Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PEDANG HALILINTAR

PEDANG HALILINTAR

AL 53

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
35
Bab

Sejak kecil Jalu terdidik menjadi pendekar aliran hitam. Sekeluarnya dari Pulau Tengkorak, dia mendapat tugas menyatukan dunia persilatan dari gurunya yang merupakan pendekar terkuat aliran hitam dan memiliki kehidupan abadi. Gurunya sendiri dihukum Dewata di pulau terpencil itu dan tidak bisa keluar sampai habis masa hukumannya. Tak dinyana takdir berkata lain. Jalu beralih menjadi pendekar aliran putih setelah disadarkan oleh pertapa tua di Gunung Pesagi. Bahkan pada akhirnya dia harus melawan guru pertamanya yang berhasil dikeluarkan iblis dari pulau Tengkorak.

Bab 1 Perompak Hantu Laut

"Cepat, Istriku, kapal sudah hendak berlayar!" seru seorang lelaki berparas tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Di pundaknya tergantung sebilah pedang dan di tangannya sebuah kotak kayu berukuran sedang dibawanya sambil berlari.

Di sampingnya, sesosok wanita cantik berambut panjang sepunggung dan kurang lebih baru berusia dua puluh tiga tahun, tampak berlari ketakutan sambil menggendong seorang bayi mungil yang baru beberapa bulan terlahir ke dunia.

Keduanya tampak panik dan berekspresi sama seperti penumpang lain yang berlarian ketika kapal hendak berlayar. Sesekali si suami menoleh ke belakang ketakutan. Tidak ada satupun yang peduli dengan kepanikan keduanya, sebab kepanikan seperti itu adalah sesuatu yang biasa terlihat.

Dalam jarak cukup jauh di belakang, puluhan prajurit bergerak memasuki wilayah pelabuhan yang hari itu cukup ramai. Sorot mata mereka semua tertuju tajam kepada seluruh orang yang ada di pelabuhan.

"Itu mereka berdua! Cepat kejar dan tangkap atau kalian yang akan mendapat hukuman jika gagal!" teriak seorang prajurit kepala yang terlihat berat menggerakkan badannya untuk berlari.

Geladak kayu yang digunakan untuk naik ke badan kapal sudah mulai diangkat pekerja pelabuhan. Melihat itu sang suami pun berteriak sekeras mungkin agar para pekerja itu menunggu mereka berdua naik terlebih dahulu, Tunggu, kami ikut!"

"Cepat, Kisanak, Nisanak, kapal sudah harus berangkat!" seru pekerja yang melihat sepasang suami istri tersebut.

"Nilam, ayo cepat naiklah ke atas!" kata lelaki berwajah tampan itu kepada Istrinya.

Tanpa berpikir panjang wanita berwajah cantik jelita itu meniti geladak diikuti si suami dari belakang. Setelah mereka berdua sudah berada di atas kapal, si suami meletakkan peti yang dibawanya. Dilihatnya prajurit sudah berjarak kurang dari seratus meter.

Pekerja pelabuhan langsung menarik geladak ke atas kapal dan perlahan kapal pun mulai bergerak.

"Berhenti!" teriak para prajurit yang melihat kapal tersebut mulai meninggalkan pelabuhan. Kepanikan turut melanda pikiran mereka yang jika gagal menangkap sepasang suami istri tersebut bakal mendapat hukuman.

"Sialan, jaraknya terlalu dekat!" keluh lelaki tampan itu dalam hati. Lirikan matanya tertuju kepada Istrinya yang duduk bersandar dengan mata terpejam menahan lelah.

"Duh, Gusti Maha Agung, berilah keselamatan kepada kami berdua dari kejaran para prajurit itu." Wanita cantik yang matanya terpejam itu tak berhenti untuk terus berdoa di dalam hati

Sekitar tiga puluh meter kapal meninggalkan pelabuhan, puluhan prajurit tersebut baru tiba di pinggir pantai.

"Sial, kita gagal lagi menangkap mereka berdua! Kalian memang tidak bisa diandalkan!" teriak keras prajurit kepala penuh emosi kepada bawahannya.

"Kita kejar saja mereka, Tuan!" Seorang prajurit memberi usulan.

Mendengar usulan tersebut, Prajurit kepala mendekati prajurit yang baru saja berbicara, tanpa banyak kata prajurit tersebut langsung dipegangnya dan dilemparkan ke laut. "Cepat kejar mereka dengan berenang!"

Para prajurit hanya bisa mengulum senyum geli melihat temannya diceburkan ke laut. Sementara belasan prajurit lainnya bahkan sampai mengeluarkan suara tawa.

"Apa yang kalian tertawakan? Sudah gagal melaksanakan tugas masih saja kalian bisa tertawa!" bentak prajurit kepala penuh emosi. Pandangannya tajam mengintimidasi puluhan bawahannya

Seketika puluhan prajurit itu menutup mulutnya rapat-rapat, mereka tak berani sedikitpun bersuara dan hanya bisa menunduk ketakutan.

Prajurit kepala itu membalikkan badannya dan menatap kapal yang perlahan menjauh mengarungi lautan. Setelah itu dia berjalan mendekati pekerja pelabuhan yang sedang menggulung tali tambang seukuran lengan terbuat dari serat pohon Sisal.

"Kisanak, kemana kapal itu akan berlayar?"

Pekerja pelabuhan itu menghentikan kegiatannya menggulung tali tambang. "Menurut jadwal kapal ini akan menuju daratan Jawadwipa, Tuan Prajurit."

Prajurit kepala itu hanya bisa mengangguk kecil seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selama empat puluh tahun hidup di dunia, tidak sekalipun dia meninggalkan Daratan Swarnadwipa. Kalaupun dia tahu, itu hanya sebatas mendengar saja.

"Terima kasih atas informasinya, Kisanak."

"Sama-sama, Tuan Prajurit," jawab pekerja pelabuhan sebelum melanjutkan aktifitasnya menggulung tali tambang yang biasa digunakan untuk mengikat kapal ketika sedang bersandar.

Prajurit kepala itu bergegas kembali kepada anak buahnya yang masih tetap di posisinya semula.

"Kapal itu menuju Daratan Swarnadwipa. Nanti aku akan meminta ijin kepada paduka raja untuk mengejar mereka. Panji harus ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

Puluhan prajurit itu hanya bisa diam tanpa berkata apa-apa. Terbersit di dalam benak mereka tentang kisah cinta sepasang suami istri yang saat ini sedang dalam pengejaran itu sungguh berliku.

Sementara itu di atas kapal yang sudah menjauh ratusan meter dari pelabuhan, Panji_ suami Nilam_ mendapatkan informasi dari kru kapal bahwa perjalanan melalui laut dari daratan Swarnadwipa menuju Jawadwipa diperkirakan kurang lebih tujuh hari lamanya, itupun jika tidak ada kendala di tengah perjalanan seperti badai yang sering terjadi di musim penghujan. Untuk itu Panji memutuskan menyewa kamar yang disediakan karena tidak mungkin istri dan anaknya tidur di luar selama perjalanan.

Memasuki hari ke empat perjalanan, nahkoda yang sedang mengendalikan laju kapal agar tetap berada pada rutenya menuju daratan Swarnadwipa, dikejutkan dengan laporan dari pekerja yang mengatakan jika melihat dua buah kapal lain yang berada di belakang.

"Kau pegang kemudinya. Tetap arahkan lurus ke depan!" perintah Nahkoda sebelum berjalan cepat menuju bagian belakang kapal.

Sepasang mata juru mudi berusia empat puluh tahunan itu menyipit ketika memastikan bahwa laporan anak buahnya tadi benar adanya. Namun yang membuatnya terguncang dan panik, dia bisa memastikan jika dua kapal yang ukurannya lebih kecil dari kapalnya itu adalah para perompak Hantu Laut yang biasanya melakukan perampokan di tengah laut.

Lebih sialnya lagi, perompak yang sedang mengejar kapalnya saat ini terkenal kejam dan tak segan menghabisi para korbannya.

"Turunkan layar!" teriaknya kepada pekerja yang berada tidak jauh darinya.

Seketika nahkoda itu berlari ke depan dan mengambil alih kemudi. "Cepat beritahu para penumpang jika saat ini kita dalam bahaya! Bilang juga kepada pekerja lainnya untuk mendayung lebih cepat."

Terlihat jelas kepanikan dirasakannya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Perasaannya sudah tidak setenang seperti sebelumnya.

Sementara itu di dalam kamar, Panji dan Nilam tampak berbicara sambil duduk di bibir ranjang. Sesekali mata keduanya tertuju kepada putra mereka yang tidur lelap.

"Perjuangan kita sudah sejauh ini, Nilam. Kalaupun kita harus terpisah, aku harap hanya maut yang akan memisahkan kita," ujar Panji lirih sebelum memeluk istrinya dengan erat.

"Aku juga begitu, Kakang. Kita besarkan Jalu di daratan jawadwipa saja. Tidak perlu kita kita ke tempat asal kita. Aku sudah mengubur semua masa laluku dan ingin membuka lembaran baru di tanah yang baru," balas Nilam seraya menitikkan air mata.

Tiba-tiba suara pintu yang diketuk dari luar mengagetkan keduanya. Panji melepaskan pelukannya dan berjalan menuju pintu lalu membukanya. Seorang laki-laki pekerja kapal tampak berdiri di depan pintu kamar dengan raut wajah tegang.

"Ada apa, Kang?" tanya Panji penasaran setelah melihat raut wajah pekerja kapal yang menunjukkan kekuatiran teramat sangat.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku