya retak.
"Aku hanya ingat... Bahar."
Vano Adisasmita POV:
"Bahar?" Suara itu keluar dari mulutku tanpa kusadari. Bahar Adijaya? Musuh bebuyutanku? Apa maksud Sekar dengan itu?
Sekar menatapku dengan mata kosong, seolah aku adalah orang asing. Ini pasti akal-akalannya. Dia pasti bercanda.
"Jangan bercanda, Sekar. Ini tidak lucu," kataku, mencoba menahan amarahku. "Aku Vano. Kekasihmu. Kita baru saja merayakan ulang tahunmu."
Tapi dia hanya menarik selimut lebih tinggi, ekspresi ketakutan yang samar muncul di matanya. Seolah-olah akulah yang paling menakutkan di ruangan ini. Perempuan licik ini. Dia pasti sedang mempermainkanku.
"Aku tidak tahu... Vano... aku tidak kenal siapa kamu," katanya lagi, suaranya bergetar. "Aku hanya ingat Bahar."
Rasa panas membakar dadaku. Bahar Adijaya. Nama itu seperti duri di tenggorokanku. Kenapa dia harus menyebut nama itu? Dia tahu aku membenci pria itu. Semua orang tahu itu. Bahar selalu menjadi bayang-bayang yang menyebalkan dalam hidupku. Lebih sukses, lebih dihormati, dan sekarang... dia mengambil Sekar dariku?
/0/30648/coverorgin.jpg?v=c7622ca81c2bb344c114b5f76982140e&imageMogr2/format/webp)
/0/3379/coverorgin.jpg?v=6bc187d431596e2a88388566fb53191f&imageMogr2/format/webp)
/0/22968/coverorgin.jpg?v=98459e70775a89f44857884328e62bce&imageMogr2/format/webp)
/0/27621/coverorgin.jpg?v=27edaad79907c7e8bd123c3140183f02&imageMogr2/format/webp)
/0/21409/coverorgin.jpg?v=79f236ca20a80386f8bd96cae4000830&imageMogr2/format/webp)
/0/2941/coverorgin.jpg?v=a113f933c51b68be507cce6d077e3c5a&imageMogr2/format/webp)
/0/5053/coverorgin.jpg?v=10956731975730da070c19fa4f539b70&imageMogr2/format/webp)
/0/29606/coverorgin.jpg?v=43de8d7d2e394f3d3f370d1b2566c8f7&imageMogr2/format/webp)
/0/17149/coverorgin.jpg?v=9e8822e567909a5e504ab1ee583fe92b&imageMogr2/format/webp)
/0/5487/coverorgin.jpg?v=5f14fba69636ed885f8b73f7a02fe96c&imageMogr2/format/webp)
/0/4586/coverorgin.jpg?v=651c662242c05b47245fd41f214c5dc9&imageMogr2/format/webp)
/0/8922/coverorgin.jpg?v=122f60a4aa4007bf4763bc7735e28281&imageMogr2/format/webp)
/0/18873/coverorgin.jpg?v=b8baa94752614edd376b3e18297a1c9e&imageMogr2/format/webp)
/0/3334/coverorgin.jpg?v=6e6d8f37662ef09cd884581b5c644618&imageMogr2/format/webp)
/0/3872/coverorgin.jpg?v=e9a4e6acc2dfae4e5b73afa34ec542aa&imageMogr2/format/webp)