Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Emira! Cindy! Cepat kita kedatangan tamu penting!"
Ica memperingatkan anak-anaknya untuk segera bersiap sebab ada tamu penting tak lama lagi bertandang ke rumah mereka. Ica tak ingin mendapat citra buruk jadi dia ingin kedua anaknya tampil perfect apalagi Emira.
"Mira, kamu pakai baju yang tadi kita beli, ya." Ica mengingatkan.
Emira memasang wajah ceria, lekas masuk ke kamar memeriksa tote bag berisi pakaian cantik agak terbuka, sungguh cantik sekali. Cindy yang melihat baju kakaknya dari luar kamar berbalik menghadap mamanya.
"Baju Cindy, Ma?" todong Cindy antusias.
Ica menepis tangan Cindy kasar, "Kamu pakai baju lama aja, jangan kira aku tidak tahu Mas Wijaya sering membelikanmu baju diam-diam." Ica mendorong dahi Cindy dengan telunjuk.
Gadis itu hanya bisa menunduk dalam, mengangguk saja saat mamanya menitahkan masuk dan bersiap. Cindy kembali ke kamarnya, menatap sekeliling berhenti tepat di lemari.
"Papa memang sering beliin Cindy baju, Ma. Cuma bajunya selalu diambil Kak Emira," keluh Cindy dengan mata berkaca-kaca. Dia memang tidak bisa berbuat banyak karena posisinya hanya anak tiri di rumah megah ini.
Segera ia berlari ke kamar mandi, berusaha untuk tidak menangis. Cindy membasuh wajah, mengambil handuk dan mandi sambil berpikir kira-kira baju apa yang akan ia kenakan nanti. Cindy menepis rasa sedihnya karena sikap pilih kasih sang Mama, diberi tempat tinggal hingga detik ini saja Cindy sudah bersyukur.
"Cindy ke mana kamu? Bantu mama di dapur!"
"Tapi Ma, Cindy belum selesai siap-siap!" Cindy balas berteriak dari kamar.
Ica mendengkus kesal, anak tidak berguna ini memang lemban sekali kerjanya.
"Makanya dari tadi siap-siap."
"Kan Mama baru ngasih tau tiga puluh menit lalu," elak Cindy keluar dari kamar tergesa melewati Ica yang tengah berkecak pinggang siap mencerocos.
Sebelum menuruni tangga, Cindy melirik pintu kamar Emira tertutup rapat tanda gadis di dalamnya masih sibuk berias diri sedangkan dia malah harus repot mengurus makanan dan minuman untuk tamu nanti. Cindy mengeluh dalam hati tapi dia tetap tersenyum tipis.
"Ma, Mbok ke mana? Harusnya 'kan yang urus ini Mbok," tanya Cindy menuju wastafel lalu mencuci tangan, mengambil bahan makanan dan memotongnya.
"Mbok sudah mama suruh pulang."
"Oh."
Cindy serius dengan masakannya. Dia mengerjakan semua dengan perfect. Bakat masak yang ada pada diri ibunya dulu turun ke Cindy, sayang sekali ibunya meninggalkan dunia sebelum bisa merasakan masakan buatan putri cantiknya. Mengingat itu Cindy hanya bisa tersenyum pahit, ia juga ingin pelukan hangat yang biasa didapatkan Emira. Mama tirinya terbilang jarang memeluk Cindy, bahkan bisa dihitung berapa kali.
Usai masak Cindy mengambil buah-buahan, menyulap semuanya menjadi jus yang segar. Dia menata rapi di meja besar tempat biasa mereka makan, Cindy mengambil pot panjang terbuat dari kaca kemudian berlari kecil ke taman belakang, Cindy tersenyum melihat bunga-bunga yang ia rawat selama ini telah tumbuh indah nan harum.
Cindy memetik mawar putih paling cantik. Dia menaruh mawar ke dalam pot yang telah diisi air lalu pot itu diletakkan di tengah-tengah meja. Cindy menepuk-nepuk tangannya, bangga melihat hasil kerjanya selama lebih kurang satu jam setengah.
Gadis cantik berponi tipis itu melirik jam di dinding. Sepertinya memakai make up tipis masih sempat. Cindy melesat kembali ke kamar dan mengganti bajunya karena sudah terkena cipratan minyak dan agak basah.
Pilihan jatuh kepada dress putih selutut pemberian papanya saat ulang tahunnya seminggu lalu. Cindy mengambil alat make up, mulai memoles wajahnya yang cantik. Menambahkan lipstik merah tipis-tipis ke bibir, tak lupa blush on agar wajahnya tidak pucat.
"You're so beautifull Cindy." Gadis cantik dengan rambut tergerai rapi itu menunjuk cermin sambil terkikik geli. Tampaknya dia lupa satu setengah jam lalu diperlakukan kurang adil oleh mama tirinya.
Deru mesin mobil terdengar dari halaman. Cindy beranjak dari kursi berjalan menuju jendela, melihat siapa kira-kira yang datang.
"Oh kayaknya ini deh tamu yang Papa sama Mama tunggu." Cindy tersenyum cerah dan berlari kecil keluar dari kamar.
Tampaknya Emira lebih dulu turun. Cindy hanya menggelengkan kepalanya, menuruni anak tangga perlahan agar tak terjatuh.
Sedangkan di pintu masuk Wijaya dan istrinya tengah menyambut kedatangan sepasang suami-istri dan seorang pria tegap. Emira dengan lagak genitnya mengulurkan tangan ingin bersalaman. Pria itu mengabaikan tangan Emira dan memilih masuk mengikuti orangtuanya dari belakang.
"Cih sombong banget," decih Emira sambil menutup pintu.
"Maaf ya, Di, rumahku begini adanya," ujar Wijaya merendah.
Adiputra, lelaki paruh baya yang sudah lama berteman akrab dengan Wijaya menanggapinya dengan tawa kecil.
"Rumahmu besar Jaya."
Sedangkan Ica mengajak istri Adiputra melihat-lihat koleksi antik rumahnya. Mereka berdua tampak cocok dengan selera yang sama-sama tinggi.
Emira masih berusaha mendekati anak teman papanya tetapi pria ini seolah menjaga jarak darinya. Emira merengut kesal sambil melipat tangan memandang punggung tegap si pria dari belakang.
"Kak Em tamunya udah da ...."
Pria tampan itu berbalik menatap seorang gadis ayu yang tengah menuruni anak tangga dengan anggunnya, gadis cantik itu tampak mungil dibaluti dress putih selutut dan pansus dengan warna yang sama.
"Tang," sambung Cindy mengerjap.
Mata keduanya terpaku satu sama lain, waktu seakan berhenti beberapa detik ketika bibir keduanya tak sadar membentuk senyum sabit. Mata Cindy makin sipit karena senyumnya terlampau lebar.
"Devano, ke sini Nak."
Pria tampan yang dipanggil Devano itu segera memutuskan kontak mata. Cindy agak kecewa tapi dia segera menormalkan ekspresi. Baru sadar dia tersenyum lebar layaknya orang bodoh sejak tadi.
Cindy menuruni undukan tangga terakhir. Ikut bergabung di meja makan yang sudah diisi tamu papanya. Cindy, Devano dan Emira duduk bersebelahan, di depan mereka Ica dan Wanda—ibu Devano—tengah berbincang soal tas branded yang baru keluar minggu lalu. Wijaya dan Adiputra duduk berseberangan sambil membincangkan keadaan perusahaan masing-masing.
Cindy merasa hawa dingin menyerang tengkuk, merinding sekali rasanya duduk di sebelah orang tampan seperti Devano. Cindy menormalkan ekspresi sesekali menggigit bibir gugup.
"Kak." Emira menoleh dengan alis naik sebelah seolah bertanya apa.
"Aduh gimana ya ngomongnya." Cindy menggaruk tengkuknya meski tak gatal, "Maaf, Kak Devano boleh duduk di sini? Trus Kak Emira duduk di kursi Kak Devano biar Cindy yang duduk di kursi Kak Emira," pintanya dengan suara pelan.
Tanpa sadar Devano menarik sudut bibirnya menahan geli, apa gadis ini tak suka duduk bersebelahan dengannya?
"Kenapa?" Ini adalah kata pertama yang Devano ucapkan, sedari tadi dia diam saja. "Kamu tidak nyaman duduk di sebelah saya?" tanyanya dengan nada mengintimidasi.
Cindy menggeleng cepat, "Engga kok, Kak. Anuu emmm Cindy agak ... aduh gimana jelasinnya."
"Cindy jangan norak deh," tegur Emira tak suka, Cindy langsung menunduk sedangkan Devano melirik tak suka pada Emira.
"Maaf ya Kak Dev, Cindy emang gitu anaknya," sambung Emira memasang wajah manis. Devano tak mengindahkan ucapan Emira.
"Saya membuatmu tidak nyaman?" tanya Devano penuh selidik, Cindy makin menunduk sungkan.
"Enggak kok, Kak. Gak jadi pindah, Cindy tetep di sini." Cindy mengangkat kepala menunjukkan senyum canggung yang dibalas senyum miring Devano, melihat itu Cindy kembali menunduk sambil menggigit bibirnya gugup.