Matheo Nagawa Johanson tidak pernah mengira jika saudara tirinya mampu berbuat keji hanya untuk harta warisan. Kehilangan penglihatannya karena jebakan sang kakak tidak membuat Theo menyerah. Akan ia jamin dengan darah mafia yang mengalir di tubuhnya untuk membalas semua orang yang telah berpesta di atas kehancurannya. Apakah Theo akan berhasil membalaskan dendamnya? Bagaimana caranya balas dendam di saat ia sendiri tidak bisa melihat?
Suara derap langkah memenuhi ruangan itu, setiap pijakan yang pria itu ambil terdengar tegas dan penuh wibawa. Bahkan hanya dari suara sepatu yang menghantam marmer itu, seisi mansion bisa tahu siapa yang sedang berjalan tidak jauh dari mereka.
Matheo Nagawa Johanson, jawabannya.
Tatapan tajam, tubuh tegap yang tinggi, rahang yang tegas, bahu yang lebar dan dada yang bidak. Ia adalah gambaran bentuk dari sebuah kesempurnaan. Tidak hanya sebatas penampilan saja tapi ia juga memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa, dengan IQ 180 ia mampu memimpin dua perusahaan sekaligus dan jangan lupakan kemampuannya dalam menyusun taktik serta menghancurkan orang lain.
Hanya saja di balik kesempurnaan itu ia juga memiliki kecacatan dan kelemahan yang sudah pasti dimiliki oleh setiap orang. Sikap malas, suka meremehkan, dan tidak ingin terlibat dengan banyak hal membuatnya malah terjebak di dalam sebuah masalah yang tidak ada akhirnya.
Perebutan harta warisan dan tahta penerus perusahaan membuat keluarganya terpecah kedalam dua kubu, kubu Istri Pertama dan kubu Istri Kedua. Hal ini membuktikan jika keputusan ayahnya untuk menikah dua kali bukannya mendapatkan keberkahan melainkan sebuah petaka bagi seluruh keluarga Johanson.
Masalah itu tidak hanya selesai dalam kurun waktu beberapa hari atau bulan karena perebutan tahta yang melibatkan banyak pihak dengan beragam siasat itu menjadi sebuah pertempuran yang cukup sengit. Tapi berkat masalah itu Theo yang selalu menganggap enteng semua hal dan bersikap malas jadi berubah. Pria itu menunjukkan siapa dia yang sebenarnya.
Ia yang awalnya terlalu malas untuk terlibat dalam masalah perebutan kursi Direktur Utama Perusahaan, akhirnya terlibat juga setelah nyawanya hampir hilang. Tidak hanya dirinya tapi sebagai putra tunggal dari istri pertama ayahnya, sang ibu yang sudah sakit-sakitan juga terancam.
Bahkan, kabar jika kedua saudara tirinya memperlakukan ibunya dengan buruk sudah menyebar seperti tumor di dalam perusahaan Johanson Company. Tidak terima dengan sikap mena-mena kedua kakak dan ibu tirinya membuat Theo akhirnya bergerak juga. Beragam rencana diluncurkannya, hingga akhirnya hari itu tiba juga.
Theo melangkah dengan cepat memasuki kamar tidurnya untuk menemui wanita yang sudah menunggu sejak tadi. Senyum hangat terpatri di wajahnya melihat wanita itu sedang diam menatap rembulan dari balik jendela.
"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?" tanyanya membuat wanita itu sedikit berjengit kaget.
"Seperti biasa ya kau selalu membuatku kaget, bagaimana dengan persiapanmu?" tanya wanita itu mengalihkan pandangannya untuk menatap wajah Theo.
Theo mendekat dan menaruh kepalanya di pundak kecil itu, "Lyra," gumamnya pelan memanggil nama wanita yang telah resmi menyandang gelar sebagai istrinya itu sejak setahun yang lalu.
"Tak apa, aku yakin kau sudah mempersiapkan semuanya dengan baik," Lyra menepuk punggung Theo pelan.
"Aku hanya sedikit takut sekarang, bagaimanapun juga mereka anggota keluargaku Lyra, jika aku mengakhiri hidup mereka sekarang apa itu hal yang wajar?"
