Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sam agak melamun di teras rumahnya. Sambil menikmati sebatang rokok dan segelas kopi hitam. Matanya memandang lelah ke arah jalan depan rumah.
Hufz, sedikit sengal tarikan nafas yang ia buat pagi ini. Lekas ia kembali melanjutkan untuk mengikat tali sepatu di telapak kakinya.
“Mas Sam belum berangkat kerja ya?” sapa seorang Ibu-Ibu tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah. Setelah berbelanja di depan gang tak jauh dari rumah Sam.
“Ini mau berangkat Bu, Jah baru kelar belanja ya?” ramah Sam menimpali sapaan ringan para tetangganya yang terkadang selalu saja menggunjingkan Sam.
“Iya Mas Sam mari, duh gantengnya,” celetuk Ibu-Ibu tetangga yang satunya lagi yang berjalan di samping Ibu-Ibu tadi menyapa Sam.
Sam hanya tersenyum simpul menanggapi ocehan para Ibu-Ibu. Sudah sifat Sam dari dahulu saat masih muda. Tidak pernah memedulikan omongan orang lain. Bahkan ia tidak pernah ikut campur urusan orang lain. Buang-buang energi saja untuk memikirkan yang tidak perlu dipikirkan, ujarnya dalam hati.
Sebenarnya Sam sudah sering mendengar ocehan tetangga tentangnya. Sering Sam memergoki para Ibu-Ibu tetangga yang tengah membicarakan tentangnya.
Terkadang saat Sam melewati sekumpulan Ibu-Ibu yang mengerumuni tukang sayur. Sam sering mendengar para tetangga tersebut membicarakan tentang dirinya.
Kata mereka, “Kasihan ya Mas Sam walau punya rumah mewah, mobil bagus dan motor sport. Tapi belum punya pasangan. Malah masih muda sudah harus menyandang label Duda.”
Tapi Sam selalu tersenyum pada mereka dengan ramah. Sam memang memiliki segudang barang mewah hasil dari jerih payahnya selama ini. Sekarang dia jua telah memiliki rumah sendiri yang ia beli setahun lalu di pusat kota Jombang. Bahkan Sam telah mendirikan pabrik percetakan yang dimanah sebagian produksinya adalah buku yang ia ciptakan sendiri.
Beberapa judul buku jua sudah pernah dibuat serial film oleh beberapa rumah produksi Ibukota. Tapi entah mengapa ia lebih suka mengendarai sepeda motor bebek butut yang sudah tidak dipakai oleh Bapaknya.
“Bos ayo berangkat sudah jam berapa ini?” ujar Nurman seorang sahabat karib yang ia plot sebagai CEO di perusahaan yang ia buat.
Nurman adalah teman sekaligus sahabat karib Sam semenjak kecil. Nurman jua selalu membantu Sam untuk membesarkan cita-citanya sebagai penulis terkemuka. Sekarang Sam sudah mewujudkan cita-cita. Jadi Nurman jua berhak untuk menikmati hasil.
Kebetulan Nurman memiliki rumah di samping rumah Sam. Sam membeli rumah itu jua atas saran Nurman.
“Enggak bawa bekal lagi kamu Nurman? Biasanya bawa bekal satu kotak penuh,” ujar Sam mulai menggoda sahabatnya yang biasa dibawakan bekal makan siang oleh sang istri.
“Ah kamu Bos, makanya nikah jangan sendiri melulu. Biar ada yang memperhatikan, ada yang membuatkan bekal makan siang. Anu Sam istriku lagi kangen orang tuanya. Jadi kemarin aku antar pulang,” jawab Nurman.
“Jadi semalam bobok sendiri dong?” celetuk Sam kembali ingin menggoda Nurman. Walau Sam tahu kalau kata-katanya pasti akan dibalik sebuah protes oleh Nurman. Tapi Sam selalu suka menggoda sahabatnya tersebut.
“Lah situ juga kan selalu bobok sendiri. Apa nanti malam aku yang temani kamu buat nyanyikan lagu nina bobok,” celetuk Nurman agak tersenyum menyindir pada Sam.
“Hi, najis Man, masak jeruk makan jeruk. Sudah ah ayo berangkat,” ucap Sam lalu naik ke atas motor bebek miliknya memajukan dengan kaki belum ia hidup kan menuju ke depan pagar.
Setelah Nurman mengunci pagar rumah Sam dan memberikan kuncinya pada Sam. Mereka berdua mulai melaju sealur roda dua motor bebek yang mereka tunggangi ke arah pabrik milik Sam yang berjarak dua kilo meter dari rumah Sam.
Dalam perjalanan mereka masih sempat mengobrol ringan. Berbincang antar sahabat tentang perjuangan mereka selama ini. Terkadang diselingi canda dan tawa.
“Sam kenapa kamu lebih suka berangkat kerja memakai motor bebek butut ini. Padahal kamu punya mobil mewah, motor sport juga ada dua malah. Kenapa kamu tidak memakai mobil saja seperti kebanyakan Bos-Bos pemilik pabrik di luaran sana? Mana kamu berpakaian tak selayaknya Bos. Mana ada Bos pemilik pabrik seperti sahabatku satu ini. Pergi ke pabrik memakai celana jin dengan atasan kaos,” cerocos Nurman mengomentari kesenangan Nurman akan hidup dengan gaya kesederhanaan.