Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
23
Penayangan
10
Bab

Setahun berlalu, entah mengapa dia datang disaat Zeline tak ingin terlibat dengan siapapun. Tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Namun anehnya, Zeline hanya bisa melihat pria berbadan atletis itu dimatanya. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Di saat sebuah upaya penyembuhan berubah menjadi sebuah tragedi. Sungguh Zeline tak ingin terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. "Jika saja kau tak datang dalam hidupku, maka aku tak akan pernah berhutang budi padamu." – Zeline "Kalaupun aku tak datang, pasti aku akan tetap mencarimu. Aku ingin kau berhutang budi padaku agar aku tetap bisa selalu bersamamu." – Alex Cover by: Vaya Diminim Pict: Free commercial to used

Bab 1 Keajaiban vs Kebetulan

Jika saja seseorang bertanya apakah ada orang yang tak bisa dilupakannya, mungkin saja dia akan berteriak, menjawab ada. Setahun berlalu, semua kenangannya tetap terpatri di dalam hati. Tak memudar sedikitpun. Yang perlahan berubah menjadi luka yang semakin lama semakin ternganga. Banyak pilihan yang bisa dilakukan untuk menutupi luka itu, tapi tak semuanya bisa dicoba.

Orang bilang penyembuhan terbaik adalah dengan menikmati keindahan alam terbuka. Semacam memberi kedamaian yang menyelinap masuk ke dalam jiwa raga. Dulu dia juga percaya akan hal itu, tapi tidak setelah semuanya menjadi berantakan. Namun disinilah dia kini, menikmati keindahan alam seperti yang dikatakan oleh orang lain.

Zeline Zunaira, seorang gadis berambut panjang bergelombang, mata coklat yang selaras dengan kulit wajahnya yang eksotis. Memang agak berbeda dari kebanyakan gadis lain yang memiliki kulit putih, namun Zeline bangga dengan warna kulitnya. Dia tetap cantik menawan dengan sedikit freakless di kedua pipinya.

Zeline menyusuri sebuah jalan kecil yang membelah taman kota Auckland. Kota terbesar yang ada di New Zeeland. Di lehernya tergantung sebuah kamera digital yang tak terlalu besar. Cocok untuk dibawa berwisata menemaninya yang seorang diri. Dia mengarahkan kamera pada menara setinggi lebih dari tiga ratus meter jauh di depannya. Itu adalah ikon kebanggaan kota ini bernama Sky Tower. Di sisi lain, dia juga mengabadikan momen-momen acak yang dijumpainya sepanjang jalan. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua yang sedang membawa balon berwarna merah. Ada pula pasangan muda mudi yang membawa jalan-jalan bayi mereka yang baru lahir. Atau seorang bapak tua yang menghisap cerutunya sembari duduk di bangku taman sambil membaca koran. Semuanya tampak bahagia. Seperti kata Dokter Agnes. Apakah dia juga bisa menemukan apa yang dicarinya di sini? Sejujurnya Zeline masih belum tahu dengan hal yang akan dicarinya itu.

Kota berikutnya yang didatangi Zeline adalah kota sejuta taman di Christchurch. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit indah dan ribuan bunga yang membentuk perpaduan warna yang indah. Diantara banyaknya taman di kota itu, Zeline memilih untuk mengunjungi Hagley Park. Ruang terbuka hijau sejauh mata memandang. Tempat itu banyak didatangi keluarga yang ingin melepas penat dengan bercengkrama, piknik ataupun hanya singgah untuk bersantai barang sebentar saja. Tak lupa Zeline kembali mengangkat kameranya untuk mengabadikan setiap gelak tawa yang terdengar di telinganya. Surara burung camar yang melintas menambah alunan nada yang merdu.

Ibarat seseroang yang datang dan pergi silih berganti. Perlahan sinar mentari juga mulai menghilang digantikan bulan dan bintang. Langit kota berubah gelap. Zeline meneruskan perjalanannya menuju pusat kota Wellington. Dari karya seni hingga perancang dunia dan memorabilia film berkumpul di kota ini. Zeline menyusuri Cuba Street yang penuh dengan nuansa vintage dan bohemia pada wajah kota itu. Jalanan ini dipenuhi toko-toko retail berpadu dengan café, bar, dan restoran kecil. Zeline memasuki sebuah gang kecil di samping sebuah bar. Niat awalnya dia ingin sampai lebih cepat pada jalan di sebaliknya agar tak perlu mengambil jalan memutar. Tapi jalan pintas itu malah semakin membuatnya menghabiskan banyak waktu.

"Hei Girl!!" Zeline mendapatkan cat calling dari beberapa kumpulan pria mabuk yang dilewatinya.

Zeline mempercepat langkahnya menghindari salah satu pria berbadan agak besar yang mencoba untuk merangkulnya.

"Came on girls! Kita bisa menghabiskan malam bersama," kata pria itu lagi. Zeline tak menyadari ada pria lain yang muncul dari balik gelap yang kemudian merangkul bahunya mendekat. Nafasnya tercekat, suasana mulai mengcekam. Matanya bergetar, tak berani menoleh menatap pria yang tengah merangkulnya kini namun langkahnya terus berjalan cepat. Hanya bisa berdoa dalam hati, dia aman hingga ujung gang dan tiba di tengah keramaian. Tepat saat itu, pria berbadan besar di sampingnya tersungkur ke tanah setelah seseorang baru saja menghantam punggungnya.

Zeline terpekik lalu mengambil kesempatan untuk kabur. Tak ingin tahu yang terjadi dengan pria berbadan besar itu, dia berusaha lari sekuat tenaga agar bisa segera keluar dari gang sempit nan gelap itu. Zeline terkesiap ketika melihat seorang pria lain berbadan kurus namun cukup atletis serta sedikit luka di sudut bibirnya ikut berlari di sampingya. Pria itu tersenyum pada Zeline. Tetapi kaki Zeline malah semakin mempercepat langkahnya. Untunglah tungkai Zeline panjang sehingga dia bisa cepat memasuki kerumunan yang dipenuhi lautan manusia. Sesekali Zeline menoleh ke belakang. Apakah pria mabuk tadi mengejarnya atau tidak. Syukurlah tak ada tanda-tanda dirinya yang dikejar oleh sekumpulan pria mabuk yang berniat mencelakainya. Dia berhenti dengan posisi badan agak membungkuk, mencoba menarik nafas sedalam mungkin. Apa ini? Hampir saja semua rencana pengobatannya di sana berubah menjadi sebuah tragedi mengerikan. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Zeline menoleh ke samping. Pria yang ikut berlari bersamanya tadi ikut berhenti tepat di sampingnya bahkan meniru posisi berdirinya yang sedikit terbungkuk mengatur nafas.

"Kau tak apa?" tanya pria kurus yang membantunya itu dengan nafas ngos-ngosan. Dia sedikit membungkuk sambil mencoba mengatur nafas.

Zeline terlonjak kaget, spontan mundur selangkah. Pria itu ikut mundur kemudian mengangkat kedua tangan, dia tak berniat mencelakai Zeline. "Jangan takut! Aku tak akan menyakitimu," kata pria itu pelan sambil menyunggingkan seulas senyum canggung, meyakinkan Zeline.

Barulah Zeline bisa bernafas dengan lega. Hampir saja dia berteriak untuk mengumpulkan massa dan menangkap pria ini jika mencoba macam-macam. Tidak sulit untuk menangkapnya karena sekarang mereka berada di tengah kerumunan orang yang sibuk berlalu-lalang menikmati malam kota.

"Ya? Ya. Aku tak apa," balas Zeline masih agak canggung. Dia masih was-was sekaligus merasa tak enak setelah melihat pria itu memiliki luka di rahangnya. Zeline terlambat menyadari kalau pria inilah yang menyelamatkannya barusan. Dia melirik sudut gang di belakang mereka. "Tapi kau terluka," Zeline reflek mengangkat tangan menyentuh sudut bibirnya.

"Oh ini," pria itu menyentuh sudut bibir dan pipinya yang mulai membiru. "Bukan karena kejadian dan pria tadi," elaknya agar Zeline tak salah paham. "Aku sudah terluka sebelum itu," lanjutnya santai.

Tapi Zeline tetap merasa tak enak dan juga berterima kasih pada pria itu. Padahal dia sedang terluka tetapi masih memberanikan diri untuk membantu Zeline dalam keadaan yang seperti itu. Zeline tak sengaja menemukan sebuah apotek dua puluh empat jam di seberang jalan.

"Di sana," tunjuk Zeline. Pria itu ikut menoleh. "Biarkan aku mengobati lukamu dulu."

Zeline berjalan lebih dulu menyebrang jalan. Sedangkan pria itu mengikutinya di belakang. Selang beberapa menit, Zeline keluar dari apotek membawa sekantong obat. Mereka duduk di sebuah bangku kosong di depan apotek.

"Aaa..." pria itu meringis kesakitan ketika Zeline mengoleskan salep luka.

"Maaf," kata Zeline ikut meringis merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Biar aku saja." Pria itu mengambil alih salep luka dari tangan Zeline, lalu mengoleskannya secara asal karena ia tak bisa melihat daerah mana yang terluka.

"Kau touris?" Pria itu memulai topik pembicaraan dengan Zeline sambil mengemasi sampah salep yang agak berserakan di bangku.

"Ya," jawab Zeline singkat. Dia tak pernah bisa untuk langsung terbuka dengan orang asing.

Pria itu mengangguk-ngangguk lalu bangkit hendak pergi. "Terima kasih salep lukanya."

Zeline ikut berdiri. "Tidak. Seharusnya aku yang berterima kasih," sela Zeline dengan cepat. Dia semakin merasa tidak enak karena pria itu mengucapkan terima kasih terlebih dulu. Pria itu mengangguk lagi kemudian berbalik meninggalkan Zeline yang menatapi punggungnya.

Zeline menatap lekat punggung pria yang berjalan sedikit pincang itu hingga menghilang dari pandangannya. Dia orang baik pertama yang ditemui Zeline dalam setahun terakhir. Namun hatinya segera menepis pikiran itu, tak ingin kejadian lama terulang kembali. Hampir saja dia lupa tujuannya datang ke New Zeeland.

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku