Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tiga Puluh Nasi Bungkus

Tiga Puluh Nasi Bungkus

Tuti

5.0
Komentar
2.4K
Penayangan
20
Bab

"Dek, ini uang." Mas Edi memberikan sejumlah uang padaku ketika selesai makan malam. "Banyak sekali, Mas?" tanyaku dengan kedua bola mata yang membulat. "Itulah rezeki yang Allah beri untuk kita hari ini," jawab Mas Edi. Mas Edi selalu saja pulang membawa banyak uang. padahal pekerjaannya hanya sebagai ojek online. Aku tidak percaya pada Mas Edi jika uang dengan nilai satu juta rupiah per hari itu didapatkan Mas Edi dari hasil mengojek online. Mas Edi juga selalu meminta padaku untuk membuatkan tiga puluh bungkus nasi dengan lauk yang sama dengan menu makan kami sehari-hari. Apa sebenarnya yang terjadi pada Mas Edi?

Bab 1 Curiga

"Hari ini masak apa, Dek?" tanya Mas Edi ketika pulang kerja.

"Masak sayur sop," jawabku.

Baru saja pintu utama rumah aku buka ketika Mas Edi pulang kerja dan belum pula aku mencium punggung tangan kanannya, eh, malah Mas Edi sudah mempertanyakan tentang menu makan malam.

Dengan cepat Mas Edi melangkah ke dalam rumah lalu duduk di ruang tengah rumah. Aku segera mencium punggung tangan kanannya lalu dengan segera pula kulepaskan jaket yang membalut tubuhnya. "Mandi dulu, Mas. Baru nanti kita makan bersama," ucapku.

"Anak-anak mana, Dek?" tanya Mas Edi.

"Mereka lagi menonton televisi, Mas," jawabku.

Aku segera berjalan ke dapur, aku mempersiapkan menu makan malam pada atas meja makan dengan menaruh jaket kotor Mas Edi ke keranjang khusus pakaian kotor agar besok bisa aku cuci.

Sementara itu, Mas Edi telah membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi. Anak-anak masih asyik menonton televisi.

______________

"Wah, masakan Ibu enak sekali," puji anak sulungku. Delia.

"Iya, masakan Ibu enak sekali," sahut si bungsu. Nurmi.

"Masakan Ibu kalian ini selalu enak," puji Mas Edi pula padaku.

Aku hanya tersenyum lebar.

"Lagi?" tanyaku sembari mengambilkan sepotong ayam di dalam kuah sayur sop untuk Mas Edi.

"Tidak usah karena perutku sudah kenyang," jawab Mas Edi sembari menghirup segelas kopi hangat buatanku tadi.

Setelah selesai makan malam, Delia dam Nurmi masuk ke kamar mereka masing-masing. Aku menyuruh mereka untuk segera tidur agar besok tidak kesiangan jika berangkat ke sekolah.

"Dek, ini uang." Mas Edi memberikan sejumlah uang padaku ketika selesai makan malam.

"Banyak sekali, Mas?" tanyaku dengan kedua bola mata yang membulat.

"Itulah rezeki yang Allah beri untuk kita hari ini," jawab Mas Edi.

Aku bersyukur karena selama beberapa minggu ini, Mas Edi selalu membawa uang banyak ke rumah. Namun, aku juga sangat heran rasanya pada Mas Edi. Tidak mungkin jika uang yang diberi oleh Mas Edi itu padaku adalah uang dari hasil ojol alias ojek online.

Satu juta rupiah per harinya. Penghasilan yang fantastis menurutku. Penghasilan segitu jika dijumlah selama satu bulan penuh mencapai hingga tiga puluh juta. Ya, terkadang bisa pula kurang atau bisa pula lebih. Enggak menentu, sih. Hasil segitu sudah bersih. Berarti sudah dipakai Mas Edi untuk membeli bensin dan rokok. Bahkan, sudah dipakai juga oleh Mas Edi untuk minum di warung Mbak Mila. Perawan tua yang punya warung di pojokkan gang ini. Bukan hanya Mas Edi saja yang sering minum di warung Mbak Mila, tetapi juga banyak kok sopir pick up, sopir truk, sopir angkot, dan ojek online yang mampir di warung Mbak Mila.

Mas Edi selalu pulang pada malam hari. Jika berangkat kerja Mas Edi selalu pagi sekali. Setelah Azan subuh Mas Edi sudah keluar rumah dan pulangnya selalu pada malam hari. Selambat-lambatnya pada jam sebelas malam.

Selama beberapa minggu ini aku tidak pernah mempertanyakan tentang penghasilan dari Mas Edi. Aku berpikir jika semua uang yang Mas Edi beri adalah rezeki dari Allah untuk keluarga kecil kami.

"Besok mau dimasakkan apa lagi, Mas?" tanyaku.

"Terserah kamu saja. Lagi pula aku selalu menyukai setiap masakanmu karena masakan istri itu lebih lezat ketimbang masakan yang lain," jawab Mas Edi.

"Kalau masakan istri lebih enak, kenapa Mas sering nongkrong di warungnya Mbak Mila?" tanyaku. Perasaan cemburu mengelilingi pikiranku.

"Hanya minum saja di sana. Lagi pula juga banyak yang minum di sana. Bukan hanya para Bapak-Bapak saja, tetapi para Ibu-Ibu juga ada. Enggak usah cemburu seperti itu. Aku hanya milikmu seorang, Dek," jawab Mas Edi. Bujuk rayu Mas Edi membuat aku terbuai lagi.

Aku tersenyum lebar sembari memulai ucapanku lagi. "Besok aku membuat rawon saja, ya."

"Iya, tapi jangan lupa membuatkan nasi bungkus seperti biasanya," jawab Mas Edi.

"Tiga Puluh bungkus?" tanyaku dengan kedua mata yang membulat.

"Iya. Kamu tidak keberatan kan, Dek?" tanya Mas Edi.

Aku menggelengkan kepala.

Setiap hari Mas Edi selalu memintaku untuk membuat tiga puluh nasi bungkus dengan menu yang berbeda-beda. Pernah aku mencoba menanyakan tentang nasi bungkus itu, tetapi Mas Edi tidak menjawab dan tatapan matanya aneh terhadapku. Akhirnya aku tidak pernah menanyakannya lagi pada Mas Edi. Aku tidak mau jika hanya karena nasi bungkus, aku dan Mas Edi menjadi bertengkar. Apa lagi kami tinggal di rumah kontrakan yang padat akan penduduk. Tentu saja tetangga akan mendengar pertengkaran kami. Aku juga tidak mau jika anak-anakku yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu mendengar pertengkaran kami. Lebih baik aku memilih untuk diam.

Lagi pula Mas Edi selama ini selalu baik padaku dan anak-anak juga pada orang tuaku. Namun, terkadang semakin lama aku semakin penasaran saja tentang perubahan sikap Mas Edi.

"Oh, ya, satu lagi belanjakan saja uang itu sesuai dengan keinginanmu dan sisanya kamu tabung untuk membeli rumah. Jadi, kita tidak harus tinggal di rumah kontrakan yang sempit seperti ini terus," kata Mas Edi.

Aku menganggukkan kepala.

"Jika besok kamu mau masak rawon, maka nasi bungkusnya juga harus rawon. Antara nasi dan rawonnya dipisah. Sayur rawon itu dimasukkan saja ke dalam kantong plastik lalu dibuat ke dalam bungkus nasi. Apa kamu paham dengan apa yang kumaksud?" tanya Mas Edi.

Sekali lagi aku hanya bisa menganggukkan kepala.

"Jangan lupa seperti biasa, sebelum azan subuh sudah harus selesai. Jadi, sekalian aku berangkat kerja, aku bawa stiga puluh bungkus nasi itu. Jangan lupa sertakan juga setiap bungkus nasi itu dengan satu botol kecil air mineral," kata Mas Edi.

Kali ini pula, aku juga menganggukkan kepala.

"Jika kamu sudah mengerti, maka aku akan istirahat. Aku lelah."

"Aku pijatin ya, Mas?" tanyaku.

"Tidak perlu. Kamu juga pasti lelah karena seharian mengurus rumah dan anak. Namun, jangan lupa untuk mengurus dirimu sendiri juga jangan sampai kayak tetangga sebelah yang selalu mengurus rumah, suami, dan anak-anak, tetapi diri sendiri tak terurus."

"Iya," jawabku.

Jika tiga puluh bungkus nasi itu diminta oleh Mas Edi untuk aku membuatkan setiap harinya, maka setiap seminggu sekali Mas Edi juga memintaku untuk membungkus setengah gula pasir, sekotak teh celup, dan empat bungkus mie instan. Semua itu dibuat dalam tiga puluh bungkus pula.

Aku juga tidak pernah tahu semua itu akan dibawa ke mana? Diberi untuk siapa? Aku hanya diam dan menuruti semua keinginan Mas Edi.

__________

"Bu Sari sekarang banyak ya belanjanya," ucap salah satu tetanggaku yang biasa langganan sayur dengan Mang Didin.

"Iya, nih setiap hari loh," sahut Bu Retno.

"Ehm ... rezekinya lagi melimpah aja, Bu. Rezeki anak-anak," jawabku.

"Kemarin itu aku melihat Pak Edi lagi mampir di warungnya Si Mila itu dengan membawa bungkusan terus bungkusan itu diberikan sama Mbak Mila. Perawan tua di ujung gang ini loh, Bu," ucap Bu Retno.

"Masa sih Pak Edi seperti itu? Padahal Pak Edi itu kan tipe suami idaman, loh. Pak Edi pekerja keras, sayang istri, sayang anak, dan tidak banyak bicara," sahut Bu Naila.

"Benar, Bu. Waktu itu kan hari minggu, aku ditemani oleh suamiku lari pagi biar segar jika pada pagi hari olahraga. Nah, kemudian mataku itu enggak sengaja melihat Pak Edi mampir ke warungnya Mbak Mila. Sekitar jam enam pagi."

"Jam segitu warung Mbak Mila baru buka, Bu," sahut Bu Naila.

Aku hanya diam saja disertai dengan mengerutkan kening.

"Ah, sudah. Membicarakan orang saja. Mana sayurnya biar aku total harganya," ucap Mang Didin dengan segera meraih kalkulatornya.

Setelah belanjaanku dihitung jumlahnya oleh Mang Didin, aku segera melangkah masuk ke rumah dengan pikiran yang tak karuan. Perkataan Bu Retno tadi itu sama dengan perkataan anak sulungku tempo hari. Delia.

Dulu aku memang sempat tidak mempercayainya karena mungkin saja Delia salah lihat. Namun, kini ucapan Bu Retno seolah telah meyakinkanku. Coba aku tanyakan lagi kebenarannya pada Delia setelah ia pulang dari sekolah nanti.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku