Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Di suatu siang, di sebuah sekolah dasar negeri yang berada di sebuah desa kecil di pelosok pulau Jawa.
Anak-anak baru saja keluar dari lingkungan sekolah, ada yang berlarian dan ada yang berjalan pelan menyusuri jalanan berbatu.
Wajah-wajah polos dengan senyum dan tawa canda mengiringi langkah-langkah kecil mereka.
"Satya, nanti habis ganti baju kita kumpul di TPK ya," ajak seorang anak yang tubuhnya kerempeng dan berkulit agak hitam, Bambang namanya dan kawan-kawannya memanggilnya Bambang atau Mbang.
TPK adalah tempat penimbunan kayu milik Perum Perhutani yang ada di desa itu.
TPK ini di gunakan sebagai tempat menimbun kayu-kayu Jati ataupun kayu jenis lainnya seperti Sonokeling dan Mahoni setelah di tebang dari hutan yang ada di area tersebut.
"Baik, nanti aku yang bawa bola," jawab seorang anak lain yang bertubuh agak pendek tapi berisi, wajahnya bulat dan agak bersih kulitnya. Dia adalah anak dari kepala TPK, Ardian namanya.
"kita kumpul di TPK lor ya , dibawah pohon sawo," kata anak yang di panggil Satya tersebut, yang tampaknya memang sebagai pemimpin dari rombongan anak-anak kecil itu.
Satya ini bertubuh agak berisi dengan kulit sawo matang, wajahnya memancarkan aura ceria dan penuh semangat. tatapannya sangat tajam walaupun dia masih kecil.
Tempat penimbunan kayu ini cukup luas dan terbagi menjadi dua lokasi. TPK lor (utara) dan TPK kidul (selatan).
Luas tempat penimbunan kayu ini kira-kira empat sampai lima hektar, terpisah menjadi dua karena dibelah oleh jalanan desa yang menghubungkan antara Desa Landoh dengan desa dan padukuhan lainnya.
Dalam lingkungan TPK sendiri terdapat pohon-pohon Mindik (Munggur) yang berukuran sangat besar yang menurut orang orang tua di sekitar tempat ini di tanam pada masa penjajahan Belanda, jadi umurnya pasti sudah ratusan tahun.
Ukuran pohon-pohon di dalam area tempat penimbunan kayu hasil hutan ini mencapai diameter dua sampai tiga meter dengan ketinggian mencapai kurang lebih tiga puluh meter, sehingga tempat ini menjadi teduh dan nyaman untuk beraktivitas.
Jumlah pohon-pohon yang sangat besar cukup banyak , ada puluhan dengan diameter yang rata-rata sangat besar lebih dari satu meter, sehingga hampir setiap sudut tempat ini sangat teduh dan rindang.
Anak-anak yang lain segera menyanggupinya untuk berkumpul sehabis berganti baju dan makan siang.
Mereka berjalan sambil bersenda gurau, dan tanpa terasa sampailah di jalan raya beraspal yang melintasi desa tersebut. Itu adalah sebuah perempatan besar.
Jalan beraspal menghubungkan antara dua kabupaten. Kabupaten Rembang dan Blora.
Sedang jalanan yang belum beraspal menghubungkan antar desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Dijalan ini rombongan anak-anak mulai terpisah, sebagian berbelok kekanan menyusuri jalan raya.
Diantara yang belok kekanan adalah Bambang, Yon, To, Andri dan masih banyak lagi.
Sebagian berbelok ke kiri juga menyusuri jalan raya menuju ke dukuh Jangglengan diantaranya Tris dan Sutar.
Adapula yang rumahnya tepat di perempatan desa tersebut , Likin namanya, anak Pak Salim. Seorang Kyai di Desa Landoh.
Satya dan sebagian anak menyeberang jalan raya tersebut dan berjalan lurus menuju dusun lainnya lagi.
Rumah Satya sendiri terletak tidak jauh dari perempatan jalan tersebut dan berjarak lima puluhan meter saja dari TPK.
Salah satu sahabat Satya rumahnya di dalam komplek TPK dan berdekatan dengan rumah Satya, hanya berjarak lima puluh meteran saja. Hartono namanya, anaknya putih bersih dan agak kecil mungil.
Ketika Satya sampai di depan rumah yang sangat sederhana dan berdinding anyaman bambu (gedeg, bahasa Jawa) Satya segera pamit pada kawan-kawannya.
"Duluan ya !" seru Satya sambil melambaikan tangan pada kawan-kawannya.
Ardian, Hartono, Masruf , Ngali dan lainnya segera melanjutkan perjalanan nya bersama kawan-kawan yang lain yang rumah nya di dukuh paling jauh yaitu Dukuh Kedung Lawa.
Baru beberapa langkah kedepan, Hartono juga sudah sampai di depan rumahnya yang berada di dalam komplek tepeka.
Antara rumah Satya dengan tepeka sendiri terpisahkan oleh rel kereta api yang menghubungkan Kota Rembang dan Kota Blora.
Rumah Ardian ada di sebelah barat TPK, masih masuk komplek TPK dan merupakan rumah dinas milik Perhutani. Karena Ayahnya seorang Sinder atau Asper (asisten perhutani) yang mengepalai TPK.
Satya segera mengucap salam, akan tapi tidak terdengar sahutan dari dalam rumah. Dia segera mendorong pintu dengan tangannya yang kecil.
Ditaruhnya tas sekolahnya dan di gantinya seragam merah putih yang di kenakannya dengan kaus dan celana hariannya yang telah usang.
Setelah usai berganti baju dia kebelakang ke kiwan (kamar mandi) untuk membersihkan diri.