Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Si Gadis Tiga Milyar

Si Gadis Tiga Milyar

Winter_

5.0
Komentar
111
Penayangan
1
Bab

Giselle menjadi bahan taruhan dari tiga pemuda yang menjadi incaran para wanita. Pertama, ada Gavin Yuda Adhitama, si buaya darat dengan otak jenius di atas rata-rata. Pemuda itu terkenal dengan kedipan matanya yang bisa meluluhkan hati wanita manapun. Selanjutnya ada Malik Abraham, teman sekelas Giselle. Penerus satu-satunya dari Perusahaan Abraham Tech. Malik juga sudah setengah resmi menjadi calon CEO dari perusahaan keluarganya itu. Terakhir, ada Deon Ravindara, seorang CEO dingin dari R Company. Tidak pernah mengencani siapapun. Dia terobsesi dengan Novel Fantasi. Mempertaruhkan uang sebesar Tiga Milyar, ke-tiga pemuda itu mencoba mencuri secuil perhatian dari si pemilik hati sedingin kutub selatan. Apakah mereka bisa mencairkan hati sedingin es milik Giselle? Lalu kepada siapakah hati Giselle akan berlabuh? Ikuti terus perjalanan cinta Giselle dalam cerita "Si Gadis Tiga Milyar", eksklusif hanya di Bakisah.

Bab 1 TARUHAN SENILAI SERATUS JUTA

"Apa kau yang bernama Giselle?"

Gadis bermanik abu yang tengah membaca buku itu mengangkat kepala, balas menatap pemuda yang berdiri di depannya. Wajahnya sedikit asing. Apalagi ia mengenakan setelan jas formal. Hal yang tak lazim teman-teman kampus-nya kenakan.

"Apa kau yang bernama Giselle?"Dia mengulangi pertanyaan.

Gadis itu menggeleng.

Seolah tak percaya, pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. "Kau yakin?"

"Bisakah kau menyingkir dari hadapanku?"

Eh?

Gadis itu berdecak sebal. "Kau membuatku risih."

Demi apapun! Belum pernah ada seorang gadis yang berkata seperti itu pada seorang Gavin. Gavin Yuda Adhitama, seorang jenius yang bahkan bisa menjual ribuan produk olahraga se-harga ratusan juta dalam kurun waktu dua minggu.

Jika melupakan bagian prestasi dan kejeniusan pemuda itu, wajah tampan dengan tubuh tinggi yang sempurna lebih dari cukup untuk menggaet wanita manapun yang ia mau. Tapi, gadis di depannya itu sungguh membuat Gavin menghela nafas tak percaya.

Dia jelas berbeda. Jelas ada yang salah pada pengelihatan gadis itu. Pantas saja Malik mau mempertaruhkan uang dengan nominal yang cukup fantastis.

**

Satu hari yang lalu.

Malam kian larut. Namun, tempat itu justru semakin ramai dijejali oleh para manusia yang ingin melepas lelah dengan menenggak minuman beralkohol.

Salah satu dari mereka adalah Gavin. Pemuda itu sudah dua jam duduk di sana. Dia baru saja menghabiskan lima botol vodka sendirian. Kemejanya kusut. Rambutnya berantakan. Pikirannya kacau.

Gavin adalah seorang manajer pemasaran yang andal. Dia bisa menyusun strategi marketing yang apik dan selalu berhasil dalam meningkatkan penjualan hingga memperoleh keuntungan lebih dari dua ratus persen. Berkat kepiawaiannya, pemuda itu berhasil memperoleh kemewahan di usianya yang baru menginjak dua puluh empat tahun.

Apes. Hampir bisa dibilang begitu.

Karena tak sengaja bersenggolan dengan seorang anak dari salah satu Presdir perusahaan ternama, Gavin dengan mudah dan tanpa alasan yang jelas dikeluarkan dari perusahaan. Semua rekan kerjanya tahu akan ketidak-adilan yang Gavin alami, tapi bahkan tidak ada satupun yang berani dan beniat untuk membelanya. Mereka jelas memilih hidup aman dan damai tanpa mau berurusan dengan para anak orang kaya di luaran sana.

"Kau dipecat?" Seruan itu datang dari pemuda yang kini berjalan ke arah Gavin. Dia adalah teman masa kecil pemuda itu.

"Sepertinya beritanya memang cepat menyebar." Gavin tersenyum kecut. "Kau mau membantuku, kan, temanku?"

Malik mendengus. Dia duduk di depan seseorang yang baru saja menghubunginya setelah lima tahun menghilang tanpa kabar. Dan dengan entengnya dia meminta bantuan?

"Kau pernah lihat aku membantu seseorang?"

Malik mengangkat tangan. Memberikan kode kepada pelayan untuk memberikan gelas dan minuman untuknya.

"Lagian, apa untungnya aku membantumu?" Malik meletakan ke-dua tangannya di atas meja. "Apa yang akan kau berikan padaku sebagai imbalannya?"

Di tengah sisa-sisa kesadaran yang Gavin miliki, pemuda itu mengangkat kepalanya. Mata abu-nya menatap dengan sorot putus asa dan keteguhan secara bersamaan.

"Aku... akan melakukan apapun." Suara itu terdengar serak. Namun, Malik bisa menangkap dengan jelas nada keyakinan pemuda di depannya itu.

Malik menunduk. Mengusap hidungnya. Dia tidak terlalu suka membantu orang. Ralat. Dia bahkan tidak pernah membantu orang lain apalagi disaat orang yang ia bantu tidak memberikan keuntungan apapun untuknya.

Dering notifikasi masuk terdengar. Ada sebuah pesan baru dari grup kelas.

Giselle:

Penilaian untuk MK Public Speaking akan diambil besok. Semua orang tanpa terkecuali diwajibkan mengikuti kelas besok pagi.

Malik mendengus. Itu adalah pesan dari kosma kelas. Gadis itu selalu saja cerewet pada hal remeh temeh seperti itu. Dia juga menyebalkan, tidak mau berbaur, dan sama sekali tidak bisa diintimidasi oleh anak orang kaya seperti dirinya.

Malik mengangkat wajah, kembali menatap teman masa kecilnya yang kini sudah kehilangan kesadaran. Sebesit ide gila melintas.

"Bagaimana kalau kita taruhan?" Ajak Malik.

"Taruhan?" Beo Gavin, masih dalam keadaan kepala yang terkulai di atas meja.

"Bila kau bisa menjadikan Giselle kekasihmu, aku akan membantumu, kawan."

Demi mendengar kata "bantu" yang keluar dari mulut Malik, Gavin segera mengangkat kepalanya. Memastikan dengan matanya sendiri kalau ucapan Malik bukan hanya sekedar gurauan.

"Aku bahkan akan memberikanmu seratus juta bila kau bisa menjadikan Giselle kekasihmu kurang dari satu bulan." Malik kembali berujar sembari meluruskan kaki.

"Aku harap kau tidak bercanda, Malik." Gavin menatap Malik penuh selidik. "Semua orang jelas tahu kalau seorang Gavin bisa mendapatkan gadis manapun yang ia inginkan hanya dengan satu kedipan mata."

Malik terkekeh.

"Kalau begitu kau bisa segera mendapat uang seratus juta itu dengan cepat. Kau juga bisa segera mendapatkan bantuan yang kau inginkan secara cuma-cuma."

Seorang pelayan meletakan botol minuman dan satu gelas kosong di depan Malik. Sebelum pergi, pelayan tersebut menuangkan anggur ke dalam gelas.

"Dimana aku bisa menemui gadis itu?"

"Sepertinya kau terlalu terburu-buru." Malik mengambil gelas. Mulutnya menghabiskan minuman beralkohol tinggi itu dalam satu-dua tegukan. "Kau pikir aku akan memberikanmu tantangan yang mudah?"

Kini giliran Gavin yang mendengus. Dia memasang wajah penuh percaya diri.

"Sulit bagimu, tapi akan mudah jika itu ditanganku."

Malik mengulas senyum samar. Gavin jelas belum mengenal sosok dingin Giselle. Dia jelas belum pernah merasakan aura masa bodoh gadis itu saat menghadapi orang-orang yang menurutnya tidak penting. Dengan catatan, Giselle bahkan hampir menganggap kalau semua orang itu tidak penting tanpa terkecuali.

"Dia satu kelas denganku. Kau tinggal menyebutkan namanya pada salah satu Mahasiswa di sana. Mereka akan langsung memberitahumu."

Gavin bangun dari duduknya. Tangannya menyangga pada ujung meja saat tubuhnya kehilangan kendali dan hampir jatuh.

"Aku akan segera menjadikannya kekasih kurang dari satu minggu. Jadi, kau bisa menyiapkan uang yang kau janjikan itu dengan segera."

Setelah mengucapkan itu, Davin berjalan meninggalkan Malik. Membiarkan Malik menatap punggungnya yang hilang di telan kerumunan pengunjung yang lain.

"Entah dia bodoh atau apa, sepertinya dia lupa kalau kepercayaan yang terlalu tinggi itu selalu membawa bencana."

Malik menuangkan kembali anggur ke dalam gelas. Kali ini, dia meminumnya secara perlahan. Menikmati rasa pahit di lidah dan rasa panas pada sekujur tubuh. Sensasi yang selalu bisa menenangkan segala kesedihan.

"Aku menantikan permainan kalian berdua, Giselle dan Gavin."

Malik akan menjadi penonton dalam permainan ini. Entah siapapun yang menang, dia jelas tidak peduli. Baginya, itu hanyalah hiburan untuk mengisi rasa jenuh.

"Drama kali ini jelas akan lebih menarik dibanding siaran film di tv-tv."

Malik menatap lurus. Seulas senyum terukir samar di bibir merah pemuda itu. Senyum penuh arti.

"Giselle, aku harap harga diri yang kau junjung tinggi itu .... hancur."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Winter_

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku