Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tanah Para Naga

Tanah Para Naga

Bengkoang

5.0
Komentar
373
Penayangan
30
Bab

Setelah sekian dekade, perhatian penduduk benua bagian timur mulai tertuju ke Benua Baru. Aku pun yang awalnya hanya mengikuti guru, kini mulai terpikat oleh keperawanan di tanah itu. Namun dendam kesumat ini belum sepenuhnya kulepas....

Bab 1 Penempa Kapak Api dan Es 1

KEJAAARRR!!!

Bagaimana caraku mengatakan ini, berlari di antara pohon pinus bersama siluet dengan gemuruh yang mengikutiku dari belakang?

Heh, lucu.

Diburu oleh para maniak beladiri sejak keluar dari rumah, kalimat apa yang cocok buat menjelaskan semua keadaan ini. Suasana riuh ditambah bising juga gema dari teriakan mereka yang bikin pekak telinga, mana mungkin aku memikirkan hal lain selain cara tuk lepas dari kejaran mereka terlebih dahulu.

Sebagai informasi, mereka adalah persatuan seluruh aliran beladiri benua timur. Gabungan berbagai sekolah beladiri tangan kosong dan bersenjata paling kondang—kata mereka—di wilayah ini, bakal panjang kalau kubahas rinci satu persatu.

Singkatnya. Mereka pasukan bantuan sukarela yang tujuan awalnya ingin membantu Perguruan Naga Sutra dan Wihara Lonceng Emas dari Utara, menegakkan keadilan dengan menangkapku yang—mereka sebut—telah mencuri jurus dua perguruan tadi, padahal aku yakin ada maksud lain di balik tuduhan tersebut.

Meski cuman figuran yang meramaikan naskah serta kebetulan kebagian peran di halaman ini, mereka tetap menyebalkan sebab membuatku sukar menarasikan pembuka di awal cerita. Contohnya perguruan Pedang Dewa Tengah, mulanya entah bagaimana kini sudah berhasil mendahului dan lagi menyergapku.

“Pemilik Rumah Lelang, tolong menyerah!”

“Bacot!” Menyerah pada kalian, cuih!

“Semua hati-hati, dia menguasai Pukulan Telapak Besi. Pasang Formasi Tujuh Bintang, sekarang!”

“Ingin mengurungku di formasi tipis begini, jangan mimpi!”

Mungkin satu pukulan telapak besi tak bisa meruntuhkan seluruh formasi, tapi paling tidak aku bisa melumpuhkan satu dari tujuh pilar penopangnya.

“Saudara Tie, AWAS!”

Terimakasih, rasa persaudaraan kalian membantuku meloloskan diri—lebih mudah.

Usai barisan pohon di depan, aku sudah keluar dari Kolom Lima-Tiga dan masuk Kolom Lima-Dua Benua. Sedikit lagi bebas, habis itu cuma perlu sembunyi menunggu mereka lupa dengan masalah ini.

“Benar,” Pohon ini … Ah sial, ngumpet dulu.

“Semua siaga, saudara kita di seberang sedang menggiring Pemilik Rumah Lelang menuju kemari. Tahan semua posisi, ketika ada tanda kepung hutan di depan!”

“HIAAA!!!”

Berisik. Kalian pikir siasat macam begitu bakal mempan terhadapku. “Mimpi!”

Hanya gak bisa maju dan mundur, lari ke samping masih bisa. Bersama bayangan pohon aku akan keluar dari hutan ini tanpa kalian sadari, tunggu saja.

***

Dua bulan sebelumnya.

Bersembunyi di kabin belakang dan menyelinap dari pengawasan guru, aku menumpang kapal udara milik Perguruan Telapak Besi kembali ke Benua Lama. Setelah pembangunan pelabuhan udara atau bandara di Benua Baru selesai.

Niat pulangku ingin menemui Chloe Kecil, buat melepas rindu pada putri kesayanganku tersebut juga tuk memberitahunya kalau ada sumberdaya dan pengetahuan di benua baru yang beda dari benua lama. Sebab bak mendiang ibunya dahulu, dia pun suka sekali dengan ilmu pengetahuan—begitu isi kepalaku.

Mengungkit kehidupan di benua baru, penumpang kabin yang kutumpangi saling berbagi pengalaman satu sama lain. Menggosipkan Raja Sheng dengan orang-orangnya, juga menertawakan kelakuan sendiri menghadapi kaum Pribumi. Obrolan yang langsung akrab dengan kupingku ketika naik bersama muatan terakhir sambil menyaru di antara pembawa barang—geli kalau kuingat hidupku setahun ini.

Kenangan buat diceritakan ke putriku—sebagai oleh-oleh.

Enam jam berlalu. Kami pun tiba ke bandara di Perguruan Telapak Besi, fasilitas khusus yang dioperasikan oleh dan untuk murid perguruan saja. Kalaulah ada orang luar di sini, berarti mereka pastilah kerabat atau paling tidak kenalan dari para tetua.

Usai berlabuh pintu kapal segera dibuka.

Penumpang lalu berbaris dan turun sesuai urutan kabin yang dinaiki, mulai dari tengah ke depan lalu terakhir kabinku di belakang. Kabin tengah yang pertama karena membawa penumpang berstatus khusus, sedangkan isi kabin depan adalah kapten beserta awak kapal, sisanya kabin belakang memuat barang juga tambahan—bisa penumpang atau awak cadangan.

Saat pengurusan administrasi. Awak kapal di kabin depan boleh melewati pemeriksaan sebab berkas mereka ditangani oleh kapten, sedangkan dua penghuni kabin sisanya diperiksa berurutan. Penumpang kabin tengah diperiksa lebih dulu sambil memberikan catatan barang, nantinya catatan tersebut akan jadi berkas pembawanya di kabin belakang.

Di waktu begini kemampuan menyelinapku menjadi begitu berguna. Sebab ‘tak mungkin aku menyerahkan diri sebagai penumpang gelap, bukan?’

“Hey, di mana anak yang tadi bersama kita?”

“Ah! Paling dia sudah turun duluan.”

***

Udara di hutan pinus kian bertambah berat. Setiap kali memejamkan mata aliran energi dari belakang kurasakan makin pekat, walau jauhnya masih belasan mil para pengejarku bergerak begitu konstan, mempersempit celah pelarian dari kanan-kiriku.

Formasi yang disebut sayap bangau ini, “Menyebalkan!”

Selain bentuknya mengerucut dari belakang, sisi kanannya menghalauku bergerak dalam garis lurus yang makin menyempit ke kiri. Jika dibiarkan terus begini, aku bakal jatuh ke tangan mereka sebelum fajar tiba—sial.

Dari banyak kemungkinan di garis kolom mereka mengikutiku ke sisi kiri, barisan dari utara pun menekanku turun seolah membatasi pelarian—kenapa.

Pembuat rencana di pihak mereka memang pintar. “Arrrghh!” Aku benci situasi ini, apa yang harus kulakukan.

“Sudah menyerah?”

Hah. “AAAAA!!!”

“Oops!”

Siapa orang di sebelahku barusan, kehadirannya sama sekali gak terasa.

“Sepertinya, ilmu kulit baja Pemilik Rumah Lelang sudah mendekati sempurna. Jatuh dari pohon setinggi ini saja tubuhmu masih begitu kokoh, huhu ….”

Sembarangan. “Ilmu kulit bajaku memang sudah sempurna sejak awal!”

“Benarkah … Oh, maaf membuatmu terpeleset kalau begitu.”

“BACOT!” Chiaaat.

“Hahaha … jurus kita memiliki aliran chi yang sama. Jangan lupa, aku juga praktisi chi dingin sepertimu. Lihatlah, pukulan barusan tidak berdampak apa-apa terhadapku.”

Sial. Telapak besiku gak mempan melawannya. “Dasar lampir!”

“Apa kau bilang?”

“Tidak ada! Sekarang coba yang ini!” Chiaaat.

“Apa—AAAAA!!!”

Huh. Jatuh dari pohon setinggi itu pasti sakit.

“Itu bukan jurus telapak besi! Uhk-uhk.”

Memang. “Sekarang kita sudah sama-sama di tanah, dan keadaanmu lebih malang dariku, mwee!”

“Kau! Uhk-uhk.”

Aku gak punya waktu meladenimu, beberapa orang lagi menuju kemari. “Aku pergi!”

“Tung—”

“Nyonya Lan!”

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku