Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
Sementara Arjuna yang masih mengatur nafasnya karena kelelahan menatap langit-langit kamar ketika ujung telunjuk Shinta kekasihnya bermain-main di atas dadanya yang berkeringat.
"Aku pingin buka usaha apa gitu.... " Ucap Shinta.
"Apa?" Arjuna segera mengalihkan tatapannya pada wajah kelewat cantik yang tampak sedang berpikir itu.
"Mmm aku pingin usaha butik sih...." Jawab Shinta.
"Butik?" Arjuna kembali menatap langit-langit kamar. "Di mana?" Tanya Arjuna
"Di sini aja." Jawab Shinta.
Seketika Arjuna mengernyitkan dahi. "Kenapa di sini? Kenapa nggak di Jakarta aja?"
"Kayaknya aku betah di sini. Aku pingin menetap deh di Surabaya."
"Kenapa?" Arjuna menatap heran.
"Aku suka di sini." Jawab Shinta dengan yakin
"Jadi kamu... nggak pingin balik ke Jakarta?"tanya Arjuna
"Aku pingin menjauh dari ortu aku.... mereka toxic. Mendingan aku di sini dan mulai hidup di sini. Aku pingin buka usaha, buat bekal resign. Aku pikir usaha butik oke juga." Jawab Shinta.
"Kenapa kepikiran resign? Bukannya kamu suka kerja?" Tatapan Arjuna menyusuri wajah dan pundak putih Shinta.
Mereka masih berada di bawah selimut yang sama setelah pergumulan barusan.
Sejak makan malam tadi mereka hanya membicarakan hal-hal biasa.
Arjuna sedikit terkejut ketika Shinta tiba-tiba mengutarakan wacana resign.
"Aku udah males kalo dipindah lagi. Kamu tahu kan posisi manajer di perusahaan aku itu cepet banget mutasinya? Aku denger, di luar Jawa lagi butuh banyak posisi setingkat manajer. Ya aku khawatir aja, gimana kalo aku dipindah jauh sampe ke luar Jawa?" Jawab Shinta.
"Emang udah ada selentingan kalo kamu bakal dipindah lagi?"
"Enggak sih. Tapi makin lama aku juga ngerasa tekanan kerja aku makin berat gitu. Jadi aku mulai mikir buat buka usaha sampingan."jawab Shinta.
"Nikah sama aku." Tanya Arjuna sambil menatap lurus kedua mata Shinta penuh harap.
"Junaaaaaa... " Senyuman Shinta tertahan di sudut bibir. "Nggak semua masalah itu solusinya nikah.... " Jawab Shinta.
"Kenapa nggak? Kamu udah nggak kuat sama kerjaan kamu, pingin hidup yang nyaman. Aku bisa kasih itu semua. Kenapa kita nggak nikah aja Shinta? Aku bukan papa kamu, aku udah buktiin itu sepuluh tahun..... Aku nungguin kamu. Sepuluh tahun lho.. "
"Nikah and what? Aku jadi perempuan yang ngerjain kerjaan rumah tangga gitu? Cuma itu? Atau aku cuma jadi pelengkap kehidupan kamu?" Jawab Shinta.
"Aku nggak bilang gitu." Arjuna menggeleng. "Aku bakal dukung kamu jadi apa aja yang kamu mau." Jawab Arjuna.
"Bullshit. Laki-laki di mana-mana sama. Kalo aku nikah sama kamu, kamu cuma mau aku layani. Prioritas aku bakalan...." Ucapan Shinta terhenti seiring dengan tatapan Arjuna yang tengah memperhatikan gerak bibir Shinta yang seketika terhenti, bagai menyadari sesuatu.
".....aku?" sambung Arjuna
Hening seketika.
"Jadi kamu nggak mau prioritasin aku? Terus.... kamu pikir aku pindah ke sini demi apa?" Arjuna mulai kesal
"Juna, aku belum siap... "
"Oke. Sukses buat usaha kamu." Arjuna dengan kesal menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya dan bergegas menuruni ranjang.
"Juna... "
Kirana menatapnya yang berjalan menuju toilet. Ares memasang tampang acuh dan menutup pintu. Melepas kondom yang masih terpasang dan membersihkan dirinya di bawah pancuran air shower.
Brengsek...Ia mengumpat di dalam hati. Bersama Shinta topik pernikahan tidak pernah menemukan ujungnya.
Arjuna tidak tahu, mengapa mereka tetap bertahan. Lebih tepatnya, mengapa ia memilih tetap bertahan. Ia pikir bercinta sebelum pulang ke rumah bisa membuat tubuhnya lebih ringan.
Nyatanya, malah semakin menambah beban pikiran. Seketika batinnya lelah. Jadi untuk apa ia berjuang sejauh ini?
Berkali-kali ia sudah mencoba untuk berhenti. Setiap kali hubungan mereka mengambang tanpa status, ia kembali mencoba membuka hatinya untuk peluang yang baru.
Namun tiap kali ia mulai menemukan wanita baru, Shinta akan kembali mendekat dan membuatnya goyah. Terang saja si wanita baru tidak akan pernah ada apa-apanya dibanding Kirana yang sudah terlanjur kuat di hatinya. Ia bahkan tidak bisa menyediakan toleransi bagi sekecil-kecilnya kekurangan, jika wanita itu bukan Shinta.
Berulang kali Arjuna mencoba, tetapi Shinta yang datang kembali membuat pertahanannya jebol berkali-kali. Hatinya tidak kuat tega mengabaikan Shinta, meski wanita itu sungguh tega berpaling tiap kali bosan. Lebih tepatnya, ia tidak tega pada hatinya sendiri yang selalu memuja Shinta.
Masalahnya selalu sama. Mereka berpisah karena Shinta yang bosan dengan hubungan mereka dan sambil menunggu Shinta kembali ia akan mencoba peruntungan hati dengan wanita lainnya.
Mungkin saja ada pesona lain yang menyeret seluruh perasaannya dan membuatnya lupa akan rasa cinta terhadap Shinta yang begitu menyiksa.
Akan tetapi, tidak ada bibir yang semanis bibir Shinta. Tiap kali ia menyentuh bibir wanita lain, hatinya mencari makna yang sama dan ia tidak menemukan yang ia cari. Hanya ada pagutan tawar yang membuat Arjuna tidak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Ia hanya ingin terseret dalam perasaan cinta, tapi sejauh ini belum ada wanita yang mampu melakukannya selain Shinta.
Senyuman malu dan obrolan canggung, tidak cukup membuat jantungnya berdetak gentar. Semua wanita itu terbaca begitu menginginkannya.
Ketertarikannya dengan cepat menguap, tanpa sebab yang jelas. Harus berapa lama lagi ia menunggu Shinta? Ataukah ia harus benar-benar berhenti sekarang?
Nggak, sedikit lagi. Arjun memutuskan tahan banting. Toh sudah sepuluh tahun. Rasanya juga terlambat untuk menyerah setelah sekian lama penantian. Lagi pula, selama ini cintanya tidak pernah hilang. Memang tidak menggebu-gebu seperti tahun-tahun awal pacaran, tetapi sungguh cinta itu masih bertahan kuat di hatinya.
Arjuna membuka pintu toilet. Ia melihat Shinta sudah berdiri dengan handuk kecil di tangan.
"Berapa kali aku bilang, jangan lupa handuknya." Shinta mengusap wajahnya dengan handuk di tangan. Lembut.
Tatapan Arjun terjerat pada wajah sendu Shinta.
Hanya wajah itu, yang ia inginkan seumur hidupnya. Tapi....
"Aku pulang." Shinta berpaling sambil menahan perih di kedua matanya. Dengan lesu ia mengambil alih handuk untuk mengeringkan tubuhnya, kemudian segera mengenakan celana dan kemejanya.
"Arjuna... " Shinta menyentuh lembut punggungnya.
"Makasih." Ucap Arjuna sambil berbalik dan mengecup kening Shinta saat hatinya mendadak cengeng.
Hanya perempuan ini yang bisa membuat air matanya menetes hingga kering.
"Good night." Tanpa menatap lagi ia membuka pintu kamar dan berjalan gontai sambil menyahut kunci mobil di atas bufet.
Bagimu aku apa? Arjuna hanya menyimpan pertanyaan yang sudah sering ia lontarkan. Akan tetapi, Kirana tidak pernah memberikan jawaban yang paling ia harapkan. Semua makna dirinya terdengar sia-sia, ketika pada kenyataannya kepastian itu tidak pernah ia dapatkan.
Malam itu setibanya di rumah.
Arjuna duduk sendiri di sofa ruang tamunya. Menyalakan rokok dan menatap hening keadaan rumah dinas yang sunyi senyap.
Sungguh kehidupan yang sunyi dan sendiri. Arjuna terpekur menatap meja.
Coba kalau Shinta ada di sini, ide itu hanya sebatas angan yang tidak ingin Arjuna wujudkan.
Meski hidup sendiri, ia tidak pernah mengizinkan Shinta menginap di rumah yang disediakan oleh kantornya semacam rumah dinas atau inventaris kantor lah.
❤️❤️