Kisah ini menceritakan tentang seorang wanita yang dirusak rumah tangganya oleh seorang pelakor, kemudian ia menjadi perusak rumah tangga pelakornya itu. Kira-kira mungkin gak ya? Penasaran mau baca cerbungnya?
"Tentang penghianatan suami."
Tak ada perceraian baik-baik. Dia pasti menyisakan luka.
Nama dan tempat di samarkan sesuai permintaan nara sumber.
Mari kita ambil aja pelajarannya. Semua orang akan menuai hasil buah perbuatannya baik cepat atau pun lambat.
__
Diangkat dari kisah nyata
◻⬜ ISTRI KEDUA PAPA
Malam itu hujan sangat lebat dan deras disertai petir yang menyabar nyambar. Dari ruang belajar segera aku masuk kekamar, menarik selimut dan mematikan lampu terus tidur.
Terdengar samar-samar suara papa dan mama seperti sedang bertengkar hebat. Samar terdengar suara Papa agak meninggi beberapa oktav dari biasanya, sedang mama tampak menangis bersegugu di sudut kamar sambil memeluk bantal, aku bergegas bangkit dari tempat tidur coba mengendap- endap mengintip dari balik pintu kamar.
Isi perbincangan mereka sungguh menyayat hatiku saat itu. "Kita harus segera akhiri ini semua. Lelaki manapun pasti tidak kuat hidup dengan perempuan parasit model kamu, aku muak dengan semua ini, aku cape menjadi Atm hidupmu." Ucapnya sembari memukul-mukul dinding kamar, terdengar jelas ada sebuah tekanan hebat yang membuat papa harus mengambil keputusan itu. Nah nih pelajaran banget. Penting bagi seorang perempuan bisa mencari uang sendiri, kenapa?
Karena lelaki manapun tak akan bisa membedakan underwear harga 500k dengan underwear 50k.
"Apa kamu bilang?" Mama tampak membusungkan dadanya. "Hai Laki-laki Jahanam! Harusnya kau sadar diri. Bukan yang parasit itu kamu? Kau tega menghabiskan semua pesangonku dari kantor, menjual aset-asetku bahkan kau tega menjual rumah warisan kedua orang tuaku, untuk apa? Satu sen pun aku tak pernah menikmatinya." Ucapnya setengah memaki. "Kau yang parasit, tidak menguntungkan apa apa hanya bisa rebahan dan makan." Papa menjawab dengan nada cukup tinggi sembari mendorong tubuh mama keatas dipan. "Lihat tubuhmu sudah mirip sapi glongongan!" Ucapnya ketus sambil mencibir.
Rasanya aku tak sanggup dan makin tak tahan mendengarkan pertengkaran mereka berdua. Perlahan kututup kedua kuping dan ku benamkan wajah kedalam bantal agar tak mendengarkan pertengkaran mereka lebih dalam lagi.
Taukah kamu? Setiap perceraian yang jadi korban bukan suami atau istri, tapi anak!
Mereka berdua selama ini tak pernah terlibat adu mulut yang cukup hebat. Pasti ada salah-satu diantara mereka yang mengalah dan menjauh,
Tapi kali ini sungguh berbeda papa berusaha mengintimidasi mama dengan reflek berani menampar, memukul dan menendang. Sebelah tangannya melayang, Mama berusaha mengelak dan melawan. Papa berusaha melampiaskan amarah sebuah tamparan kembali mendarat kepipi mama. "Plak!" Mama dengan reflek menangis bersegugukan sembari mengelus pipi, dia tak percaya mengapa papa bisa berubah sedemikian rupa menjadi arogan. Padahal dulu ia lelaki baik, selama ini papa adalah laki-laki yang paling sabar dan hangat. Tak pernah berjudi, mabuk-mabukan, marah, apalagi membentak.
"Teganya kau pah!" Ucapnya lirih.
Instingnya berkata apakah ada wanita lain?
Mama coba menepis jauh-jauh prasangka itu.
Tak mungkin suaminya punya wil atau apapun itu namanya. Seluruh gajinya sudah ia berikan pada mama. Mama berpikir mana ada jaman sekarang wanita lain mau dengan suami orang tanpa memandang uang.
Mama berusaha tegar lalu berujar perlahan sambil terbata-bata. Sebelah tangannya menyeka bulir bening diantara telaga matanya. Sembari mengatur nafas agak dalam dengan tatap mata tak senang. "Sungguh terlalu kamu mas! Akulah yang telah melahiran putrimu, dengan ikhlas merawat mu saat sakit. Apa balasanmu? Kau pikir aku apa? Aku bukan samsak tinju!" Teriaknya dengan sekuat tenaga.
Papa berdiri sembari meremas rambutnya kemudian memukul-mukul dinding kamar. Darah mengucur diantara selah-selah jemarinya, ia tampak begitu tertekan dan di luar kontrol. Kedua pupil matanya memerah. "Persetan dengan semua itu. Kita cerai, kutalak kau! Segra angkat kaki dan keluar kamu dari rumah ini, aku sudah muak denganmu." Saat itu seketika Mama langsung terjerembah kelantai, tatap matanya nanar, derai air mata sudah tak bisa dibendung lagi.
Sakit, perih saat tak dianggap dan di inginkan lagi.
ada tapi tiada.
Mungkin harus begitu, jika sudah tak cinta lebih baik dilepaskan.
Jadi! Aku mengira selama ini papa mengangap mama parasit karena mama tidak bekerja, tidak menghasilkan uang. Mama tenggelam dan terlalu sibuk dalam urusan domestik keluarga hingga lupa mengurus dirinya, semua pekerjaan rumah tangga dia handel sendiri.
Semua urusan finansial di tanggung papa sendiri, Selama ini dia sangat frustasi dan merasa sangat tertekan akan pengeluaran rumah tangga yang membludak semenjak mama resign dari kantor karena sering sakit sakitan. Dulu saat mama bekerja papa tak pernah repot-repot memikirkan urusan Finansial.
Suasana hening seketika, sesaat aku menduga mereka berdamai. Karena biasanya selalu saja begitu. Tapi kali ini yang terjadi diluar dugaanku.
Mama berdiri di samping daun pintu kamarku. Sembari mendongakan kepala dan sesekali mengusap kedua bola matanya ia berujar dengan lantang. "Oke! Kalau itu maumu, aku akan keluar segara dari rumah ini. Puas! Ingat baik-baik satu senpun aku gak akan minta apapun dari kamu." Papa mendengus kesal ia tampak berusaha menahan amarah.
"Ciuh!" Mama meludah kearah papa. Papa mengepalkan kedua jemari, tak lama papa berdiri mendekati mama. Mama mengira papa akan melayangkan kembali tangannya. "Jangan coba-coba mendekat!" Teriak mama lantang dengan tubuh gemetar.
"Haah! Sukurlah kalau kau tau diri! Dan hak asuh anak kita tanyakan pada anaknya mau ikut siapa?" Jawab papa dengan sinis. Ia tak menggubris tangisan mama lagi.
Malam itu, sudah tak ada kehangatan lagi. Semua berubah seketika. Api kebencian sudah melalap, membakar jiwa mereka perlahan tapi pasti.
Memang kalau sudah dirasuki kebencian itu susah. Semua menjadi gelap gulita, nalar dan akal sehat musnah. Tak bisa membedakan lagi yang mana betul dan salah.
Tak lama berselang Mama dan papa beriringan menuju kedalam kamar. Saat itu mataku sudah sembab. Mereka berdua tau pasti aku telah mendengarkan dengan jelas percakapan mereka malam itu.
Mama mengetuk daun pintu, disusul papa mereka berdiri disisi sudut kamar. Sembari berucap dengan terbata-bata.
"A-ai! Mama dan papa akan bercerai kamu mau ikut siapa? Papa atau mama?" Mama menodongku dengan pertanyaan menohok. Aku terperagah tak bisa berkata-kata.
Pilu, hancur berkeping-keping jiwaku.
Saat itu perasaanku sudah campur aduk, tak mampu berpikir jernih lagi, hati nuraniku berontak. Aku benci kepada tuhan kenapa masalah ini ia timpakan di pundakku. Kenapa? Dia memilihku, begitu kejam kepadaku? Air mataku berderai, aku mencoba merayu bernegosiasi dengan mereka berdua, bersimpuh dikaki mama dan papa. Tapi! Mereka berdua tak bergeming menatapku.
Duniaku seakan akan telah kiamat, kedua kakiku serasa tidak menapaki bumi lagi, nyawa ini serasa sudah tidak di dalam raga lagi. Aku hidup tapi mati! Mereka berdua telah menghancurkan dan membunuh kebahagianku, merampas semuanya seketika. Pupus-pupus sudah semuanya, hatiku porak poranda hancur menjadi berkeping keping.
Papa melangkahkan kaki coba mendekat kearahku. "Bagaimana nak?" Tanyanya dengan wajah pias. "Kamu mau ikut papa atau mama?"
"Mah, Pah. Apa kalian sudah tidak bisa berdamai lagi?" Aku coba mencairkan suasana yang sudah terlanjur kelu. Kutatap manik mata mereka satu persatu. Wajah mereka tampak sudah begitu dingin, tak ada rasa cinta lagi diantara keduanya, mereka tak sudi lagi menatap antara satu dengan yang lain, saling membelakangi kekeh dengan pendirian masing masing yaitu berpisah.
"Sudah! Sudah tidak bisa Papa sudah tidak kuat hidup seatap dengan mama mu. Kelak jika dewasa engkau akan mengerti kenapa kami berpisah," ucapnya tanpa dosa. Mama hanya menangis, sesekali kulihat ia menyeka butiran bening di sudut pipinya, bibirnya terkatup rapat tak bisa berkata-kata lagi.
Tanpa memperdulikan hatiku yang terpotek potek. Menjadi beberapa bagian, bukan berupa bongkahan lagi tapi sudah hancur menjadi puing kepingan.
Atas desakan mereka berdua. Akhirnya aku memutuskan memilih ikut Papa.
Karena cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya.
Tapi semua ini tetap tak adil bagiku. Aku mencintai keduanya. Terpaksa harus memilih yang terpahit diantara yang pahit
"Oke. Aku angkat kaki dari sini puas kamu?"
"Maafkan mama Ai, Kamu yang memilih. Kamu tau semua ini sudah takdir dan ke hendak tuhan." Ucapnya lirih sembari mendekap tubuhku dengan erat.
Mama pergi dengan membawa satu koper pakaian. Itulah adalah hari terakhir kami bertemu.
*
Hingga tak terasa usia ku kini menginjak 18 tahun. Tiba tiba papa berdiri di ujung kamarku. Dua begitu bersemangat. "Tik, Besok kemasi pakaianmu ya! Kita akan pindah rumah di Solo," ucapnya sambil mengemasi beberapa barang di dalam kamarku. Aku tak berani banyak tanya, Apa kiranya papa sudah pindah tugas pikirku dalam hati. Saat itu tanpa banyak mengajukan pertanyaan kuturuti perintah papa. Aku tidak ingin jadi anak pembangkang, tak ingin kehilangan papa setelah kehilangan mama.
Sungguh buruk dan malangnya nasib ku.
Tak ada perpisahan yang indah. Tak ada! Tak ada perceraian baik-baik! Tak ada. Akulah yang terluka diantara semua bukan papa bukan mama.
Mereka menjunjung ego! Ketika memutuskan berpisah.
Sebenarnya aku sudah sangat betah tinggal di Jakarta. Banyak sekali tempat kenangan di sini, ahc tapi sudahlah. Aku masih anak anak, belum bisa mandiri belum bisa menjaga diri.
"Surat pindahmu sudah papa urus. Kamu gak usah banyak tanya." Papa seolah-olah membaca jalan pikiranku, "lusa kita berangkat." Ucap papa mengentakan lamumanku. "Ia pah," ku anggukan kepala tanda setuju.
Hari itu 25 oktober tahun 2009. Aku dan papa berangkat ke Solo mengunakan kendaraan kantor papa.
"Nanti kalau sudah di Solo, kamu gak usah banyak tanya," Perintahnya tanpa menatap wajahku.
"Ia, pah" Jawabku sambil tertunduk lesu. Disepanjang perjalanan kami tengelam dalam dunia pikiran masing-masing.
Kurang lebih 🚘10 jam 47 menit. Kami berdua akhirnya sampai di juga di sebuah Rumah sangat kuno tapi sangat penuh seni.
