Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjebak Dua CEO Tampan

Terjebak Dua CEO Tampan

Hanne Bevi

5.0
Komentar
285
Penayangan
3
Bab

Kevina mengorbankan jabatannya di perusahaan milik sang Ayah untuk bekerja di perusahaan lain dan mengejar cinta pertamanya, Anza. Ia menganggap bahwa takdir berada di pihaknya karena ia berhasil diterima sebagai trend analyst sekaligus fashion writer di perusahaan itu. Namun apa daya, malam sebelum ia bekerja di kantor, ia melakukan kesalahan karena mabuk dan tidur dengan pria asing. Parahnya lagi, ternyata pria itu adalah teman dekat Anza sekaligus pemilik perusahaan Monviere. *** Setelah bertahun-tahun tidak melakukan skinship dengan wanita, akhirnya Leon menuruti saran Anza untuk melakukan one night stand. Wanita yang tidur dengannya sangat cantik, meskipun ketika pagi datang, Anza tidak bisa mengingat wajah wanita tersebut. Ia hanya mengenali aromanya saja. Leon syok ketika keesokan harinya, ia bisa mencium aroma itu lagi dari karyawan baru di perusahaannya.

Bab 1 Happiness

Apa ada yang tahu bagaimana rasanya meledak dalam kebahagiaan? Kevina tidak bisa menemukan istilah yang lebih cocok, yang pasti saat ini ia merasa tubuhnya dibanjiri hormon endorfin. Empat jam yang lalu, Kevina menerima email yang menyatakan bahwa dirinya telah diterima sebagai trend analyst sekaligus fashion writer di perusahaan Monviere! Perusahaan fashion dan body products terbesar di Indonesia, juga sudah mempunyai cabang di benua Asia dan Australia.

Sebenarnya, jabatan itu tidak begitu 'wah' mengingat jabatan Kevina yang lebih tinggi sebelumnya di hotel sebagai general manager, sekaligus pewaris.

"Gue kira lo bercanda waktu bilang mau resign dari hotel. Lo ga konsumsi magic mushroom, kan, sampe tiba-tiba bego begini?" tanya Shea yang mulutnya terkenal nyablak.

"Nggak, gue masih seratus persen waras. Ini bukan soal jabatan, tapi my biggest dream karena bisa mengembangkan bakat gue sebagai penulis dan penikmat fashion," jawab Kevina sambil menuang jus jeruk, lalu menyerahkannya pada Shea yang baru saja datang ke apartemennya sepuluh menit yang lalu.

Kevina masih belum mau memberi alasan sebenarnya pada Shea karena temannya itu pasti akan lebih nyinyir jika tahu bahwa ia pindah pekerjaan demi mengejar cinta pertamanya.

"Terus, bokap lo ga murka? Bukannya dia ngancem, kalo lo keluar dari perusahaan, jabatan lo bakalan diambil alih sama si Bian?"

Bian adalah adik tiri Kevina. Ayahnya memang selalu mengancam akan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada Bian untuk mengurus hotel jika Kevina mengundurkan diri. Namun karena terlalu sering diancam seperti itu, malah semakin membuat ia muak dan ingin segera angkat kaki.

"Gue ga peduli. Apa, sih, enaknya kerja di bidang yang ga kita sukain? Gue rela ngelepas jabatan gue, tapi sebagai gantinya gue juga dapet kebebasan yang selama ini terkungkung dan terus-terusan memberontak pengen keluar."

Shea mengangguk sambil menggenggam gelas di sebelah wajahnya. "Oke, jadi malem ini kita party?"

Akhirnya senyum Kevina mengembang. "Yo'i. Gue udah bilang sama Oliv buat ketemuan di Amaresh. Dia sekarang lagi otw dari Jakarta, langsung dari kantornya."

Hal pertama yang Kevina lakukan ketika membaca email tadi adalah menghubungi kedua temannya melalui group WhatsApp, namun hanya Oliv yang mengangkat karena Shea sedang briefing bersama para talent.

Kevina sama sekali tidak berbohong ketika mengatakan dirinya rela kehilangan hak waris. Kevina tidak suka menggantungkan hidupnya pada orang lain, meskipun itu adalah orangtuanya sendiri. Toh ia bukan wanita bodoh yang tidak bisa menjalani hidup dan membiayai dirinya sendiri. Merasa keren itu perlu.

Kedua, ia benar-benar mencintai dunia menulis dan fashion. Tapi yang paling utama di atas semua itu adalah kehadiran Anza yang akan kembali mewarnai hidupnya. Ia merasa ini adalah takdir. Setelah sekian lama ia hanya bisa stalking sosok pria idamannya itu melalui media sosial, tiba-tiba Kevina mendapat celah untuk satu kantor dengannya. Karena siapa sangka bahwa perusahaan Monviere tiba-tiba ingin meluncurkan majalah digital?

Kevina penasaran, apakah Anza masih ingat padanya? Karena mereka sudah tidak pernah bertemu selama hampir sepuluh tahun. Meski dalam kurun waktu tersebut, Kevina terus-terusan mencari tahu keberadaan Anza dalam diam. Ia benar-benar merasa seperti penguntit saking tidak tahu bagaimana caranya untuk menghubungi pria itu lebih dulu. Mungkin takdir merasa iba padanya sehingga akhirnya Kevina mendapatkan peluang.

"Menurut lo gue bagusan pake dress item atau merah?" tanya Kevina sambil memperlihatkan kedua gaun cantiknya pada Shea.

Dengan kening berkerut, Shea menunjuk salah satunya. "Hmm... keknya bagusan yang merah, deh."

"Oke, kalo gitu gue pilih yang item."

"Sialan lo." Shea sewot karena seringkali Kevina dan Oliv menganggap dirinya tidak pernah membawa hoki. Apa pun yang Shea pilih, pasti selalu mebawa kesialan. "Percaya deh sama gue, warna merah itu bisa memancarkan kebahagiaan lo berkali-kali lipat. Merah mempunyai arti keceriaan, kekuatan dan semangat. Asal lo tahu aja."

Kevina mematung sebentar, lalu mengangguk perlahan. "Iya juga, sih. Oke deh, kali ini gue percaya sama lo."

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kevina melakukan touch up terakhir dengan mengolesi bibirnya dengan lipstick berwarna bloody mary. Shea benar, ia harus mencerminkan kebahagiaannya dengan penampilan yang bombastis. Untuk sentuhan terakhir, Kevina menyemprotkan parfume kesayangannya pada nadi, lalu diusap ke rambut dan leher. Kevina merasa dirinya cantik dan seksi setiap kali menyemprotkan parfume tersebut. Tidak ada yang tahu bahwa ia membelinya dengan harga fantastis, karena parfume itu hanya diciptakan untuk satu orang saja.

Jika mengingat harganya, Kevina tidak akan pernah mau membeli produk semahal itu jika saja bukan Anza yang menciptakannya. Yap, Anza adalah seorang parfumer. Setiap satu tahun sekali, pria itu meluncurkan parfum limited edition. Kevina bisa meminta dibuatkan refillnya ke counter Monviere dengan membawa sertifikat yang ia miliki.

Sebesar itulah kekaguman Kevina kepada Anza.

"She, lo udah siap, kan? Capek ga kalo langsung cabut sekarang?" tanya Kevina sambil memasukan ponsel ke dalam clutch-nya.

"Nggak, kok, justru gue pengen cepet ke sana. Laper, pengen porterhouse-nya Amaresh."

Kevina tertawa. "Oke, gue yang traktir."

Keduanya menuruni lift, Kevina sambil memakan apel hijau yang ia ambil dari kulkas. Di Amaresh nanti, ia tidak akan memakan steak super besar seperti yang Shea inginkan. Ia hanya ingin minum dan bercerita pada Oliv mengenai kebahagiaannya.

Kevina bukannya tidak percaya pada Shea, namun tahu sendiri temannya itu sangat anti pada cerita cinta-cintaan dan mempunyai trust issue yang sangat besar pada sosok laki-laki. Mungkin pada akhirnya, ia akan bercerita pada Shea, tapi itu nanti.

"Lo udah telepon si Toni buat booking meja?" tanya Shea setelah mereka memasuki mobil.

"Belom, sih. Ini kan weekday, jadi kayaknya ga bakalan rame banget."

Toni adalah pemilik klub Amaresh yang juga kenal dekat dengan Kevina dan Shea. Mereka masih satu circle pertemanan.

"Ya kali aja rame. Daripada udah capek-capek datang ke sana tahunya ga kebagian meja."

"Ya udah lo aja deh yang telepon. Gue kan nyetir."

Shea pun menghubungi Toni, pria jangkung yang mempunyai kumis tipis sebagai ciri khasnya. Tipe pria yang ramah dan murah senyum.

[Ton, gue sama Kevina mau otw ke Amaresh, nih. Kosongin tempat, ya, buat bertiga.]

[Lah, kenapa ga ngomong dari kemaren? Itu di Instagram udah ada pengumuman kalo Amaresh hari ini off, soalnya udah dibooking buat pesta.]

[Hah, seriusan? Yaaaah... padahal udah mau deket,] Shea pura-pura memperdengarkan suara sedih.

[Bentar-bentar, ini sih yang dateng sekitar tiga puluhan orang. Tunggu lima menit deh, ya, gue ngomong dulu sama orangnya. Tapi kalo misalkan nanti duduk di bar, gapapa?]

[Gapapa deh... gue udah mupeng banget pengen makan porterhouse di situ.]

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku