/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
Malam mulai tinggi ketika hana berjalan menegarkan langkah, menapaki lantai loby hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan yang baru saja didatanginya. hana menarik nafas panjang, dia langsung menuju ke arah lift. hana berjalan lurus, tanpa melirik ke kanan atau ke kiri sedikitpun. Perasaannya terasa tak karuan ketika berdiri menanti pintu lift itu membuka.
Ting!
Denting suara lift membuyarkan lamunannya. Hana menarik nafas panjang. Setiap tarikan nafasnya terasa sama sekali tak melunasi sesak di dadanya. Hana rasanya ingin menangis.
Hana melangkahkan kaki ke dalam lift itu. Dia segera memencet tombol lift untuk menuju ke lantai 25. Jantung Hana rasanya berdebar semakin kencang. Hana berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya, berusaha memudarkan air mata yang terasa hendak menyelinap keluar dari pelupuknya. Dia menengadahkan kepala, hana tahu, dirinya tak mau kelihatan sedih atau takut. Semua ini sudah menjadi keputusannya.
Hana memandang bayangan dirinya yang dibiaskan oleh pintu lift berwarna perak. Wanita cantik itu berdiri kikuk. Gaun hitam tujuh per delapan yang dikenakan Hana membalut tubuh tinggi semampainya. Hana tampak anggun dalam balutan busana itu. Tapi tidak, bukan itu alasan Hana mengenakan warna hitam hari ini, hana sedang merasa berduka.
Sekali lagi Hana menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat. Di dalam hati, hana merasa sedikit beruntung karna hanya dirinya yang ada di dalam lift itu.
Ting!
Suara lift yang kembali berdenting membuat Shana otomatis memejamkan mata. Rasanya setiap langkah akan sangat sulit baginya. hana menguatkan diri. Dia melangkah keluar dari lift itu. Sekilas melihat papan penunjuk dan berbelok ke kanan.
Hana melangkah dengan tegar. Sesaat dia memuji kemampuan dirinya memainkan peran itu. Kalau saja Hana menuruti keinginan hatinya, dia mungkin merangkak pada selasar di antara kamar-kamar presidential suite itu.
Semakin mendekati kamar yang dituju, langkah Hana berubah pelan. Seketika perasaan takut menyerang dirinya, 'Haruskah aku masuk ke dalam sana?' Hana bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ada sebuah keraguan yang menghampiri pikiran wanita itu.
'Ya, aku harus masuk ke dalam dan menyelesaikan segalanya!' Seketika ia teringat akan bocah kecil berusia 3,5 tahun itu. Bocah yang sekarang tak berdaya menunggunya. Hana pun memantapkan hatinya kembali, melangkah tanpa rasa takut ke arah yang ditujunya.
Kamar 2509! Sesuai dengan nomor kamar yang dikatakan sahabatnya pagi tadi. Hana berhenti tepat di depan kamar itu. Dia menarik nafas panjang sebelum jemari lentiknya dengan ragu memencet tombol bel pintu.
Hana menundukkan kepalanya, wanita itu merasa sangat gugup sekali. Ingin rasanya ia berlari dari sana. Tapi tidak, tentu saja dia tidak boleh lari. Hana datang karena kemauannya sendiri, karena keputusan yang telah diambilnya.
Pintu itu terbuka, Hana yang menunduk seketika mengangkat wajahnya pelan. Matanya menyusuri sebuah sosok yang ada di hadapannya dari kaki hingga mata bertemu mata. "Masuklah," ujar lelaki berparas tampan yang sedang berdiri di depannya saat ini.
Lelaki itu adalah Devan, bos besar dari perusahaan tempat sahabatnya bekerja. Wajah rupawan lelaki itu memang tersenyum tipis, namun senyuman itu tampak seperti seringai bagi hana.
Hana terdiam menatap wajah tampan nan dingin itu. Sebuah rahang kokoh yang sedikit di tumbuhi cambang tipis, sorot matanya yang tajam dengan bola mata berwarna hazel itu seharusnya bisa membuat setiap wanita yang melihatnya terpesona, tapi tidak bagi Hana. Bagi hana, lelaki itu hanyalah sebuah jalan keluar yang dapat membantu dirinya.
"Hemm ...."
Lelaki itu berdeham seketika membuyarkan lamunan Hana, Hana langsung mengubah raut wajahnya yang tegang. Dia mengangguk pelan. Tanpa menunggu, Hana melangkah menjejakkan kakinya di kamar hotel itu ketika sang lelaki di hadapannya sedikit mundur, memberikan hana jalan untuk masuk.
Lelaki itu kini duduk di sebuah sofa besar di tengah ruangan. "Duduklah," ucapnya sambil terus menatap ke arah wanita cantik di hadapannya.
"Kau mau minum? Kau sudah tahu namaku kan? Aku--" Lelaki itu bertanya sambil mengulurkan tangannya namun ucapannya disela oleh Hana.
"Aku tidak mau minum, juga tak ingin mengetahui siapa dirimu, kita lakukan saja apa yang sudah kita sepakati." Hana memotong ucapan Devan, ia ingin segera menyudahi segalanya agar bisa pergi dari tempat itu.
Devan tersenyum sinis, sebelah tangannya mengusap rahang kokoh miliknya. Devan berdiri lalu berjalan ke arah Hana.
Semakin dekat lelaki itu pada dirinya, semakin gugup pula perasaan hati Hana. Ketika Devan sudah berjarak hanya beberapa jengkal dari Hana, lelaki itu menghentikan langkahnya. Kedekatan lelaki itu membuat jantung Hana berdetak dengan kencang.
Devan memegang dagu Hana menariknya ke atas, lelaki itu memperhatikan wajah cantik dengan mata sayu dan bulu mata yang lentik menatap ke arahnya, perlahan pandangannya turun ke bawah, ke bibir mungil berwarna peach yang begitu menggoda.
Hana merasa sangat gugup saat perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya. Sekarang denyut jantungnya Hana sudah tidak karuan.
/0/17278/coverorgin.jpg?v=dceaf4fa2492b2376c7808278a469974&imageMogr2/format/webp)
/0/17805/coverorgin.jpg?v=da2604aade4536ab630fb92c1b75f23a&imageMogr2/format/webp)
/0/21451/coverorgin.jpg?v=aa8ceebdc41dc61121defec234029f0e&imageMogr2/format/webp)
/0/21350/coverorgin.jpg?v=d843d606f9b710392d25f3a57952174d&imageMogr2/format/webp)
/0/5842/coverorgin.jpg?v=6bca322e6302fcbc373878aa6a6a44ff&imageMogr2/format/webp)
/0/5626/coverorgin.jpg?v=79f5e94995c9ef2e0230aa95e6050667&imageMogr2/format/webp)
/0/4844/coverorgin.jpg?v=ff65dd9a66e99ce43b5ccb282f790bea&imageMogr2/format/webp)
/0/18467/coverorgin.jpg?v=b902f1f6a225efeed3093541e2ca7f28&imageMogr2/format/webp)
/0/22405/coverorgin.jpg?v=51f48758e88c4bcd40d9c3f7e5563a82&imageMogr2/format/webp)
/0/16861/coverorgin.jpg?v=1d79d5c8d1067177e47366859cdb07d3&imageMogr2/format/webp)
/0/16204/coverorgin.jpg?v=fd817143ccf5117c121c4285e7c3d270&imageMogr2/format/webp)
/0/16645/coverorgin.jpg?v=ef346df3b63e19bf964828ca82a1a7a0&imageMogr2/format/webp)
/0/21237/coverorgin.jpg?v=7e90218b32918639b2b212e0858d597e&imageMogr2/format/webp)
/0/5983/coverorgin.jpg?v=6f6e63590595f6e14b3827c458936f00&imageMogr2/format/webp)
/0/12293/coverorgin.jpg?v=b2e6968b52417a533039e5ba601f1b54&imageMogr2/format/webp)
/0/13499/coverorgin.jpg?v=0eec749d773f606260336124ca19a547&imageMogr2/format/webp)
/0/23102/coverorgin.jpg?v=a2928afe8bb1d339c5b6c27cec1269e9&imageMogr2/format/webp)
/0/12689/coverorgin.jpg?v=5f18ad5d904360b470f1120a07894116&imageMogr2/format/webp)
/0/15407/coverorgin.jpg?v=eb52c08fedf92d47e98ef432bf8299d3&imageMogr2/format/webp)
/0/8979/coverorgin.jpg?v=3085bd68c195178d7936477ecca1a1a1&imageMogr2/format/webp)