Dialah Archiles Germaino Putra. Tuan muda yang menghabiskan malam bersama seorang Nona Housemaid. Putra satu-satunya Germain Santano Van Rough, pemilik perusahaan ritel terbesar dan terpopuler saat ini. Sebuah kesalahan yang Nona kira, justru adalah sebuah kebahagiaan bagi Archiles. Lantaran sang Tuan muda memang sudah sejak lama mencintai pembantu cantik yang ia panggil dengan sebutan Nona itu. Namun saat semuanya berjalan sesuai rencana dan harapan Archiles, tetiba saja sebuah kenyataan hadir di hadapannya. Bersamaan dengan berita kehamilan Nona, ia justru dihadapkan dengan sebuah kenyataan. Lantas apakah malam panas yang ia lakukan dengan Nona saat itu akan terus membuahkan kebahagiaan? Ataukah justru malapetaka? Cinta beda kasta yang klise dapatkah mendiskriminasi kekuatan cinta Nona dan sang tuan Muda?
Semilir angin berembus melalui kaca jendela setinggi dua meter yang terbuka. Dari lantai 7 apartemen, gorden abu tua berkibar sesekali saat hembusannya menerpa cukup kuat. Temaram penerangan lampu duduk kalah terang oleh sorot rembulan yang menyorot tepat ke arah karpet beludru kamar itu. Sebagian cahaya bulan yang menyorot meja kaca, memantul tepat ke wajah tampan seorang pemuda berusia awal 20an.
Dialah Archiles Germaino Putra. Pewaris tunggal pemilik perusahaan jasa pelayanan dan makanan cepat saji AG Foods. Salah satu perusahaan retail terbesar dan terpopuler di Indonesia abad ini. Kekayaan yang jelas melimpah, bahkan tak akan habis seandainya dipakai hingga tujuh turunan sekali pun. Jelas tak ada sesuatu hal pun yang tak bisa ia beli dengan uangnya yang terus mengalir dari setiap penjuru.
Lantas apa yang membuat pemuda kaya itu renungkan hingga ia melipat dahi dengan serius? Yang pasti ia tengah membingungkan sesuatu yang tak bisa ia beli dengan kekayaannya. Menghela nafas lemah, ia lantas bangkit dari duduk nyamannya. Menepis segala kegundahan hati, Archiles pun menggeser duduknya lalu menuangkan wine putih ke gelas berlian antik digenggamannya.
Setelah beberapa kali meneguk cairan bening candu itu, Archiles beralih ke sebatang rokok yang lalu ia bakar dan sesap begitu saja. Dihisapnya dalam-dalam, lantas ia hembuskan dengan nyaman. Hingga asap rokok itu mengepul berwarna putih seperti awan. Perlahan matanya terpejam, kegundahan hatinya pun ikut memudar bersamaan dengan asap yang juga perlahan sirna berpendar di udara.
Suhu udara malam itu, sebenarnya cukup membuat para insan menggigil kedinginan. Bahkan para pembantu di kediaman Archiles pun sudah meringkuk di balik selimut masing-masing. Namun tidak dengan Archiles, ia terlihat menikmati suasana malam itu. Terlebih alkohol cukup membuat tubuhya terhangatkan.
Dalam keheningan, hanya suara detak jam yang terdengar. Archiles pun terlihat mengantuk hingga tanpa sadar ia menyandar ke pegangan sofa. Namun sebuah suara membuatnya terjaga kembali. Suara yang lembut dan menenangkan.
"Tuan, tuan muda mengantuk?" tanya sebuah suara.
Sontak Archiles terperanjat lalu mengerjakan matanya beberapa kali.
"Eh? Kau?" Archiles kembali mengerjakan matanya seolah tak percaya saat mendapati seorang wanita muda berdiri di hadapannya.
Terlihat wanita muda itu melempar senyum pada Archiles. Melihat hal itu, Archiles membenarkan duduknya lalu beringsut mundur.
"Sejak kapan Nona ada di sini? Saya kira saya sedang bermimpi," racau Archiles sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Hihi. Tidak tuan. Tuan muda tidak sedang bermimpi.
Saya baru saja tiba. Tadinya mau membersihkan kamar ini tapi tuan muda tertidur di sini. Sepertinya lelah sekali," ucap wanita muda yang dipanggil Nona oleh Archiles itu.
"Oh, sepertinya ruangan ini sudah cukup rapi," ucap Archiles sambil mengedarkan pandangannya.
Memang sangat rapi. Selain botol wine, asbak, dan beberapa puntung rokok di atasnya, tidak ada hak yang perlu dibersihkan di sana.
"Hm ... Sepertinya benar juga. Sebaiknya saya kembali besok pagi saja kalo begitu," ucap Nona sambil hendak beranjak dari ruangan itu.
Namun tanpa diduga Archiles mencekal lengannya hingga Nona tertarik mendekat ke arahnya.
"Ah, maaf Nona. Apa kau ada waktu?" tanya Archiles sambil memalingkan wajah saat netra mereka bertemu tatap.
Terlihat Nona ikut salah tingkah berada sangat dekat dengan Archiles.
"Emh ... Ya?" tanya Nona kikuk. Disertai rona merah dikedua pipinya, membuat Archiles gemas melihatnya.
"Apakah Nona mau menemaniku minum sebentar?" tanya Archiles memberanikan diri.
"Ya? Apakah tuan muda serius?" tanya Nona ragu.
"Saya hanya seorang pembantu. Apakah boleh menemani tuannya seperti ini?" tanya Nona lagi dengan nada rendah.
Archiles mengangkat dagu pembantunya itu lantas menautkan alisnya.
"Apa masalahnya dengan itu? Duduklah. Temani aku minum," ajak Archiles sambil menepuk-nepuk dudukan sofa di sampingnya.
Meski malu dan ragu-ragu, Nona pun akhirnya dengan sukarela duduk di samping Archiles.
"Biar saya tuangkan winenya tuan muda," tawar Nona.
"Ah, iya Nona. Terimakasih," ucap Archiles dengan senyuman merekah di dua sudut bibirnya.
"Maaf tuan muda, kenapa tuan selalu memanggilku Nona?"
"Karna kau memanggilku Tuan, memangnya kenapa lagi?" tanya balik Archiles membuat Nona tertawa renyah.
"Hahaha, saya memanggil tuan karna anda memang majikan saya. Saya merasa tidak enak dipanggil dengan sebutan itu sementara saya hanya seorang pembantu," ucap Nona.
"Selalu seperti itu. Memangnya apa bedanya? Kau dan aku sama-sama manusia. Seperti yang pernah kau bilang kan?
Lagipula apa kau tak suka sebutan Nona?" tanya Archiles dengan seringaian saat ia menatap Nona dengan tatapan sulit diartikan.
Nona segera menggeleng, lalu mengangguk, "saya suka," jawab Nona antusias.
"Kalo begitu aku akan terus memanggilmu Nona. Tapi ... Jangan panggil aku tuan," tuntut Archiles.
"Lah? Kok curang," protes Nona sembari meneguk wine digelas miliknya.
"Panggil namaku," pinta Archiles.
"Ayo, sebut namaku, kumohon," tuntut Archiles.
Terlihat Nona menatap dalam-dalam wajah Archiles yang memelas di hadapannya. Nona tersenyum lalu menunduk malu. Diam-diam ia membisikkan nama ... "Archiles," bisiknya hampir tak terdengar.
Mendengar hal itu Archiles tersenyum penuh kemenangan.
"Katakan sekali lagi Nona, katakan dengan jelas. Aku ingin mendengarnya."
"Archiles, tuan Archiles," ucap Nona dengan jelas.
"Tidak-tidak, jangan pakai tuan," protes Archiles.
"Kenapa? Kau sendiri tetap memanggilku Nona?" tanya Nona.
"Nona adalah panggilan sayangku padamu, eh? Hehe kau juga tahu itu kan?" kekeh Archiles sambil menutup mulutnya.
Tanpa diduga Nona mengangguk dengan senyuman.
"Ya, aku tahu itu Archiles," ucap Nona.
Melihat Nona mengangguk paham, Archiles menyeka basah wine di bibir bawah Nona dengan ibu jarinya. Membuat Nona terperanjat, lantas ia membulatkan netra setelah mengerjapkannya beberapa kali.
"Kenapa begitu kaget? Hanya ada kita berdua di sini. Ruang ini, khusus untuk Nona. Ruang Nona, dan aku," bisik Archiles sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nona.
Nona seketika terpejam saat Archiles mendekat ke arahnya. Membuat Archiles merasa bahwa ia sudah mendapatkan izin untuk melakukan hal selanjutnya. Perlahan tapi pasti. Setelah jemarinya mengunci wajah mungil Nona dihadapannya, ia pun ikut memejamkan kedua kelopak netranya. Menelan Saliva, lantas ia mulai mendaratkan bantalan bibirnya di atas bibir Nona. Cukup intens, cukup mesra. Saling memagut, mendecap, mencecap, mereka terbuai terlena. Seolah dunia hanya milik berdua, bahkan Archiles mengabaikan gorden abu tua yang terus berkibar diterpa angin malam akibat jendela yang terbuka lebar. Bahkan ia tak perduli seandainya satelit merekam kegiatannya dari atas sana. Atau mungkin tetiba saja drone milik seseorang melintas melewatinya lalu merekam kegiatannya. Ia tak peduli.
'Meski ini hanya mimpi, aku harap aku tak terbangun hingga semuanya tuntas,' batin Archiles disela kegiatannya.
*
Hangat mentari pagi menyelusup ke sela gorden abu tua. Angin sejuk ikut menggelitik leher jenjang Nona yang terekspos begitu saja.
"Ngh ...." Nona mengerang saat merasakan sesuatu melingkar diperutnya.
Lantas ia membuka kedua matanya. Terlihat dengan jelas manik mata belo coklat miliknya diantara bingkai mata mendaun yang indah dihiasi bulu mata panjang lentiknya.
"Sudah bangun?" tanya Archiles dengan suara parahnya khas bangun tidur.
Sontak Nona terperanjat lalu bangkit seketika.
"Awch!" ringisnya sembari memegangi area intimnya.
Archiles terkekeh lalu ikut bangkit.
"Hey, pelan-pelan saja. Apa kau tak ingat seberapa giatnya kau semalam? Haha kukira kau hanya pandai mencuci dan beres-beres saja," kekeh Archiles.
Nona tersipu malu, lantas ia menarik selimut putih saat menyadari dirinya tak mengenakan sehelai benang pun.
"Ap-apa apa yang terjadi?" gagap Nona membuat Archiles semakin terkekeh gemas dibuatnya.
"Kau benar-benar tak ingat?" tanya Archiles lagi.
"Ah ... Bagaimana ini? Hiks ... Aku melakukan kesalahan. Bagaimana ini? Tuan besar akan menghukum ku. Bagaimana ini tuan muda! Kita melakukan kesalahan!" rengek Nona diselingi isakan.
"Hey, don't cry. Stop it please ... Aku tak melakukan ini untuk membuatmu menangis. Tenanglah oke?
Siapa yang akan marah? Tuan besar? Padamu?"
Nona mengangguk mendengar pertanyaan terakhir dari Archiles.
"Tidak. Siapa yang berani memarahi wanitaku. Kau sudah menjadi milikku sekarang. Siapa yang berani memarahimu akan kuhancurkan dia," ucap Archiles dengan serius.
Nona terdiam setelah mendengar hal itu, lalu ia menunduk malu.
"Tapi bagaimana jika tuan besar tahu?" resah Nona sembari menggenggam erat seprai putih yang membalut tubuhnya.
"Aku ... Bagaimana kedepannya? Apa aku akan dipecat? Bagaimana ini?" racaunya sendirian. Archiles terlihat ikut bingung menanggapi kekhawatiran Nona. Ia memang sering agak sulit saat menghadapi sang ayah. Terlihat dari bagaimana caranya berpikir keras mencari sebuah cara.
Saat suasana terasa canggung lantaran Nona masih tampak terlihat gelisah, tetiba saja terdengar suara gemuruh kecil. Nona menutup mulut menahan kekehan kecil yag baru saja lolos dari bibir mungilnya. Archiles tersipu malu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "sepertinya kegiatan semalam membuat cacing diperutmu berdemo minta makan ya?" canda Nona dengan tawa renyah khasnya.
"Jangan tertawa seperti itu. Kumohon," ucap Archiles penuh keseriusan.
"Hm? Kenapa?" tanya Nona dengan nada manja namun tetap dengan ekspresi polosnya.
"Argh! Kumohon jangan banyak bertingkah. Diamlah. Diammu saja sudah membuatku gila kau tahu? Jangan buat ekspresi seperti itu dong. Aku tak tahan. Bisa-bisa aku tak akan bangkit dari ranjang ini seharian," gerundel Archiles.
"Hahah kau ini dasar tuan muda mesum yang naif,
Baiklah-baiklah akan kubuatkan sesuatu untukmu. Ditunggu ya," ucap Nona sembari bangkit lalu beringsutturun ke tepi ranjang.
"Kau Nona naif yang sok polos berhenti disitu sekarang juga. Jangan kemanapun tanpa aku," titah Archiles sembari menarik kembali pinggang ramping Nona yang kini sudah terbungkus kemeja putih miliknya.
"Ah lepaskan aku! Pekerjaan di rumah ini tak akan selesai jika aku hanya berbaring di sini!" pekik Nona sembari mendorong dada bidang Archiles.
Nona pun beranjak ke dapur setelah beberapa saat berguling-guling bersama Archiles di atas ranjang.
"Hm ... Wangi yang selalu membuatku lapar, nasi goreng pagi hari a la Nona," gumam Archiles sembari memejamkan mata saat menghirup kepulan asap hangat yang keluar dari sepiring nasi goreng.
Tanpa banyak bicara lagi, Archiles melahapnya dengan khidmat. Sedangkan Nona menatapnya dengan senyuman di seberang meja.
"Eh? Kau tak makan? Mau kusuapi?" tanya Archiles sambil menyodorkan sesendok nasi goreng itu ke arah Nona.
"Hm, aku tak lapar. Rasanya melihatmu makan dengan lahap sangat menyenangkan," ucap Nona sambil menatap Archiles dengan senyuman.
"Ah! Ayolah ... Kau selalu seperti itu. Melihatku makan dengan senyuman itu. Itu terlihat seperti ibuku kau tahu? Aku membencinya. Jangan lakukan itu," protes Archiles sambil beralih duduk ke kursi di samping Nona.
"Hey, kubilang aku tak lapar," rengek Nona sambil terus menghindari sendokan nasi dari Archiles.
"Kenapa tak mau? Apa kau masih mengkhawatirkan soal ayahku? Itu urusan nanti. Biar aku yang urus, dia akan setuju soal pernikahan kita. Pokoknya kau jangan pikirkan apa pun, dan makan saja dulu ini," paksa Archiles sambil mendesak Nona hingga ia pun mau tak mau membuka mulutnya.
"Nah, begitu kan bagus. Apa susahnya makan? Biar sehat dan kuat seperti katamu," ujar Archiles penuh kemenangan.
"Ah ... Dasar tuan pemaksa. Baiklah-baiklah kau selalu menang," gerutu Nona dibalas kekehan Archiles.
Buku lain oleh kelly mannix
Selebihnya