/0/22082/coverorgin.jpg?v=ad2b0922cd8b095696d41f8ce878db88&imageMogr2/format/webp)
Ku intip pembicaraan suamiku dengan mamah dan papa mertua di ruang tamu. Ternyata mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung hamil juga. Terlihat mas Gibran menatap mamah tak suka dan mamah yang balik memandang mas Gibran nyalang, sedangkan papa hanya diam tidak nampak memihak sang istri ataupun sang anak.
"Udahlah Gib, kalau istrimu tidak bisa memberi kami cucu, ceraikan saja dia! Toh, di luaran sana masih banyak wanita subur yang bisa memberi kamu anak. Si Lastri itu mandul, kalau tidak mana mingkin dua tahun pernikahan kalian tidak dikaruniai anak juga. Kamu itu tampan dan mapan, pasti banyak wanita yang antri ingin dipersunting olehmu."
Terlihat mamah menunjuk-nunjuk mas Gibran kesal.
"Mah, jangan kenceng-kenceng bicaranya! Nanti Lastri dengar, aku gak mau sampai dia sakit hati karena mendengar ucapan mamah. Mau bagaimana pun keadaan Lastri, Gibran tetap cinta sama dia. Mau Lastri ngasih anak ataupun tidak, Gibran tidak akan menceraikan dia."
Mamah menghempaskan tubuh dengan kasar ke atas sopa di samping ayah, lalu mendongak menatap Gibran malas. "Secinta apa sih kamu sama dia sampai rela tidak punya keturunan?"
Mas Gibran menggeleng tak habis pikir dengan pertanyaan mamah, dia ikut mendudukan tubuh di atas sopa singgel. "Lastri itu istri aku, mah. Cinta dan kasih sayang aku seutuhnya untuk dia. Kalau mamah mempertanyakan seberapa besar rasa cintaku untuk Lastri, maka jawabannya adalah setulus ikatan suci dari pertama aku menjabat tangan ayah Diman dua tahun lalu."
Aku menitikan air mata begitu mendengar jawaban mas Gibran tentang pertanyaan mamah. Aku tahu mas Gibran sangat mencintaiku, terlepas dari aku bisa memberi dia anak atau tidak. Mas Gibran memang suami yang baik, karena itu aku masih bertahan selama ini menjadi istrinya walau tekanan mamah mertua tidak main-main sakitnya.
Kini mamah memandang papa protes. Mungkin mamah kesal karena papa tak membelanya, malah terkesan netral antara anak dan istri.
"Papa, jangan diam saja dong! Punya anak satu-satunya nasihatin, napa. Malah diam saja dari tadi. Emangnya papa mau terus diledekin sama teman-teman arisan mamah karena punya mantu tak kunjung ngasih kita cucu?"
"Lah, papa biasa aja tuh." Papa menjawab santai.
Mamah mendelik kesal, "papa sama nak sama saja. Ayo, kita pulang! Kepala mamah makin pusing kalau lama-lama di sini. Cepat!"
Mamah berdiri diikuti papa dan mas Gibran, "Mamah pulang dulu. Ingat, pikirkan baik-baik saran Mamah!" Setelah mengatakan itu, mamah melenggang pergi.
"Sudah, jangan dipikirin apa kata mamahmu! Darah tingginya lagi kumat, makanya marah-marah terus. Papa pulang dulu, sampaikan salam dari Papa untuk istrimu. Assalamaualaikum."
"Waalaikum salam." Mas Gibran menjawab.
Kusandarkan punggung pada tembok. Saat menyusut air mata, aku terlonjak kaget karena mas Gibran sudah berdiri di sampingku. Kapan dia menghampiriku? Kenapa langkah kakinya tidak terdengar?
Tanpa kata, mas Gibran membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Mas Gibran mengelus pelan punggungku, "maafkan perkataan mamah. Mas harap kamu tidak memasukan ucapan mamah barusan ke dalam hati. Mas mungkin terkesan egois, tapi Mas benar-benar tidak mau kamu pergi. Stay with me, tetap di samping Mas Lastri apapun yang terjadi."
Mendengar ucapan mas Gibran yang terdengar begitu tulus, aku tak kuasa menahan air mata. Aku terisak dalam dekapan mas Gibran sambil mengeratkan lingkaran tanganku pada pinggangnya.
Setelah tangusanku agak reda, mas Gibran mengurai pelukannya. Dia mengusap jejak air mata di pipiku, "udah nangisnya?"
Aku mengangguk malu.
"Tadi dapat salam dari papa."
"Waalaikum salam." Aku menjawab serak titipan salam dari papa.
"Nangis gini aja masih cantik, apalagi kalau senyum." Mas Gibran tersenyum guyon ke arahku.
Karena malu kedua sudut bibirku mau tidak mau ikut melengkung tersenyum.
/0/5024/coverorgin.jpg?v=e26c920b2ea5c7f8fd1ffe02ea840d0c&imageMogr2/format/webp)
/0/21855/coverorgin.jpg?v=71cf6c767aef245e27f65ecdbb5c9d45&imageMogr2/format/webp)
/0/5718/coverorgin.jpg?v=8a810f1f6341293bfe26070b3b2d6fbc&imageMogr2/format/webp)
/0/16595/coverorgin.jpg?v=a0048950ffa7f7bd7422162aec0d62b7&imageMogr2/format/webp)
/0/15488/coverorgin.jpg?v=6b65d6e6c727adb06413d5b0aa8a016e&imageMogr2/format/webp)
/0/19709/coverorgin.jpg?v=40145cd571df30ad0ab70bdcc2ad6bfd&imageMogr2/format/webp)
/0/2885/coverorgin.jpg?v=cafedad332189ab41b083664223cdc61&imageMogr2/format/webp)
/0/12395/coverorgin.jpg?v=e0b03d4490be10594b29396cef7fd014&imageMogr2/format/webp)
/0/12461/coverorgin.jpg?v=e89b7f52f9dc96e329a6d4ae69e786e0&imageMogr2/format/webp)
/0/3038/coverorgin.jpg?v=f6843068f7360214f4c2a8c2f0dd0042&imageMogr2/format/webp)
/0/28415/coverorgin.jpg?v=2cb99dcc5049cf09b586fec522a6249d&imageMogr2/format/webp)
/0/28851/coverorgin.jpg?v=b05270e6ed77606396aac70a51e2be25&imageMogr2/format/webp)
/0/2882/coverorgin.jpg?v=c5168fb598c325be28414762385afce8&imageMogr2/format/webp)
/0/17406/coverorgin.jpg?v=ecdbd3b33f2e6747d9b6e81e9516ae3a&imageMogr2/format/webp)
/0/2164/coverorgin.jpg?v=4609f02bc0d1db4396142e2ddfdff2cd&imageMogr2/format/webp)
/0/6504/coverorgin.jpg?v=6b26a02825b31a42353a2e9fe89b2bbf&imageMogr2/format/webp)
/0/3557/coverorgin.jpg?v=a7b0ee68594e276ca163d282ddad4edc&imageMogr2/format/webp)
/0/10773/coverorgin.jpg?v=b5db46b4894f9e45289dad0a48feb797&imageMogr2/format/webp)