"Mari sini masuk Nduk." Kata seorang perempuan paruh baya dan seorang wanita setengah sepuh, Ia berlari tergopoh-gopoh menyambut kedatangan kami. Dengan reflek memelukku, wajahnya sangat mirip dengan wajahku hanya kulitnya terlihat kuning langsat. "Ngih bude sahutku"
"Tik, mulai sekarang kita tinggal disini dengan bunda Aini, kamu panggil dia bunda ya! Mulai hari ini!" Perintah papa tanpa penjelasan. Saat itu Secara serempak senyum mengurva dari wajah mereka, tatap mata keduanya begitu penuh arti.
"Mas, mandi dulu. Air panas dan handuk sudah tak siapkan." Ucapnya dengan suara manja yang dibuat-buat. Papa hidup bak seorang raja, dilayani semua hajatnya. "Ia. Bunda," papa menjawab lemah lembut, tatap matanya tampak berbinar-binar.
"Anak anak pada kemana bunda?" Tanya papa sembari mengawasi sekeliling dengan sudut ekor matanya. "Danang sedang mengaji dirumah Mbah Ti, kalau Gilang tadi pamitan mau kerja kelompok."
"Oh!" Papa tersenyum sembari mengeret beberapa barang miliknya.
Tak lama berselang. Seorang anak lelaki berlari tergopoh -gopoh.
"Danang pulang!" Teriaknya dari kejauhan. Wanita itu berdiri menyambut kehadirannya. "Danang, ini kenalkan mb Airin," Dia sedikit mengernyitkan dahi. "Mulai hari ini papa Zean dan mb Airin tinggal di rumah kita." Dia lalu tersenyum dan berucap. "Berarti papa sudah gak keJakarta lagi ya?" Ucapnya dengan tatap mata yang berbinar-binar. Papa memeluk tubuh mungilnya. "Ia!" Jawab papaku dengan seuntai senyum yang penuh. Danang memeluk papa dengan erat. Nah saat itu umur Danang kira kira 12 tahun. Beda satu tahun dengan Gilang.
Rasanya tidak percaya dengan pemandangan itu. Ada orang lain yang memanggil papa dengan sebutan papa. Aku mengira aku adalah anak satu satunya dari papa dan mama Liza. Nama mamaku Liza yang ku anggap mama kandung.
Usai bercipika-cipiki. Tiba wanita paruh baya itu berucap.
"Nduk, ini kamarmu. Sudah mbok Piyem bersihkan. Kalau kurang apa apa bilang aja sama bunda jangan sungkan sungkan ya!" Aku mengangguk tipis. "Ngih bunda," aku menjawab sekenanya.
Segeraku ayunkan langkah menggeret dan membawa koperku kedalam kamar. Untuk rumah tempo dulu menurutku sangat mewah di jamannya. Sudah ada bathtup mangkok, sudah ada kolam renang. Sangat berbeda dengan rumah kami diJakarta hanya ada bak mandi kotak dengan toilet jongkok, untuk mandi pakai shower itu sebuah keajaiban itu pun kalau air pam enggak macet. Kadang-kadang tak jarang aku hanya gosok gigi dan hanya mencuci muka saja. Konon katanya orang cantik memang jarang mandi. Nah Ayo ngaku?
"Mas ayu ya anak perempuan kita." Wanita paruh baya itu melirikku dengan sudut ekor matanya. "Ia. kaya kamu." Papa merangkul pinggangnya. Mereka tampak begitu akrab antara satu yang lain. Wanita itu bergelayut manja di bahu papa yang bidang. Aku merasa cemburu dan jijik melihat kemesraan mereka. Dalam hati kecilku berkata, "dasar wanita murahan." Mereka berdua tertawa penuh suka cita, berkali kali papa mendekap, mencium tangannya.
"Nanti kita kuliahkan sesuai keinginannya aja mas. Terserah dia mau kemana." Ucapnya begitu antusias.
"Ia, Semua kamu yang atur. Aku harap kamu senang kita berkumpul lagi disini bersama anak-anakmu." Papa berujar dengan mimik wajah bahagia.
"Apa, aku gak salah dengar? Aku tidak mengerti dengan semua ini. Jadi Mama Liza itu siapa? Ada seribu satu pertanyaan bergelut dalam otakku."
Mungkin kaupun sama bertanya tanya ada apa ini?
#Bersambung
Lampung wawai
Bab 1 Prolog
21/08/2022
Buku lain oleh emakjb
Selebihnya