Ryu bebas menyentuh setiap bagian tubuh Momo, tapi kalau Ryu tegang sebelum Momo mendesah, berarti ia kalah. Sebaliknya, Ryu akan jadi pemenang jika berhasil membuat Momo mendesah sebelum miliknya bangun. Setiap perselisihan mereka selesaikan dengan taruhan seperti itu. Untuk bisa menang mereka harus mampu "Meringkus Gairah" saat hasrat mulai membumbung. @zii.092
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat.
"Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya.
"Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi.
"Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya.
"Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo.
"Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup.
"Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol."
"Bukan. Tadi itu bukan alasan."
"Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan.
Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan Ryu yang akan dipenuhi pengalaman erotis.
***
32 JAM YANG LALU.
Kala Ryu sedang melayani seorang gadis berambut sebahu, bertubuh kecil dengan dada besar yang bulat bak melon, manajernya tiba-tiba memanggil Ryu
"Ryu Suichi, ke sini sebentar."
Ryu berdiri, beranjak menghampiri lelaki paruh baya berkacamata.
"Ada apa, Pak?"
"Ryu, apa sungguh akan baik-baik saja membuang-buang banyak waktu untuk klien murah seperti itu."
Keduanya melirik gadis bernama Momoka Yumeno yang duduk pada kursi khusus klien di balik meja panjang. Sebagai karyawan penyedia layanan jasa, Ryu telah mengajak gadis itu berkeliling melihat tempat tinggal. Mereka kembali ke kantor mencari informasi lain sebab tak menemukan tempat cocok bagi Momo.
"Saya rasa ...."
"Yang benar saja," potong manajer Ryu. "Berapa jumlah yang berhasil kau jual untuk bulan ini?" lanjutnya bertanya sedikit menyindir.
"Maafkan saya, tapi tampaknya dia sedang kesulitan."
"Ryu, itulah sebabnya kau tak akan bisa melakukannya dengan baik. Jika kau menuruti permintaan setiap pelanggan, maka kau tidak cocok untuk pekerjaan ini. Gunakan kata-kata bijak untuk membuat pelanggan pergi juga merupakan teknik."
Pasca mendapat sedikit asupan saran dari manajernya, Ryu kembali ke kursinya duduk di hadapan Momo.
"Maaf sudah membuat Anda menunggu."
"Lama sekali," balas Momo.
Ryu hanya tersenyum sebagai bentuk penyesalan, lalu mulai melontarkan kata-kata bijaknya.
"Saya telah mencari data banyak tempat, tapi tampaknya semua itu memerlukan uang muka untuk beberapa bulan. Bagaimana kalau Anda menyerah saja," usul Ryu.
"Tidak akan! Tolong bekerjalah dengan baik," balas Momo menegaskan.
"Aku mengerti. Dalam kondisi seperti ini, apa Anda bersedia berhubungan seksual dengan pemilik rumah? Jika Anda tidak bisa, maka jangan harap Anda bisa tinggal di tempat yang Anda inginkan tanpa uang muka."
Momo terbeliak, tapi tak membantah dan hanya diam menyimak saran Ryu.
"Anda seharusnya bersyukur jika hanya diminta untuk melakukan hal itu sebagai uang muka. Tapi bila Anda masih tidak mau, aku punya kamar kosong di rumahku, apa kau mau tinggal di sana? Aku bahkan akan menurunkan harga sewanya," lanjut Ryu menawarkan, meskipun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh.
Momo tertunduk tanpa kata meremas ujung rok pendek ketat miliknya. Saat itu Ryu merasa telah menang, beranggapan klien satu itu akan pergi setelah mendengar kata-kata bijak darinya.
"Ah! Sekarang aku sudah melakukannya. Mohon maafkan sikap sombongku, jangan berkompromi lagi," batin Ryu berharap.
Namun, Ryu salah. Momo mengangkat wajah menatap tajam, menunjuk Ryu dan berteriak lantang.
"Orang ini! Dia bilang berhubungan seks denganku cuma satu-satunya cara untuk mendapatkan tempat tinggal!" seru Momo tersenyum picik.
Setiap yang ada di ruangan itu, karyawan dan juga klien serentak menatap ke arah Ryu.
"Bu ... bukan begitu," kilah Ryu gugup.
"Dia bilang aku bisa menempati kamar kosong di rumahnya asal bersedia berhubungan seks dengannya," lanjut Momo menambahkan.
"Tidak, kau salah. Itu cuma salah paham, pelanggan." Ryu mengelak sambil tersenyum meneteskan keringat dingin.
Sebelum Momo pergi tanpa permisi, ia mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi kiri Ryu sebagai hadiah perpisahan.
Ryu tinggal sendiri di rumahnya. Memang masih ada satu kamar kosong, tapi Ryu tidak pernah serius ingin menyewakan kamar itu pada siapa pun. Entah apa alasannya, tapi setiap kali Ryu pulang ke rumah, ia akan masuk ke kamar kosong itu sebelum ke kamarnya.
Keesokan harinya Ryu berangkat kerja pagi-pagi, tanpa sengaja bertemu Momo di depan stasiun. Wanita itu hanya berdiri melipat tangan, menopang dada besarnya tanpa mengatakan apa pun.
"Ha ... hai," sapa Ryu.
"Hai. Soal kejadian terakhir kali ...." Momo membalas.
Ketika gadis itu hendak membahas kejadian sebelumnya, Ryu segera menyela, "Benar juga, soal yang kemarin, ya? Mohon maafkan aku, saat itu aku hanya mendadak bergairah saja, kok."
"Soal kamar itu," lanjut Momo.
"Kamar? Seperti yang kau tahu, kamar pilihanmu sangat sulit dicari. Aku permisi dulu, ya." Ryu cengar-cengir, melambai sembari berjalan masuk ke stasiun.
Takdir yang kebetulan, atau kebetulan yang ditakdirkan, bahkan mungkin sesuatu yang disengaja. Di dalam kereta Ryu dan Momo bertemu lagi, keduanya tak mendapatkan tempat duduk dan berdiri saling berhadapan.
Sekali lagi Ryu terjebak dalam situasi canggung, dan kali ini ia tidak bisa lari lagi seperti sebelumnya. Untuk mengalihkan perhatian, Ryu memainkan ponsel, membuka aplikasi apa saja yang tidak perlu.
Ketika kereta akan berangkat, orang-orang bergegas masuk sebelum pintu kereta ditutup. Gerbong mulai sesak, orang yang berdiri di belakang Momo mendesak gadis itu hingga merapat pada tubuh Ryu.
Dada kenyal kian lembut milik Momo menabrak tubuh Ryu dan menekan untuk beberapa saat. Ryu merasakannya, tapi pura-pura tidak terjadi apa pun dan tetap menatap layar ponselnya.
Momo berusaha mendorong tubuhnya ke belakang menjauh dari Ryu. Kala itu Ryu diam-diam mencuri pandang ke arah dada Momo, di antaranya tali tas pakaian Momo yang tertarik kuat membelah keduanya semakin mempertegas bentuknya.
Saat itu Ryu baru sadar kalau pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama dengan kemarin. Tas besar berisi pakaian juga masih Momo bawa saat itu.
"Jangan-jangan ...," batin Ryu menerka-nerka.
Ryu merangkul tubuh Momo. "Ayo ke pojok sana," ajaknya.
Ryu membiarkan Momo berdiri bersandar pada dinding gerbong, berdiri di hadapan wanita itu melindunginya dari desakan kerumunan.
"Huft ... di sini sedikit lebih aman. Jadi, kau harusnya punya sesuatu untuk dikatakan, bukan?" tanya Ryu menduga.
"Sejak kejadian kemarin, aku telah pergi ke berbagai makelar lainnya. Tapi begitu para karyawan melihatku sekilas, mereka membuat wajah yang tak menyenangkan, lalu menolakku atau mengatakan tak ada kamar yang tersedia, bahkan tanpa membiarkanku untuk melihat tempatnya dulu. Buruk sekali, kan? Pada akhirnya, hanya kamu satu-satunya yang menganggapku serius. Jadi tolong, biarkan aku menyewa kamarmu," tutur Momo meminta.
"Eh ...? Tunggu dulu, sebenarnya aku tidak serius saat bilang begitu," terang Ryu.
"Tapi, kamarnya kosong, kan?"
"Iya, tapi tetap tidak bisa. Kamu kabur dari rumah, kan?"
Buku lain oleh Xii Zii
Selebihnya