"Aku juga sama takutnya sepertimu, aku juga tidak akan sanggup melakukan hal seperti itu. Sedari tadi yang aku pikirkan bukan lah membunuh kedua kakakmu, tapi memberikan mereka pelajaran yang jelas."
"Maksudmu?" Theo mengurai pelukan itu, ia menatap wajah Lyra yang tampak sangat cantik saat terkena cahaya rembulan.
"Bukankah mereka tergila-gila dengan kekuasaan dan uang?, maka rebut semua hal itu dari mereka berdua. Buat mereka tidak dapat merasakan sedikitpun kekuasaan dan uang, dengan demikian mereka akan tetap hidup tapi tidak lebih dari sebuah neraka."
"Tapi, kita sudah bergerak sejauh ini, hanya perlu satu langkah untuk menghabisi mereka."
Semua sudah sesuai dengan rencananya, kedua kakaknya juga sudah masuk ke dalam perangkap. Ia sangat yakin jika sekarang kedua orang itu sedang tidur nyenyak, karena berpikir telah berhasil mengelabui dan membodohinya.
Saat ini yang Theo perlu lakukan hanya lah membunuh kedua kakaknya yang sedang berada di wilayah selatan kota, kedua orang itu terlalu gegabah sehingga tidak menyadari jika sudah masuk ke dalam perangkap. Terlebih lagi tingkat pengamanan kedua kakaknya sangat rendah dibandingkan saat mereka berada di pusat kota.
"Aku tahu itu," ujar Lyra menatap sendu suaminya, "Setelah semua yang mereka lakukan kepadamu dan ibumu, tentu saja pilihan untuk membunuh mereka adalah yang terbaik. Namun, jika kau menyerang mereka sekarang kau hanya akan dikenal sebagai seorang pembunuh."
Theo diam mendengar apa yang Lyra katakan, ia bisa merasakan pelukan hangat dari istrinya, "Aku tidak ingin kau dikenal sebagai seorang pembunuh dengan alasan harta warisan karena itu terlalu konyol, aku ingin kau dikenal sebagai penyelamat keluarga dan perusahaan Johanson."
Mendengar itu membuat Theo berbalik dan membalas pelukan Lyra, "Apa yang harus aku lakukan?"
Lyra menyunggingkan senyumnya, Theo tidak dapat memahami raut wajah wanita itu. Ia hanya bisa ikut saat tangannya ditarik menuju ke ruangan kerja yang berada di sebelah kamarnya. Kini ia ikut tersenyum saat mendapati Mark sudah siap menunggu kedatangannya disana.
Mark yang merupakan tangan kanan sekaligus sosok kakak yang menemaninya sejak kecil itu tampak sudah siap menyambut kedatangannya. Jika kedua orang itu sudah bersikap seperti ini berarti ada rencana besar yang sudah mereka susun dengan sangat baik dan rapi. Tentu saja ia tidak akan bisa menolak ide berlian dari dua orang kepercayaannya itu.
"Sepertinya nona Lyra berhasil membujuk anda dengan baik, Tuan."
"Berhenti memanggilku seperti itu Mark, aku cukup muak mendengar kata-kata sopan saat jam kerja, sekarang bicara lah dengan santai selayaknya seorang saudara untukku," saut Theo dengan malas, "Jadi, kalian berdua sudah bekerja sama untuk ini semua?"
"Ya, bisa dibilang begitu," Lyra menarik kursi kerja Theo dan menyuruh suaminya duduk di sana.
Setelahnya Mark dan Lyra mulai menjelaskan satu per satu rencana yang akan mereka lakukan. Entah sejak kapan, tapi kedua orang itu sepertinya sudah bekerja cukup keras untuk mengumpulkan informasi agar dapat menjatuhkan kedua kakaknya. Mendengar penjelasan kedua orang itu ia hanya bisa menyunggingkan senyumnya.
Sepertinya di bandingkan membunuh kedua kakaknya secara langsung, membalas mereka secara perlahan dan menunjukkan siapa dia yang sebenarnya jauh lebih baik. Sudah cukup ia tersiksa selama setahun ini, percobaan pembunuhan juga sudah cukup banyak menghampirinya.
Bukan hanya dirinya dan sang ibu, tapi akhir-akhir ini bahkan kedua kakaknya menargetkan Lyra dan juga Mark. Ia takut orang-orang terdekatnya terluka, makanya ia ingin mengakhiri permasalahan ini dengan cepat. Tapi, setelah dijelaskan oleh Mark dan Lyra sepertinya keputusan untuk langsung menghabisi itu terlalu gegabah.
Tangan Theo terulur untuk menyentuh matanya, mata berwarna coklat itu bukan lah miliknya. Mata itu salah satu bentuk pengorbanan seseorang untuknya, bentuk kejahatan yang kedua kakaknya lakukan dan bentuk balas dendam yang harus ia tuntaskan.
Lyra yang melihat suaminya terdiam dengan menyentuh kedua mata itu hanya bisa menyunggingkan senyumnya, ia adalah salah satu orang yang terseret dalam masalah keluarga itu padahal tidak memiliki kaitan sama sekali.
"Aku senang, karena akhirnya aku tidak perlu merasa bersalah lagi," ujarnya yang membuat Theo menatapnya lekat.
"Maafkan aku," rasa bersalah itu pindah kepadanya, ia merasa bersalah atas semua masalah dan kemalangan yang menimpa wanita itu.
Mark yang bingung dengan atmosfer canggung itu akhirnya memilih untuk mengalihkan pembicaraan, "Kita butuh waktu satu bulan untuk membalaskan satu tahun perbuatan keji mereka, apa itu tak masalah untuk kamu Theo?"
"Tentu saja, aku akan mengikuti apa yang telah kalian rencanakan," jawab Theo cepat, "Aku ingin menemui ibu besok, ini pertama kalinya aku datang dengan mata yang baru. Jadi, bantu aku untuk memilih hadia yang terbaik untuk ibu," ia juga ikut mengahlikan pembicaraan takut jika membuat Lyra jadi tidak nyaman berada di dekatnya.
"Aku akan mempersiapkan beberapa pilihan hadiah dan obatan herbal terbaik," saut Mark sembari mengangkat kedua jempol tangannya.
"Apa aku juga boleh ikut bertemu ibu?"
Lagi-lagi Theo dibuat kaget dengan pertanyaan istrinya, ia baru ingat jika selama ini ia tidak pernah memperkenalkan Lyra kepada keluarganya, "Iya, aku akan memperkenalkanmu kepada keluargaku, mungkin ini memang sangat terlambat tapi tidak salah untuk melakukan pertemuan dan perkenalan sekarang."
"Terima kasih," ujar Lyra dengan tersenyum lebar, melihat ekspresi istrinya membuat Theo tidak tahan untuk tak tersenyum.
"Bagaimana dengan lukanya?" ia mengahlikan perhatian dan melihat ke arah perut Lyra.
"Sudah jauh membaik, hanya saja aku sangat membenci bekas luka ini."
"Aku akan mencari dokter bedah terbaik untuk menghilangkan bekas lukamu, jika perlu kita akan mencari dokter bedah plastik yang bisa mengembalikan keadaan kamu seperti semula, Lyra."
Theo yang baru saja akan mengatakan hal yang sama tampak menatap Mark tak suka, seharusnya ia adalah orang yang mengatakan tentang hal itu kepada istrinya tapi kenapa malah Mark yang berbicara duluan.
Dan lihatlah, sekarang kedua orang itu tampak akrab dan berbincang dengan santai di hadapannya sembari tertawa. Bahkan tangan Mark dengan entengnya mengacak-acak rambut Lyra yang terpotong pendek itu, cukup kesal rasanya saat menyaksikan itu. Namun saat menatap wajah Lyra yang tertawa lepas, membuat hatinya terasa lebih nyeri lagi.
'Senyum itu tidak pernah kau tunjukkan kepadaku sekalipun Lyra, kau hanya bisa tertawa dan menunjukkan ekspresi itu saat bersama Mark. Itu membuatku terluka.'
***
Bab 1 Prolog
21/11/2022