Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pesona Nona Khana

Pesona Nona Khana

Nona_Lyanna

5.0
Komentar
97
Penayangan
17
Bab

Dianugerahi wajah bak Dewi dari kayangan, membuat Khana digilai banyak pria. Namun, dia menjatuhkan pilihan hatinya pada seorang lelaki yang telah beristri. Lelaki itu adalah orang nomor satu. Memiliki kekuasaan dan disegani di berbagai kalangan. Areta, istri pertama pun tak terima. Dia datang menjelma iblis yang siap menewaskan Khana. Ikutin kisahnya sampai akhir!

Bab 1 Serangan pertama

Part: 1

***

Sebuah apartemen mewah yang letaknya di pusat kota, hidup seorang wanita belia berparas paripurna. Lesung pipi di sebelah kirinya tercetak jelas saat dia menarik lekuk bibir untuk tersenyum.

Adriana Zulaikha adalah nama lengkapnya. Namun, dia lebih senang dipanggil Khana.

"Nona Khana ... seseorang tengah mencari Nona," ucap Mani, pelayan paruh baya.

"Siapa? Apa penting? Kau tahu sendiri bukan, bagi yang mau bertemu denganku harus bertujuan jelas saja," desisnya sambil memainkan rambut.

"Saya tahu, Nona. Namun, kali ini gawat! Wanita yang menunggu di luar itu mengaku sebagai istri Tuan Husein."

Wajah Mani pucat pasi ketika mengungkapkan hal itu pada sang majikan. Kedua kakinya terasa lemah membayangkan perang pertama akan dimulai.

"Bagaimana bisa? Hampir satu tahun sudah posisiku menjadi selir muda Tuan Husein, dan tak pernah sekali pun keberadaanku terekspos keluar. Lalu dari mana istri pertama suamiku bisa tahu tempat ini?" Intonasi suara Khana terdengar gemetar.

"Saya juga tidak tahu, Nona."

"Baiklah, kalau begitu aku akan menghadapnya sekarang," ujar Khana berusaha tenang.

Mani serta dua dayang penjaga Khana ikut melangkah mengawal majikannya.

Khana, ia seorang wanita muda dengan status selir dari lelaki terkaya di kotanya. Sebelas bulan dua puluh tiga hari sudah ia menyandang gelar yang menurutnya membanggakan itu. Selir muda Tuan Husein.

Khana berjalan santai dengan gerakan lemah gemulai. Sebisa mungkin ia mencoba menyembunyikan kecemasannya untuk menghadap Nyonya utama.

Selama ini dirinya tak pernah bertatap muka secara langsung, hanya melihat dari gambar saja.

"Ternyata hidupmu sangat indah wahai jalang!" cibir istri pertama Husein.

Ketiga pelayan Khana saling melempar pandangan. Ini adalah kali pertama majikan mereka direndahkan.

Setetes keringat jatuh dari kening mulus Khana. Ia masih mencoba bersikap tenang, walau gemetar di tubuhnya mulai dapat terbaca oleh Nyonya utama.

"Tarik kembali ucapan kotormu itu, Nyonya Areta!" titah Khana.

"Wow, besar juga ternyata nyalimu anak kemarin sore," cibir Areta lagi.

"Hah!" Khana mendesah dengan menunjukkan ekspresi angkuh.

Istri pertama Husein yang bernama Areta itu semakin geram dan ingin sekali melayangkan pukulan. Namun, statusnya sebagai wanita terhormat yang setiap detik sikapnya menjadi sorotan media membuat ia menahan semua api kemarahan yang memuncak dan nyaris meledak.

Areta menarik napas panjang, kemudian menatap tajam pada ketiga pelayan Khana.

"Kalian pergilah! Saya ingin bicara empat mata pada jalang ini!" titah Areta.

Mani dan kedua pelayan yang lain menoleh ke arah Khana. Ketiganya menunggu perintah sang majikan.

Khana memberi isyarat dengan anggukan kepala. Mani dan yang lain segera berlalu meninggalkan Areta berdua saja dengan selir muda Tuan Husein.

"Saya takut Nona Khana kenapa-napa," bisik Mani pelan pada dua rekannya.

"Gimana kalau kita melapor pada Tuan Husein?" Saran yang lain.

"Jangan! Kita tunggu perintah selanjutnya dari Nona Khana," seru Mani.

***

Di teras apartemen yang didesain elegan dengan hiasan lampu bewarna ungu kesukaan wanita belia simpanan pengusaha kaya raya itu, ia diintrogasi oleh wanita yang berstatuskan istri pertama.

"Adriana Zulaikha, harus saya akui mencari keberadaanmu cukup membuang waktu saya," desis Areta sembari menyeringai sinis.

Tiga puluh lima tahun usianya, tapi setitik pun belum terlihat kerutan di wajahnya. Istri pertama Husein itu juga memiliki paras yang cukup menarik. Namun, jika dibandingkan dengan Khana, tentu kecantikannya tak seberapa. Selain menggoda, Khana juga lebih unggul dalam usia.

"Hm, sejujurnya aku tak suka berbasa-basi, Nyonya Areta! Jadi lebih baik dipersingkat saja! Katakan apa tujuanmu bersusah payah mencari keberadaanku?"

Khana memang berkarakter dingin dan tertutup pada orang yang tak dekat dengannya. Hal tersebut itu pula yang membuat dirinya mendapat julukan wanita muda terangkuh.

"Lancang kau, jalang!" hardik Areta sembari mengepalkan tangan geram.

Khana menanggapi dengan menghembuskan napas manja. Pembawaannya yang tenang membuat Areta semakin gelabakan menahan amarah.

"Dengarkan baik-baik peringatan saya ini, jalang! Tinggalkan Tuan Husein atau kau akan menyesal!" Areta berkata sambil berdiri mengitari tubuh mungil Khana.

Jemari tangannya yang lentik serta kuku panjang terawat milik Areta mulai bermain di area wajah mulus Khana.

"Kau tak mengenal saya, Khana. Akan tetapi, saya bisa pastikan wajah cantikmu ini segera lenyap hingga berubah menjadi buruk rupa, jika kau tak menuruti peringatan dari saya," bisiknya tepat di telinga Khana.

Khana menahan napas sesaat. Ancaman Areta memang bukan main-main. Ia tak mau gegabah kemudian celaka.

"Kau juga tak mengenal siapa Khana, bukan?" Tangan lembut Areta ditepisnya dengan kasar.

Mata Areta membelalak menerima respon menantang dari selir suaminya itu.

Semilir angin malam itu membuat suasana semakin menegang. Areta kalap mata, ia tak mampu lagi menahan api amarah yang semula memang sudah menyala.

"Apa kau bosan hidup, jalang?" teriaknya dengan gerakan tangan cepat menarik rambut panjang Khana yang tergerai.

Wajah Khana menegadah ke atas akibat tarikan keras dari Areta. Ia meringis pelan, tapi tetap seulas senyum terukir indah di bibir yang bagian bawah sedikit terbelah itu.

Areta menatap lekat bentuk wajah wanita yang berhasil melunturkan kesetiaan suaminya.

Tersirat satu kata dalam hatinya. 'Sempurna.'

Ya, tak bisa dipungkiri paras serta tubuh Khana nyaris sempurna. Setiap mata lelaki yang memandangnya tentu akan bertekuk lutut di hadapannya.

"Hati-hati, Nyonya Areta! Sikapmu yang lembut di media ternyata bertolak belakang dengan kehidupan nyata," desis Khana.

Areta semakin naik pitam.

Bugh!

Kepala Khana ia benturkan ke meja kaca yang ada di hadapannya. Darah segar mengalir di dahi wanita muda itu.

Namun, lagi-lagi respon Khana membuat Areta semakin gelabakan.

"Kau dalam masalah kali ini, Nyonya Areta!"

Dengan santai Khana menunjuk arah cctv yang terpasang di sudut ruangan teras.

Areta mundur selangkah dan melepaskan cengkramannya pada rambut Khana. Gerakan dadanya naik turun sebab terkejut dan menjadi sangat gelisah.

Namun, otak liciknya berfungsi dengan baik kali ini. "Hah! Itu bukan perkara sulit, Khana."

Sebuah ponsel mahal ia keluarkan dari tas jinjingnya. Kemudian panggilan telepon segera dilakukannya.

"Naik!" titahnya.

Hanya satu kata, kemudian telepon genggamnya kembali ia masukan ke dalam tas.

Tak berapa lama dua lelaki berbadan kekar muncul. Khana menyipitkan mata melihat kehadiran pesuruh Areta tersebut.

Darah yang masih mengalir di dahinya membuat kedua bodyguard Areta sedikit tercengang.

"Kami harus melakukan apa, Nyonya?" tanya salah satu dari bodyguard itu.

"Hancurkan cctv itu!" perintah Areta dengan senyum penuh kebanggaan.

"Siap laksanakan, Nyonya."

Dengan sigap keduanya menaiki kursi dan segera memusnahkan benda yang bisa membawa petaka untuk Areta.

Tanpa disadari, ternyata Khana jauh lebih cerdik. Ia meraih ponsel miliknya yang tadi sempat diletakan Mani di pas bunga sudut ruangan.

Ponsel tersebut sudah merekam semua kejadian. Khana menyudahi aksi rekam di telepon miliknya itu. Kemudian ia mengirimkan hasil rekamannya pada Husein.

Setelah berhasil terkirim, barulah ia memamerkan kepintarannya.

"Sekali lagi aku katakan padamu, Nyonya Areta ... kau tak mengenal siapa Khana," desisnya lembut sambil mengusap tetasan darah yang mengenai hidung runcingnya.

"Bedebah!" cecar Areta dengan merampas paksa ponsel di tangan Khana.

Brak!

Seketika saja benda mahal milik Khana itu dihempaskan Areta hingga hancur berkeping-keping.

"Musnah," lirihnya penuh kemenangan.

Khana masih tetap tersenyum tenang, walau sesungguhnya tubuh mungil itu sudah mulai goyah. Luka di keningnya membuat ia kehilangan banyak darah.

"Ayo kita pergi dari sini!" titah Areta pada kedua bodyguardnya.

Areta memutar tubuhnya untuk meninggalkan apartemen Willy City yang mempunyai harga paling fantastis itu. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki sudah berjalan penuh wibawa ke arahnya.

"Tuan Husein," lirih Areta dengan mata membesar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Nona_Lyanna

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku