Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
11
Bab

Dendam membawa Kaisar Zavier Kavindra menghalalkan segala cara untuk menghancurkan keluarga Tjandrawinata. Salah satunya dengan menjerat Aruna Tjandrawinata, putri kandung satu-satunya dari Raditya Tjandrawinata dengan cara menikahi lalu menceraikannya begitu perusahaan milik keluarga Tjandrawinata berhasil ia dapatkan. Tapi apa daya ketika perasaan mengacaukan segalanya. Kaisar sadar dirinya telah jatuh cinta begitu Aruna pergi dengan membawa sebagian dari jiwanya. Antara cinta, logika, dan dendam, manakah yang akan dipilihnya?

Bab 1 GALAU

Rose merasakan gerakan di atasnya. Wanita itu membuka mata dan membeku terkejut saat pria itu mulai membuka satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya menampakkan tubuh kekar dengan perut kencang yang membentuk delapan bagian persegi empat yang mengagumkan. Rose tidak tahu alasan kenapa ia terpaku membeku, takutkah? Malukah? Atau bergairah?

Ya Tuhan.

Rose terkesiap ketika perlahan-lahan pria itu melingkupi tubuhnya dan merendahkan wajah tampan itu ke arah wajahnya. Dirinya semakin bergetar saat pria itu kian menunduk dan memiringkan wajah kemudian tanpa aba-aba memagut bibirnya kuat. Mata tajam itu berkabut gelap saat pria itu menarik napas dalam, seolah ia ingin menarik masuk semua kesadaran diri Rose dan juga menghela masuk semua aroma wanita itu ke dalam dirinya.

Oh... Tuhan, Rose bergetar.

Lalu dengan gerakan pasti pria itu menekannya semakin dalam dan semakin dalam. Baru saat itu Rose menyadari sesuatu yang keras berusaha menerobos pertahanan dirinya. Pria itu menyusup di antara pahanya dan berusaha menekan, serta memposisikan dirinya di antara kedua kaki Rose yang terpentang.

Astaga.

Rose tidak bisa mengatakan apa pun. Bahkan wanita itu tidak sanggup menatap mata pria itu, jadi ia memalingkan wajah saat pria itu mulai menghujam masuk.

Aaah.

Rasanya tidak bisa Rose gambarkan. Ia merasa penuh, tubuhnya teregang hebat. Ia bahkan merasa seakan terbelah saat pria itu memenuhinya dengan keras. Wanita itu menjerit dan menjerit, lebih karena terkejut dan ngeri dibandingkan karena sakit, saat pria itu melesak semakin dalam dan merobek dinding keperawanannya.

Aaargghh...!"

Rose menegang, berusaha mendorong pria itu. Sungguh, ia ingin lepas. Rose ingin bebas. Dia ingin pria itu segera menjauhkan diri. Dan dia ingin segera pergi.

"Hen.... Hentikan, tolong...."

Wajah Rose pucat. Ia benar-benar takut akan mati sesak dengan tulang belulang remuk.

Tapi pria itu mencengkeramnya kuat dan berbisik dengan suara serak."Don't fight."

"Hah... hah...," napas Rose tersengal hebat. "Tolong.... Hentikan! Aku mohon...."

"Jangan melawan. Diam saja kataku."

"Arrghh...."

Pasrah. Pada akhirnya Rose hanya bisa pasrah saat pria itu mengubur tubuh ringkihnya semakin jauh ke dalam pusat tubuh Rose. Menunggu sejenak, pria itu melenguh sesaat kemudian bergerak. Tidak ada kelembutan di dalamnya. Pria itu bergerak dan bergerak seperti kuda liar. Memacu Rose yang terengah keras saat pria itu mulai bergerak keluar masuk tubuhnya dengan gerakan kasar. Napasnya yang panas juga berembus keras di atas Rose. Semua tentang pria itu adalah kasar dan kuat, dan mungkin juga tak berperasaan.

Rose terbaring tak berdaya di bawah pria itu, merintih, menunggu segalanya selesai. Namun harapannya seakan sirna ketika pria itu seolah ingin menghancurkan Rose, seolah dia ingin menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam dirinya melalui gairah yang meledak-ledak.

Tapi untunglah, siksaan itu tidak berlangsung lama. Rose merasakan pria itu menghujam keras sekali lalu menarik dirinya dengan cepat kemudian menyemburkan cairan kental di atas perut Rose yang masih terengah hebat.

"Hoek.... Hoek...." Aruna menepuk-nepuk dadanya. "HOEK!"

"Astaga... Astaga.... Astaga...."

Tubuh Aruna ikut bergetar. Segera ia matikan laptop dengan napas terengah-engah.

Film biru sialan.

Aruna menegang. Merasakan jantungnya berdentam dengan keras. Napasnya masih menderu liar sementara darahnya masih mengalir dengan deras.

Ia seolah menjadi Rose.

Ia seolah merasakan kesakitan yang sama seperti yang Rose rasakan.

Bagaimana mungkin si pria brengsek itu tidak memiliki rasa kasihan dengan keadaan sang wanita yang tampak tidak berdaya di bawah kungkungannya?

Sialan.

Bagaimana jika wanita itu mati akibat tindak kekerasan yang tidak seimbang di antara mereka?

Astaga.

Alih-alih merasa terangsang, rasanya Aruna bahkan ikut merasakan nyeri akibat terkoyak seperti Rose, sang pemain dalam serial film biru dalam video mesum yang dikirimkan salah satu teman brengseknya, Lidya, si ayam kampus.

Gila. Benar-benar gila.

Sinting.

Apa maksudnya coba?

Dirinya memang tidak pernah mengenal kata pacar. Tapi dia juga tidak semenderita itu.

Malah menjadi jomblo sejati membuat kebanggaan untuknya yang terbiasa sendiri. Dia harus berjuang untuk membiayai kuliahnya tanpa bantuan orang lain.

Melakukan pekerjaan paruh waktu, melakukan pekerjaan kasar apa pun asal bisa memenuhi biaya kuliahnya atau sekadar untuk biaya pengobatan sang mama.

Tapi sudah dua semester ini dia menunggak uang kuliah. Sang mama lebih membutuhkan banyak biaya untuk mengobati kejiwaannya akibat depresi. Ya, mama Aruna dirawat di rumah sakit jiwa, sejak sang papa pergi meninggalkan mereka demi wanita lain.

Dan akibatnya, Aruna terancam DO sekarang. Jika bulan ini, ia tidak bisa membayar lunas uang semester sebelum ujian akhir semester dilaksanakan ia terpaksa harus keluar dari kampus.

Oh Tuhan.

Itulah sebabnya ia menghubungi Lidya dan mencoba untuk meminjam uang. Namun perempuan yang berprofesi sebagai penghangat ranjang suami orang itu malah mengirimkan video film blue yang seketika membuat Aruna mual. Apalagi saat ia membaca pesan yang dikirimkan Lidya padanya.

"JIKA LO BISA MELAKUKAN SEPERTI INI, LO BISA DAPETIN UANG TANPA LO HARUS PINJEM DARI GUE."

"Sialan lo! Jangan banyak bacot kalau nggak mau minjemin!"

"GUE HANYA INGIN TAHU, BUKTIKAN JIKA LO NGGAK BENGKOK!"

Ah!

Dia masih normal. Sungguh.

Dia memang tidak pernah berhubungan dengan lelaki, bukan karena dia penyuka sesama jenis, tapi dia terlalu muak dengan makhluk berhormon testosterone itu.

Bagaimana tidak, ia pernah melihat sang papa menggenggam erat pergelangan tangan kekasihnya, melindungi wanita penggoda itu dari amukan mama yang kesetanan karena merasa telah dikhianati.

Alasannya simpel, papa mencintai wanita cantik dan seksi itu karena seiring berjalannya waktu kebersamaan mereka sebagai atasan dan bawahan.

Awalnya lelaki yang membuatnya terlahir di dunia itu berusaha menolak rasa itu, tapi semua mengalir begitu saja dan dia tak mampu menghindarinya. Dia sudah berusaha untuk tidak berkhianat. Tapi cinta tak bisa ia pungkiri. Dia mengaku tidak bersalah, karena cinta memang tidak pernah salah. Jadi dia datang untuk mengatakan bahwa mereka akan menikah. Dengan izin ataupun tanpa izin dari sang mama.

Wanita yang ia bawa pun bahkan menangis tersedu-sedu dan meminta maaf karena sudah mencintai pria yang sudah beristri. Tapi apa yang harus dirinya lakukan? Karena cinta sudah menguasai dan ia tidak bisa menghalangi rasa yang tak berbentuk ini. Jadi mereka sepakat untuk bersama meski harus mengorbankan segalanya, demi cinta.

Bullshit!

Lalu Aruna yang berdiri menyaksikan mereka hanya bisa diam dan dalam hati berdoa, agar pisau yang ada di tangan sang mama segera melayang ke salah satu di antara pengagung cinta itu. Tapi sayangnya papa menangkisnya dan membuat mama tersungkur jatuh. Membuat wanita yang katanya dulu sangat dirinya cintai itu, menangis di atas kerasnya lantai dengan hati yang tercabik-cabik.

Bahkan tanpa memedulikan Aruna yang katanya adalah buah cinta mereka, menyaksikan bagaimana ia melindungi selingkuhannya dan membentaki mama yang ingin berbuat gila.

Gila! Dia yang gila!

Aruna sangat ingin meneriaki itu semua andai ia memiliki keberanian. Tapi keberanian apa yang dimiliki oleh gadis kecil berusia delapan tahun? Selain menangis dan memeluk sang mama yang meraung-raung menangisi takdir pernikahan yang sudah dibinanya selama sepuluh tahun.

Ya Tuhan, andai Aruna lebih besar sedikit waktu itu, ia pasti akan membawa sang mama pergi dan membahagiakannya. Tapi sepertinya sang mama memilih jalannya sendiri untuk bahagia. Melepaskan segala bebannya dan mengosongkan pikirannya. Mencoba melupakan segala permasalahan termasuk melupakan Aruna yang menjadi korban keegoisan mereka. Yah, bahagia bagi sang mama, tapi tidak bagi Aruna yang kini sendiri tanpa penopang lagi.

Ah!

Aruna membuka matanya lebar-lebar. Memilih untuk berhenti memikirkan alur hidupnya yang entah mengapa bisa jadi seperti sekarang, lantas duduk dan bersandar di kepala ranjang.

Masih sepagi ini ia tak mau gila dengan runutan kehidupannya yang rumit.

Well, pagi? Ini bahkan sudah hampir tengah hari.

Tapi persetan! Ia tidak ingin memikirkannya lagi. Mungkin akan lebih baik jika dia seperti mama dan melupakan semua. Tapi dia belum ingin menjadi gila.

Mengacak rambut kasar, Aruna menurunkan kaki kirinya ke lantai dengan gerakan anggun, lantas di susul kaki kanannya. Ia malas mandi, ia malas bangun, dan ia juga malas kuliah.

Dia menarik napas berat dan akhirnya melangkah sebelum suara ribut-ribut terdengar di depan pintu kamar kost-nya yang seketika membuatnya terkesiap.

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku