Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
521
Penayangan
10
Bab

Reina disebut pembawa sial, diasingkan oleh keluarganya dan jauhi oleh Shiela saudara perempuannya. Namun Reina bertahan karena amanah dari mendiang ayahnya. Hingga dia bertemu Riga yang membawa warna dalam hidupnya. Seseorang berusaha melenyapkan Riga agar Reina tetap disebut si pembawa sial. Kecurigaannya muncul pada orang-orang terdekatnya, akankah Reina percaya pada mereka? Atau justru mengakui bahwa dirinya penyebab kematian orang-orang terdekatnya. Reina harus mengungkap kebenarannya!

Bab 1 1. Pertemuan Yang Buruk

Namanya Reina Fillosa, gadis cantik nan manis dengan lesung pipinya. Rambutnya yang hitam dan panjang selalu tergerai sempurna. Bulu mata lentik dari lahir, bibir tipis yang selalu tersenyum manis dan sorot mata yang selalu hangat.

Sayangnya wajah cantik itu tidak didukung dengan kemampuan otak yang memadai. Reina sangat lemah di hampir semua mata pelajaran. Gadis itu tidak suka menghitung, tidak suka teori yang panjang seperti Sejarah dan bahasa Indonesia. Tidak juga suka dengan olahraga, apalagi gurunya yang berkumis tebal.

Seperti pagi hari ini, seluruh siswa kelas dua belas IPS dua diminta untuk berlari mengelilingi lapangan basket sebanyak dua kali sebelum melakukan lempar cakram. Di antara mereka, Reina berada di urutan paling belakang. Bisa dikatakan gadis itu tidak berlari, sebab langkahnya nyaris seperti berjalan santai.

Priiiiiit!

"Reina! Lari!" seru pak Darma dari pinggir lapangan. Pria paruh baya berkumis tebal itu bercak pinggang menatap lurus pada Reina. Sudah sebal benar dengan tingkah muridnya itu.

Bukannya berlari Reina justru mendengus kesal. "Bapak tahu sendiri kalau saya enggak berbakat di bidang olahraga." tutur Reina yang kini berjalan di tepi lapangan. Bulir-bulir keringat tampak di wajahnya. Reina mengusap pelipisnya yang berkeringat dengan punggung tangannya.

"Memangnya kamu mau nilai olahraga kamu dapat enam lagi?"

"Ya ampun Pak, tiap semester juga nilai olahraga saya selalu enam." ucap Reina pasrah tapi, ucapannya itu memang benar. Nilai Reina sepertinya sudah tidak tertolong.

"Ahahahaha." Teman-teman sekelas Reina langsung tertawa mendengar penuturan gadis itu. Mereka semua tahu bagaimana Reina yang tidak menyukai olahraga. Bahkan perdebatan Reina dengan pak Darma pun bukan lagi hal aneh bagi mereka.

Setelah mereka selesai memutari lapangan basket, kini mereka beristirahat sejenak sambil menunggu pak Darma mengabsen satu persatu sebelum maju untuk melakukan lempar cakram. Mereka duduk-duduk di tepi lapangan secara berkelompok.

"Abdi Arjuna Laksana." panggil pak Darma mengabsen siswa pertama untuk melakukan praktik lempar cakram. Siswa bertubuh tinggi tegap itu segera berdiri mengambil benda bundar terbuat dari besi. cowok itu berdiri di garis putih sebagai tanda start untuk melempar cakram.

Lengan kaos olahraga yang pendek digulung sampai ke pundak menampakkan otot-otot kekar cowok itu. Rambutnya yang hitam pekat terlihat sedikit mengkilap karena sorotan matahari.

Siapa pun akan terpesona melihat sosok Abdi, apalagi saat ini dalam kondisi berkeringat. Itu membuatnya tambah seksi. Tak sedikit murid perempuan mengagumi Abdi.

Salah satunya Mia. "Rein, Abdi sudah punya pacar belum?" tanya Mia teman sekelas Reina. Cewek cantik bermata sipit itu memang menggemari cowok-cowok ganteng.

"Mana aku tahu, aku kan sukanya tempe." jawab Reina acuh tak acuh. Paling malas memang jika ada temannya yang bertanya tentang Abdi.

"Ih, kamu itu kan sepupunya. Seharusnya tahu dong."

"Iya, tapi aku enggak suka kepo. Gak suka ikut campur urusan tuh anak, urusan hidup aku saja banyak dan bikin aku pusing. Mana sempat mengurusi hidup Abdi."

"Jadi curcol deh." Seloroh Mia kesal.

Mereka kembali fokus pada Abdi yang melakukan lemparan sempurna. Semua siswa bersorak untuk cowok itu. Reina mulai merasakan sesuatu mulai mendesak untuk segera dikeluarkan. Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Pak, ke toilet dulu ya, kebelet nih."

"Kebiasaan banget setiap olahraga pasti kebelet. Sudah sana!"

"Terima kasih, Pak!"

Langsung saja Reina bergegas menuju kamar mandi. Dia berlari terburu-buru karena takut celananya basah. Sangat memalukan jika dirinya harus mengompol di saat usianya sudah menginjak remaja. Kebiasaan Reina yang ke kamar mandi dengan terburu-buru juga sudah terkenal.

Rambutnya dikepang kuda bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti hentakkan langkah kaki Reina yang tergesa. Reina benar-benar seperti anak kecil yang akan segera mengompol di celana.

Begitu sampai di pintu toilet gadis itu langsung saja masuk tanpa melihat tanda yang terpasang di depan pintu masuk. Reina kemudian masuk ke salah satu bilik di dalam kamar mandi tersebut. Duduk dengan tenang di atas kloset. Sesaat kemudian raut lega terlihat di wajahnya.

"Untung aja aku enggak sampai mengompol," ucap Reina lirih.

Selesai dengan urusan daruratnya, Reina membuka pintu bilik, namun dia langsung terkejut begitu melihat seorang siswa sedang berdiri menghadap dinding khusus urinoar, sedang buang air kecil.

"Arrrgghhh!!!"

Sontak saja teriakan gadis itu membuat siswa itu buru-buru membenahi dirinya. Sama seperti Reina siswa itu pun terkejut bukan main karena ada siswi perempuan di kamar mandi khusus murid lelaki.

"Aku enggak lihat! Aku enggak lihat." ucap Reina sambil menutup mata dengan kedua tangannya dan mundur perlahan-lahan tapi, dia mengintip wajah lawan bicaranya lewat celah-celah jari tangannya.

"Lihat apaan?" tanya siswa laki-laki itu dingin. Matanya yang hitam menatap Reina tajam. Membuat siapapun merasa terintimidasi olehnya.

"Punya kamu, eh? enggak.. enggak maksud aku lihat, eh! Bukan! Aku enggak lihat punya kamu. Sumpah aku enggak lihat!"

Kegugupan Reina itu justru membuat siswa laki-laki itu semakin yakin kalau Reina melihat sesuatu. Perlahan siswa itu mendekati Reina, lalu menarik lengan gadis itu dengan kasar sampai dia bisa melihat dengan jelas wajah Reina.

Reina yang gugup hanya bisa menutup matanya rapat-rapat. Tidak sanggup jika harus melihat wajah cowok itu secara langsung. Hembus nafas yang menerpa wajahnya saja sudah membuat Reina gugup.

Riga, cowok itu menatap Reina geram. Baru saja ingin melepaskan Reina, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.

"REINA! RIGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" teriak Bu Kumala Sari dari ambang pintu masuk ketika melakukan sidak selama jam pelajaran berlangsung karena biasanya para siswa akan menggunakan kamar mandi untuk alasan mereka bolos.

Sontak saja hal itu membuat Reina segera melepaskan tangannya dari Riga. Cewek itu mendekati guru dengan sanggul yang selalu menghiasi belakang kepalanya.

"Sa-saya tadi lihat punya dia, eh.. enggak! maksud saya tadi saya sama dia pipis bareng, Ya Tuhan! Bukan gitu Bu." Spontan Reina memukul mulutnya sendiri yang tidak bisa menjelaskan dengan baik.

"Ikut ibu ke kantor SE-KA-RANG!" bu Kumala Sari melenggang pergi. Tak mau tahu dengan alasan yang Reina katakan. Tubuhnya yang terlihat montok itu seakan bergerak dibalik pakaiannya.

Reina merutuki dirinya sendiri yang mudah sekali gugup. Dia sangat kesal dengan kebodohannya sendiri ditambah lagi sepertinya cowok bernama Riga itu tak berniat sedikit pun untuk menjelaskan sesuatu pada guru tersayang mereka yang terkenal seperti pembunuh berdarah dingin.

Dengan wajah menunduk kesel Reina menyeret langkahnya mengikuti bu Kumala Sari. Tragis nasibnya hari ini.

***

"Kamu kenapa sih enggak jelasin apa-apa sama Bu Kumsar?" tanya Reina kesal sambil terus mendorong alat pel-nya maju mundur. "Bilang kalau itu kecelakaan, kita enggak ngapa-ngapain, kan setidaknya kita gak bakal berakhir berdua di toliet ditemani sama alat pel dan ember ini,"

Reina memasukkan alat pel ke dalam embernya secara asal, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Cewek itu benar-benar kesal dengan kejadian yang menimpanya hari ini. Dia menghentikan kegiatannya, tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Reina mengambil ikat rambut dari kantong seragamnya lalu mengikat rambutnya secara asal.

Sedangkan cowok bernama Riga itu hanya diam saja seolah pasrah dengan hukuman yang diberikan oleh guru mereka. Meski sebenarnya dia kesal bukan main pada Reina yang tak berhenti bersuara itu. Cowok satu itu tetap dengan alat pelnya, fokus dengan hukumannya.

"Kamu kenapa kok diam saja? Bisu?" Reina kembali bersuara dan Riga sama seperti sebelumnya tak menanggapi ucapan Reina. "Kayaknya kamu sungguhan bisu deh, masa dari tadi aku terus yang mengoceh sih, kan aku capek,"

Siapa juga yang suruh kamu mengoceh

Riga membatin. Sesaat cowok itu memperhatikan Reina yang tampak tak pernah lelah. Cowok itu yakin Reina pasti punya baterai cadangan di punggungnya agar tidak kehabisan daya untuk bicara.

"Harusnya tuh ya aku sudah di rumah, lagi makan masakan bunda yang super enak. Bukannya terdampar di kamar mandi kayak begini. Ih, sumpah baru kali ini aku sial," Reina menjeda kalimatnya. Dia menghentikan kegiatannya seperti sedang memikirkan sesuatu. "Eh? Kalau nilai jelek itu termasuk sial enggak ya? Kalau iya, berarti hidup aku sial terus dong." ucapnya pada diri sendiri.

Sedangkan Riga mulai jengah dengan setiap celoteh yang keluar dari mulut Reina. Cowok itu ingin sekali membekap mulut gadis itu dengan alat pelnya.

"Kamu bisa diam enggak?" tanya Riga menodongkan alat pelnya ke wajah Reina.

Reina mendorong alat pel itu menjauh darinya. "Eh, kamu bisa ngomong?" Reina mendekati Riga, cewek itu terlihat sangat antusias. "Coba ngomong sekali lagi, aku mau dengar." pintanya seakan-akan dia baru menemukan benda asing yang bisa bicara.

Riga menepis tangan Reina yang berusaha menyentuhnya. "Jangan pegang-pegang."

"Ih iya, benar kamu bisa ngomong! Yeey!" setelah bersorak kegirangan cewek itu kembali mengerjakan hukumannya. "Kamu bawa kendaraan enggak? Kalau bawa aku nebeng ya. Kalau sudah sore biasanya jarang ada angkutan umum lewat sini. Rumah aku enggak jauh kok dari sini, di kompleks Permata Clusters, kamu tahu kan?"

"Hmm,"

"Hmm itu artinya kamu mau antar aku atau kamu tahu rumah aku?" tanya Reina membungkukkan badannya untuk menggapai celah di bawah wastafel.

Riga menghela nafas. Jengkel dengan cewek di dekatnya itu. Banyak bicara dan terkesan sangat bodoh. Ah, Reina memang bodoh. Reina berhenti bicara ketika mendapatkan tatapan tajam dari Riga.

Sepuluh menit terakhir mereka lalui dengan saling diam. Sebenarnya mulut Reina sudah gatal ingin mengucapkan sesuatu, tapi setiap kali dia ingin bicara Riga selalu menatapnya dengan tatapan yang mengancam. Reina tentu saja takut dengan cowok itu, jika Riga nekat memutilasi bagaimana nasib keluarga Reina yang kehilangannya. Itu sangat tidak dia inginkan.

Hukuman mereka selesai begitu petugas kebersihan sekolah datang. Laki-laki berseragam cleaning service itu memberitahu mereka kalau Bu Kumala Sari menyudahi hukuman keduanya.

"Terima kasih ya, tugas bapak jadi berkurang," ucap Pak Mus bahagia. "Kalau setiap hari ada yang dihukum kayak begini kan, bapak jadi bahagia."

"Kalau kita yang bersihin terus itu artinya bapak makan gaji buta. Rugi dong kita yang sekolah di sini, kan bayarnya mahal. Uang bulanan yang kita kasih ke sekolah pasti sebagian buat gaji bapak juga," Celetoh Reina apa adanya.

Pak Mus hanya tersenyum menanggapi ucapan Reina. Pak Mus tahu kalau Reina itu hanya bercanda sama seperti dirinya. Laki-laki paruh baya itu cukup mengenal Reina, mengingat cewek itu sering sekali keluar masuk toilet.

"Pulang dulu ya, pak. Sudah lapar." ucap Reina kemudian sebelum dia berlalu dari hadapan pak Mus.

Cewek itu berjalan dengan riangnya. Rambutnya yang tergerai bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti setiap gerakan langkahnya. Bibir mungilnya tak berhenti bersenandung menyanyikan lagu anak-anak.

"Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka, ku duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, eh... di sini kan sudah gak ada delman. Berarti naik kopaja aja kali ya." celoteh Reina tanpa memedulikan beberapa siswa yang masih berada di sekolah. Sebagian ada siswa yang sedang mengikuti ekstrakurikuler dan sebagian lagi pengurus OSIS.

Reina menghentikan langkahnya di depan gerbang. Melirik pada jam tangannya yang menunjukkan pukul empat sore, sudah bisa di pastikan tidak ada angkutan umum lewat karena memang bukan jalan utama. Reina mengambil ponselnya untuk memesan ojek online, tapi sayangnya ponselnya mati kehabisan daya.

"Oh iya, tadi kan pas jam pelajaran bu Astri aku pakai buat main candy crush. Sial! Reina memang benar-benar bego."

Reina kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia melirik ke kiri dan ke kanan berharap ada kendaraan yang lewat.

Dan yang berhenti di hadapannya adalah motor Riga. "Ayo naik," ajak Riga dari atas motornya.

"Enggak, aku bisa pulang sendiri." Katanya basa-basi, sambil senyum-senyum sungkan.

"Katanya tadi mau nebeng." Riga mengingatkan cewek super berisik itu. Meskipun sebenarnya dia enggan berurusan lagi dengan Reina, tapi melihat cewek itu sendirian menunggu angkutan umum rasanya dia tidak tega.

"Emang aku pernah bilang mau nebeng gitu? Kapan?"

Riga menghela nafas baru kali ini dia bertemu dengan makhluk aneh seperti Reina. Cowok itu heran mengapa Reina bisa di terima di SMA Cendrawasih yang merupakan sekolah favorit.

"Di toilet."

"Oh, aku cuma bercanda."

"Mau naik enggak?!" tanya Riga dengan sedikit membentak. Cowok itu menyodorkan helm untuk Reina, helm yang dipinjamnya dari penjaga sekolah.

"Karena dipaksa oke deh, aku ikut." Reina memilih untuk ikut pulang bersama Riga dari pada harus menunggu angkutan umum yang tak pasti. Selain karena itu juga uang saku Reina tetap aman. Kalau bisa sering-sering.

Riga memacu motornya menuju alamat rumah yang Reina sebutkan. Sebenarnya dia tinggal di kompleks yang sama dengan Reina, hanya berbeda blok saja. Motor besar itu berhenti di pos penjaga sebelum memasuki kawasan perumahan elite itu.

Seorang satpam keluar dari posnya untuk membukakan tiang penghalang yang menutupi jalan masuk. "Wah, mas Riga pulangnya gak sendiri nih. Pacarnya mas?"

Reina membuka kaca helmnya. "Bukan pak!"

"Eh, neng Reina. Bapak kira siapa, hehe."

"Buruan buka Pak, mau lewat nih."

"Iya, iya." satpam tersebut menekan tombol merah yang berubah menjadi hijau ketika tiang penghalang itu terbuka, dan akan tertutup secara otomatis begitu si pengendara sudah melaluinya.

Riga mengikuti arahan Reina menuju blok sepuluh. Laju motornya melambat begitu mendekati rumah cewek cerewet itu. Riga menghentikan motornya di depan gerbang rumah dengan nomor sembilan belas.

"Kamu kok tadi kenal sama satpam kompleks sih? kamu tinggal di sini juga?" tanya Reina begitu turun dari motor Riga dan tangannya sibuk melepas kaitan helmnya.

"Hmm."

"Di blok berapa?"

"Dua belas."

"Wah, dekat dong. Nomor rumah kamu berapa kapan-kapan gue mau main."

"Gak usah."

Melihat Riga yang datar-datar saja menanggapi setiap ucapannya membuat Reina gemas sendiri. Ingin sekali rasanya cewek itu menarik pipi Riga sampai memekik kesakitan. Alih-alih mencubit pipi Riga, Reina justru menciumnya.

Cup

"Kamu gila!" bentak Riga membuat Reina tersentak kaget, bahkan satpam rumahnya pun keluar mendengar suara Riga. Melongo menyaksikan kedua remaja itu.

"Enggak, aku enggak gila. Itu cuma bentuk terima kasih karena aku sudah mengantar aku pulang ke rumah dengan selamat dan sentosa."

"Stres kamu!" tak ingin lagi berdebat dengan Reina, Riga langsung menjalankan motornya meninggalkan kediaman cewek yang menurutnya gila itu.

Seumur hidup baru kali ini di cium oleh orang selain orang tuanya. Dari kecil Riga selalu menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya. Dulu bahkan dia akan menangis atau berlari jika ada teman mamanya ingin mencium dirinya.

Tapi, Reina dengan mudahnya mencium pipinya tanpa permisi. Riga benar-benar merasa menyesal telah berbaik hati mengantar Reina pulang. Mulai detik itu juga dia akan menjauhkan dirinya dari Reina. Tidak akan lagi berhubungan dengan cewek itu dalam bentuk apapun.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yellowflies

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku