Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KEMBALINYA RATU MAFIA

KEMBALINYA RATU MAFIA

Rora Aurora

5.0
Komentar
42.2K
Penayangan
80
Bab

Novel ini sekuel dari novel sebelumnya: ISTRI BERCADARKU MANTAN MAFIA. Yang belum baca, cuz ke list novel ya💖 Sebelum wafat, Aderald Ibrahim mengalihkan semua harta yang dikelolanya pada anak majikannya, Diandra Safaluna. Ternyata ketiga anaknya tak menerima keputusan tersebut. Mereka nekad untuk menyingkirkan Luna yang merupakan menantu keluarga itu. Takdir Tuhan berkata lain. Luna diselamatkan oleh wanita yang selama ini menjadi musuhnya dalam dunia mafia. Dia kembali dengan menyamar sebagai ART suaminya yang bernama Diana. Rasa cintanya pada suaminya hanya bisa ia rasa tanpa bisa ia ungkapkan. Bisakah Sayudha mengenali samaran istrinya? Akankah Luna berhasil kembali merebut hartanya dan membalas dendam?

Bab 1 FIRASAT

"Aku tak terima semua ini berakhir, Mbak!"

"Tapi memang begitu, Demian. Wanita itu mengambil alih semua warisan orang tuanya. Lebih tepatnya, ayah yang memindahkan hak kepemilikan padanya. Mau bilang apa, semua sudah menjadi bubur. Masih untung aku diberikan rumah reot ini," keluh Ratih memijit pelipisnya.

Carla bangkit dari sofa premium jebolan toko ternama di supermall.

"Ayah yang membesarkan semua bisnis itu, Mbak! Kok ujug-ujug jadi gini sih?!"

Tas brandednya diletakkan kasar oleh wanita paruh baya itu.

"Terus aku harus gimana? Kamu tak mengenal wanita itu. Dia bukan wanita biasa. Sampai sekarang aku masih trauma. Bagiku, dia bukan menantuku!"

Demian mondar-mandir sembari meremas pelan dagunya.

"Bagaimana kita bisa kehilangan suntikan dana dari keuntungan bisnis ayah dengan begitu saja?! Ini tidak bisa! Aku tak bisa hidup tanpa berjudi dan pesta!" garang laki-laki parlente itu.

"Apalagi aku, Mas! Bisa disisihkan aku dari geng sosialitaku kalau sampai aku tak mengganti tasku dengan keluaran terbaru setiap meet up!"

Ratih manatap tajam pada kedua adiknya.

"Diam! Aku tambah pusing kalian di sini! Kalian tak tahu, seberapa liarnya wanita itu sebenarnya. Aku tak tahu, ternyata sebenarnya adalah mafia kelas kakap. Lihat saja, tangan Nindi! Sampai tak bisa lurus sempurna karena dihajar. Menantu tak tahu diri!"

"Suruh Sayudha menceraikan dia, Mbak!"

"Ciiih ... dia sudah terkurung di ketiak istrinya. Makin benci aku, Carla! Aaarghh! Aku tak betah di sini. Uang bulananku benar-benar dipangkas habis oleh mereka. Bagaimana aku bisa cukup dengan 50 juta perbulan?!"

Demian menarik tangan kakaknya. Matanya menyala. Nafasnya tak beraturan.

"Kita singkirkan wanita itu, Mbak. Dia tak boleh menguasai bisnis dan aset yang telah ayah kelola sepanjang hidupnya."

Carla berbinar seperti bersemangat sekali.

"Aku setuju, Mbak. Kita buat dia menghilang dari permukaan bumi ini. Selamanya!" seringai Carla sehingga terlihat gigi taringnya.

Ratih mengusap wajahnya yang tampak kusut. Sejak dia tak lagi menjadi Nyonya Besar di rumah istana, wanita itu menjadi sangat tak terurus. Ambisinya untuk kembali merebut harta yang ia klaim milik ayahnya membuat jantungnya selalu berdegub kencang dan tidurnya tak pernah nyenyak.

"Bagaimana caranya? Aku pernah mencobanya dan gagal. Sampai sekarang aku sangat trauma meskipun dia bersikap wajar padaku. Kamu tak tahu, wanita itu psikopat berkedok hijab! Aku merasa tak punya harga diri di hadapannya."

"Jangan menyerah, Mbak. Pasti ada jalan. Kita pikirkan caranya. Bagaimanapun, kita harus kembali merebut yang menjadi milik kita! Meskipun yaaa ... ayah mengaku bekerja dan digaji Nyonya Zanna dan Tuan Luis, tapi kan mereka sudah jadi tulang belulang. Semua aset dan bisnis itu harus menjadi milik kita lagi walaupun harus menyingkirkan anak mereka selamanya," desis Carla di telinga Ratih. Sorot mata kedua wanita itu menunjukkan ambisi yang sangat kuat.

Ketiga anak Aderald itu seperti berpikir keras. Suara detik jam di dinding menjadi musik pengiring ketika ketiga manusia itu mendiskusikan sebuah rencana. Rencana yang menakutkan untuk dibayangkan, mengerikan untuk dilakukan.

POV 1 (YUDHA)

Sore ini sangat menyegarkan, menyesap teh hangat buatan istri jelitaku sembari menatap langit sore. Tampak burung-burung kecil sedang membentuk tranformasi beraneka macam. Aku menggenggam tangan Luna.

"Dek, kamu kok agak pucat ya?" tanyaku menatapnya yang lesu.

"Iya Mas, mungkin karena belum datang bulan sudah telat 2 minggu jadinya badmood," jawab Luna santai.

Sedetik kemudian, kami seketika saling pandang seperti menyadari sesuatu. Aku langsung meremas tangan Luna.

"Jangan-jangan?!" seruku berbinar.

Luna tersenyum.

"Bisa jadi," lirihnya.

"Ayo kita ke dokter sekarang, Dek!" ajakku antusias.

"Besok pagi ajalah, Mas. Aku benar-benar tak mood. Entahlah. Rasanya dadaku penuh. Seperti sebuah firasat akan terjadi sesuatu yang besar," ucap Luna dengan suara yang begitu pelan. Aku mengusap kepalanya.

"Kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Kalau begitu, gimana kalau aku pergi beliin tespack?" tawarku.

Luna mengernyitkan dahi. Aku jadi kikuk.

"Kenapa? Tatapanmu itu, Dek! Bikin aku takut ish!"

"Naaah lo kamu Mas?! Tau tespack kamu, ya. Jago ya," sindirnya dengan mata genit.

Aku mengusap wajahnya kasar. Istriku ini menggemaskan.

"Aku beliin sekarang yah!" seruku bersemangat.

Luna menggeleng. Dia merenggangkan kedua tangannya.

"Kenapa sih? Biasanya kamu gak suka tunda-tunda," ucapku memeluknya.

"Entahlah. Aku hanya tak ingin berpisah darimu, Mas, " bisiknya pelan, menyandar di dadaku.

"Ya sudah, besok kita ke dokter ya sayang," ujarku pelan. Wanitaku mengangguk.

"Semoga kita diamanahi anak. Kalau perempuan pasti secantik kamu, kalau laki-laki pasti setampan aku, tak mungkin seperti babon," godaku yang disambut sebuah cubitan di pinggangku. Aku tersenyum lebar.

Keesokan harinya, aku pulang lebih awal. Luna sudah bersiap-siap. Saat kami akan berangkat, tampak mobil ibuku memasuki area parkir.

"Buat apa ya, Mama datang siang-siang begini?" tanyaku mematikan mesin mobil.

Aku lalu turun dan meminta Luna menunggu.

"Mau kemana Dha? Kamu gak ngantor?"

"Pulang cepat, Ma. Mau ke dokter kandungan. Luna sudah telat 2 minggu," ujarku menyalim tangan ibuku.

"Maaf ya, Ma. Luna tetap di mobil soalnya kondisinya lagi kurang fit," lanjutku dengan santun. Meskipun aku belum sepenuhnya memaafkan ibuku atas apa yang telah dia lakukan pada istriku, aku berkewajiban tetap baik padanya.

"Kebetulan dong! Mama juga mau ke RS mau medical cek up. Mama sama Nindi temanin kalian ya, Dha. Biar sekalian. Mama harap, Luna benar-benar hamil, jadi Mama bisa cepat dapat cucu," ujar ibuku dengan senyum merekah di mulutnya.

Aku mengangguk cepat. Tiba-tiba ponselku berdering.

"Serius Kom? Ada yang akan investasi sebesar itu? Oke. Oke. Aku segera datang!"

Hatiku menyeruak senang.

"Ma, sepertinya aku belum bisa ke rumah sakit sekarang soalnya ada investor kuat yang mau nanam modal. Aku tak ingin buat dia menunggu."

Ibuku tersenyum.

"Mama doain kamu makin sukses, Dha! Gak usah khawatir, biar Luna sama Mama perginya. Kamu fokus aja sama urusan kantor!"

Aku mengangguk. Terlihat Luna juga mengangguk di balik cadarnya. Kuantarkan istriku ke mobil ibuku.

"Nanti kalau lama dan aku dah kelar meeting sama investor, aku jemput ya sayang," ucapku.

Luna mencium tanganku. Dia duduk di samping Nindi yang menyetir. Adikku itu tersenyum. Aku lega dan percaya, rasa sakit karena peristiwa kemarin akan hilang oleh waktu. Aku percaya, ibu dan adikku sudah berubah.

Kulambaikan tanganku pada mobil yang meninggalkan halaman rumahku. Semoga nanti, mereka memberi kabar baik bahwa aku akan segera menjadi ayah.

Gruduuuuk!!!

Aku kaget. Seperti suara benda jatuh berkali-kali. Tapi suaranya dari belakang. Kucoba berlari ke belakang, mungkin Babon sedang makan ayamnya.

"Astagfirullah!" pekikku.

King kobra itu menggeliat-geliat seperti ingin menjebol kandang besinya. Tubuh besar mengkilap naik lalu turun dengan begitu cepat, melesat, mencari celah.

"Babon! Kenapa? Kamu yang tenang dong. Kan sudah tadi pagi dikasih makan! Biasanya kamu juga puasa seminggu. Aku ke kantor dulu. Buru-buru ini. Jangan nakal oke!"

Aku hanya mengelus kulit tubuhnya dari luar kandang. Ular itu menempel, gelisah seperti ingin keluar. Ia mendesis, berdiri membentuk payung. Tatapannya persis ketika saat pertarungan itu.

"Ada apa Babon? " lirihku pelan. Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang. Ya Allah, apa yang akan terjadi? Jangan lagi ...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rora Aurora

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku