Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Orang miskin tidak perlu kuliah! Cukup kerja jadi kuli harusnya sudah bersyukur!”
Hahahaha!!!
Umpatan kasar dari segerombolan mahasiswa yang terkenal sebagai geng anak kaya tampak menertawai Adit; lelaki berumur 21 tahun yang mengenakan kemeja polos, hoodie berwarna biru muda dan celana denim lusuh.
Puluhan pasang mata tampak menatapnya dengan hina. Ia disudutkan di depan kedai bakso yang ada di kantin salah satu fakultas dengan wajah penuh bekas pukulan. Tidak sedikit juga yang mengabadikan gambarnya melalui kamera yang mereka bawa sambil menertawai betapa konyolnya Adit menjadi badut anak-anak kaya.
“Jangan berlagak sok pintar di kelas. Sudah kubilang untuk mengerjakan tugasku, tapi kau menolak. Dasar bedebah konyol! Kau pikir punya kesempatan untuk menolakku?” Sena tampak mencengkeram erat dagu Adit dengan satu tangannya. Matanya membulat tajam ke arah lelaki itu.
“Bos, hajar lagi saja. Biar dia tahu siapa yang berkuasa di sini! Ini bukan kampus pemerintah. Ini kampus milik anggota keluarga Aswatama. Siapapun yang kuliah di sini harus tunduk sama Sena Aswatama! Ngerti?!” Daniel, selaku teman dari Sena berteriak ke seluruh mahasiswa yang hadir di sekitar situ.
Sena pun menyeret leher Adit dan menyuruhnya berdiri. Ia kembali memukul perut lelaki itu berulang kali hingga Adit jatuh terduduk. Kali ini darah segar keluar dari mulutnya. Ia juga merasakan perutnya begitu nyeri.
“Wah-wah-wah! Ini dia si kutu buku yang katanya mau dapat IPK cumlaude. Mau pamer di tahun terakhir atau bertingkah bodoh? Bila sebelumnya kau membantu Sena mengerjakan tugas besarnya, kau tidak akan menderita seperti ini!” ucap Anna; kekasih dari Adit.
“Ke … kenapa kau bersamanya?” Adit tampak bingung. Anna bahkan membelai rambut Sena dan duduk di pangkuan lelaki bedebah itu.
“Oh, lihat! Ada yang mengeluh di sini. Kau yakin bertanya kenapa aku bersamanya? Jawabannya jelas, bukan? Karena dia adalah Sena Aswatama, salah satu anggota keluarga terkaya dan terpandang di negeri ini. Sedangkan kau? Kau itu cuma tikus di sampahan!” sindir Anna.
“Ta–tapi kita sudah bersama selama satu tahun. Apa itu tidak ada artinya untukmu?” tanya Adit dengan mata berbinar.
“Satu tahun ke belakang aku hanya memanfaatkanmu. Aku dekat denganmu hanya untuk mendapatkan bantuanmu mengerjakan tugas-tugasku. Dan aku tertolong. Terima kasih. Tapi sekarang, lebih baik kita putus saja. Lagipula, aku sudah bersama dengan Sena,” jelas Anna sambil mengecup pipi lelaki yang sedang memangkunya.
Di saat itu, amarah Adit tidak lagi bisa terbendung. Kedua tangannya tampak mengepal erat. Dan urat-urat di lehernya terlihat begitu jelas. Dalam kepalanya, ia mengutuk Sena dan anak buahnya dengan 1001 keburukan di dunia ini.
“Kurang ajar!”
Dan ia pun meledak. Adit maju menghampiri Sena dan mengayunkan satu tinjunya ke arah wajah si ketua geng. Tapi Daniel menghentikan mahasiswa menyedihkan itu dengan menendang perutnya hingga membuat Adit terhempas ke belakang dan membentur kuali bakso besar. Semua yang ada di atas meja kedai bakso itu berjatuhan ke lantai dan mengguyur tubuh Adit. Untungnya si pedagang bakso baru saja ingin buka. Bila tidak, kuah panas bakso pasti sudah melepuhkan kulit lelaki itu.
“Lihat! Betapa konyolnya sampah ini! Hei, Bung! Sebaiknya kau pergi sekarang sebelum aku benar-benar memiliki niat untuk membunuhmu!” Sena tertawa kembali bersama teman-temannya. Tak lupa, para penonton lainnya juga ikut menertawai mahasiswa miskin itu.
“Sial! Kenapa jadi begini!” ujar Adit dalam hati.
Sekujur tubuhnya tampak sakit. Ia sudah tak sanggup lagi untuk menerima penghinaan ini. Dengan wajah menunduk ke bawah, ia pun berdiri dan meninggalkan kantin fakultas dengan tubuh basah kuyup. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan ranselnya yang telah diacak-acak oleh anak geng itu.
Dengan langkah tertatih-tatih, ia menyusuri lorong fakultas dengan air mata yang tertumpah di pipi. Sungguh ia menyesal telah berkuliah di kampus itu. Namun ia lebih menyesal karena telah dibohongi oleh perempuan yang menurutnya spesial.
“Apa kau puas sudah mengacak-acak harga diri seekor tikus?” Tiba-tiba ada yang bicara dengan Sena dari arah mahasiswa yang berkumpul.
“Oh, hai, sepupu. Kau baru mau masuk kelas? Kau pasti ketinggalan momen menyenangkannya. Salah satu temanku bisa mengirimkan video full-nya padamu.” Sena menyapa sepupunya yang sedari tadi menyaksikan dengan wajah gusar setiap detik apa yang dilakukan olehnya.
“Jangan memegangku dengan tangan kotormu! Kau lebih hina dari kotoran itu sendiri!” Ucapan Hito Aswatama tampak menusuk.
“Kau bilang apa?! Kau menyebutku seperti kotoran?!” Sena mulai gusar. Ia menarik kedua kerah kemeja Hito hingga lelaki berusia 21 tahun terangkat sedikit ke atas.