Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Tawaran Gila Suamiku
Nadin menatap layar ponselnya. Angka saldo di rekeningnya tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit ibunya. Tangannya gemetar, sementara pikirannya berputar mencari solusi. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Namun, air mata tetap jatuh.
Ponselnya berdering, memunculkan nama yang membuat dadanya semakin sesak: Manager Kantor.
"Nona Nadin, bisa ke ruangan Pak Raka sekarang?" suara perempuan di ujung sana terdengar kaku.
"Ada masalah?" Nadin mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Tidak. Beliau ingin bicara langsung."
Dengan napas berat, Nadin melangkah pergi, menuju kembali ke kantor ke ruang kerja Raka. Gedung perusahaan itu besar, dan langkahnya terasa seperti jalan menuju hukuman. Pikirannya penuh pertanyaan. Apakah dia tahu soal tagihan yang aku ajukan? Apakah aku akan dipecat?
Saat pintu terbuka, sosok Raka yang dingin dan karismatik duduk di balik meja. Ia menatapnya tajam, seperti mencoba membaca isi pikirannya.
"Silakan duduk." Nada suaranya dingin, tanpa emosi.
Nadin menunduk, mengambil kursi di hadapannya. "Bapak ingin bicara soal apa, Pak?"
Raka menyilangkan tangan, lalu menggeser sebuah amplop ke arahnya. "Ini untuk membayar seluruh biaya rumah sakit ibumu."
Nadin terdiam, menatap amplop itu. Detik berikutnya, ia mengangkat kepala, bingung sekaligus cemas. "Kenapa... kenapa Anda memberikan ini pada saya?"
"Karena saya bisa. Tapi ini bukan tanpa syarat." Mata Raka menusuk tajam.
"Syarat?" Nadin meremas tangannya di bawah meja. Suaranya bergetar.
"Aku ingin kau jadi milikku. Bukan hanya sebagai karyawan, tapi lebih."
Hening memenuhi ruangan. Kata-kata itu menggema di kepala Nadin.
"Apa maksud Bapak?" Nadin berusaha terdengar tegas, tapi suaranya pecah.
"Aku yakin kau mengerti." Raka bersandar di kursinya, menyilangkan kaki. "Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya untuk selalu ada di sampingku. Dan kau... kau memiliki sesuatu yang aku butuhkan."
Hati Nadin bergemuruh. Ia ingin berteriak, marah, tapi ingatannya kembali pada wajah ibunya yang lemah di rumah sakit.
"Saya..." Nadin menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca. "Saya butuh waktu untuk berpikir."
Raka tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. "Waktu? Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Hidup ibumu bergantung pada ini, bukan?"
Nadin meninggalkan ruangan itu dengan kepala tertunduk. Langkahnya terasa berat, seperti membawa beban dunia di pundaknya.
Nadin pulang kerumahnya mencari tempat yang sunyi untuk berfikir lebih dalam, Nadin duduk di kamar kecilnya, memandangi amplop yang diberikan Raka. Ia belum membukanya, tapi amplop itu terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya suara di ruangan itu.
"Apa yang harus aku lakukan, Bu?" bisiknya, meski tahu ibunya tak akan mendengar.
Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Tapi gambaran wajah ibunya di rumah sakit terus menghantuinya. Dokter sudah memberikan peringatan. Operasi harus segera dilakukan, atau segalanya akan terlambat.
***
Keesokan harinya setelah semalaman berfikir dan akhirnya memutuskan, Nadin melangkah ke ruang kerja Raka dengan tangan gemetar.
Saat ia masuk, Raka sedang berdiri di depan jendela besar, menatap pemandangan kota yang ramai dan melihat pantulan bayangan Nadin yang masuk keruangan. Tanpa menoleh, Raka berbicara.
"Kau datang lebih cepat dari yang aku kira."
Nadin berdiri di ambang pintu, suaranya tercekat. "Saya... saya setuju dengan tawaran Anda."
Raka berbalik, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia berjalan mendekat, mengulurkan tangannya. "Bagus. Aku tahu kau akan membuat keputusan yang tepat."
Nadin tidak menyambut tangan itu. Ia hanya menunduk, menahan rasa malu yang memenuhi dadanya.
"Ada syarat," ucapnya pelan.
Raka mengangkat alis. "Oh? Syarat apa?"
"Ini hanya sementara. Setelah ibu saya sembuh, saya ingin semua ini selesai. Saya tidak mau terikat lebih dari itu."
Raka tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku tidak memaksamu lebih dari yang kau sanggupi, Nadin."
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ini hanya awal.
***