Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Husband Mr. Arrogant

My Husband Mr. Arrogant

Arien Shinta

5.0
Komentar
249
Penayangan
7
Bab

"APA! BEDEBAH!" hardik Gama. Pria dengan setelan jas dan kemeja putih itu mengeratkan rahangnya, kala mendapat laporan dari dokter pribadinya. Lepas menelepon, Gama memakai jasnya dengan asal. Lalu, pria itu bergegas pergi dari kantor. Tak memakan waktu lama, mobil sport yang dikendarai oleh Gama sudah tiba di mansion mewah miliknya. Dengan langkah lebar, Gama menyusuri ruangan demi ruangan di rumah elite tersebut. BRAK! Gama membuka pintu kamar dengan kasar. Membuat kedua wanita di dalamnya terperanjat kaget. Pria itu melangkah dengan wajah memerah menahan amarah. "Apa yang kau katakan tadi? Apa kau tidak sedang bercanda denganku? Jangan coba-coba bermain-main denganku, atau kau akan tahu akibatnya. Periksa baik-baik!" hardik Gama setelah melontarkan tanya secara beruntun. "Sudah Tuan. Saya tidak bercanda. Nona ini memang tengah mengandung. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga," jelas wanita dengan balutan pakaian dokter tersebut dengan wajah pucat. "Baiklah. Silakan kembali!" titah Gama. Mendengar nada berbicara Gama yang kembali bersahabat, Dokter Risa mengangguk dan tak menyia-nyiakan kesempat untuk segera pergi. Lepas kepergian dokter tadi, Gama melangkah perlahan. Mendekat ke arah Liana yang saat itu termangu dengan pandangan kosong. Sama halnya Gama, Liana pun tak kalah syoknya. Ia tak menyangka, akan mengandung benih dari jelmaan iblis seperti Gama. "Akh, sakit!" pekik Liana. "Berani-beraninya kau mengandung keturunan Afchar, tanpa izin!" marah Gama. Pria itu menekan setiap ucapannya. Pria berusia 24 tahun tersebut benar-benar dirundung amarah. Ketika mengetahui kehamilan Liana, gadis yang pernah menolak dirinya juga mendiang Gema kembarannya, sekaligus putri dari seorang pengkhianat yang berhasil melenyapkan nyawa Gema. "Apa kau sengaja tidak meminum pil kontrasepsi yang kuberikan!?" sentak Gama. Liana tak dapat menjawab apa pun, karena rahangnya dicengkeram kuat oleh Gama. Hanya menggeleng yang bisa ia lakukan saat itu. "G–Gama, lepaskan!" mohon Liana dengan suara lirih, bahkan hampir tak terdengar. PLAK! "Apa kau lupa? Jangan pernah sebut namaku dengan mulut kotormu itu!" maki Gama, setelah menampar wajah Liana dengan keras. Liana tertegun. Buliran bening semakin luruh membasahi kedua pipinya. Rasa kebas yang kian memanas menjalari pipi kirinya, akibat tamparan keras dari Gama. "Persiapkan dirimu. Dokter akan datang untuk membuang janinmu. Aku tidak sudi keturunanku lahir dari rahim anak seorang kriminal sepertimu!" ujar Gama dengan suara meninggi. Pria itu hendak melangkah ke luar dari kamar kumuh tersebut. Namun, seseorang berlutut dan menahan pergelangan kakinya. "Aku mohon. Jangan bunuh anak ini. Dia darah dagingmu. Jika kau tak ingin menganggapnya, tak apa. Kumohon, jangan lakukan hal itu." Liana menangis dan bermohon kepada Gama. Sekilas senyum penuh kemenangan tersungging di bibir Gama. Merasa puas telah membuat wanita sombong itu berlutut di bawah kendalinya. Sejenak Gama terdiam, sebelum akhirnya pria itu sedikit membungkukkan tubuhnya. Telapak tangan lebarnya kembali mencengkeram wajah Liana. "Dengar Liana Anatasya. Sekalipun kau menangis darah di hadapanku, seorang Gama Ardiansyah tidak akan pernah menarik ucapannya kembali!" bisik Gama dengan penuh penekanan. Wajahnya memancarkan seringai iblis. Terjerat dalam permainan dendam seorang Gama, yang bernotabene seorang CEO, seketika kehidupan Liana Anatasya berubah total. *** Dihancurkan secara berkeping-keping dengan alasan yang tidak masuk akal. Kehilangan harta, kebahagiaan, dan kedua orang tuanya bagai mimpi buruk untuk Liana. Namun, perasaan lama Liana terhadap Gama, berhasil membuat Liana lemah dan kuat secara bersamaan. Mencintai pria yang justru membencinya karena sebuah dendam, adalah sesuatu yang tak mudah untuk dilewati oleh Liana. Juga menjadi istri pertama tetapi tak diprioritaskan. Dendam yang menyelimuti Gama benar-benar membutakan pria itu. Adakah balasan bagi Gama atas apa yang telah pria itu lakukan pada istri dan keluarganya? Lalu, ketika seorang malaikat kecil hadir di tengah keduanya, mungkinkah ada benih-benih cinta di hati Gama untuk Liana? Atau, semua akan berakhir dengan perpisahan termanis?

Bab 1 Kabar Buruk

Di sebuah hotel bintang lima, dua orang pemuda berwajah bak pinang dibelah dua, tengah mengadakan lunch meeting yang ditemani beberapa orang berpakaian hitam. Banyak pebisnis yang hadir di sana dengan pakaian formal melekat di tubuh mereka.

"Bagaimana pendapat Anda, Tuan Gama dan Tuan Gema?" tanya seorang pria setengah baya, setelah sekretarisnya selesai memaparkan isi dari sebuah kontrak kerja sama yang ditawarkannya.

"Terima kasih, Tuan Pradipta. Saya pribadi cukup puas dengan pemaparannya," sahut Gema sembari memainkan bolpoin di tangannya.

"Ya. Apa yang dikatakan adikku memang benar, tetapi saya sama sekali belum bisa memutuskan apa pun untuk saat ini. Jika Anda masih berkenan melakukan kerja sama, Anda bisa langsung datang ke kantor kami setelah tiga hari pertemuan kita. Sebelumnya, saya memohon maaf, Tuan Pradipta." Gama beranjak dari tempatnya, setelah menolak halus kerja sama yang diajukan oleh Pradipta-Ketua Direktur Arganata Group.

Penolakan yang ditujukan Gama Adriansyah Afchar saat itu, membuat Gema Ardiansyah Afchar kembarannya, dan Melinda sekretarisnya menjadi bingung. Namun, keduanya tetap harus menghormati keputusan sang kepala direktur tersebut.

Gama dan Gema keduanya kembali ke kantor, pasca menghadiri rapat direksi tadi. Gema sempat menawarkan sang kakak yang lahir berselisih 5 menit dengannya tersebut, untuk bersantai. Namun, Gama menolak tanpa memberi celah untuk diprotes.

"Kak, apa yang membuatmu menolak kontrak kerja sama Arganata Group?" tanya Gema saat keduanya sudah berada di dalam ruangan direktur. Entah apa yang membuat Gema, ingin sekali menerima kontrak kerja tersebut.

"Gema, kita harus teliti sebelum mengambil tindakan apa pun. Aku mendapat isu, bahwa Pradipta itu sangat licik. Kita harus cermati dulu semua taktiknya, dan lakukan verifikasi terlebih dahulu. Ada kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi kapan saja, jika kita teledor mengambil tindakan," jelas Gama, membuat kebingungan Gema dan Melinda akhirnya terpecahkan.

"Minggu depan aku ada kunjungan proyek di luar kota. Semua urusan di sini, sepenuhnya tanggungjawab mu Gema," ujar Gama yang langsung dibalas anggukan oleh Gema.

"Baik Kak," sahut Gema.

"Dan untukmu, jangan pernah beri kebebasan kepada mereka, sebelum kontrak kerja sama mereka ditanda tangani olehku. Kau paham, Mel?" tekan Gama kepada Melinda.

"Baik, Tuan." Melinda menundukkan wajahnya.

"Bagus. Silakan kembali ke ruanganmu!" titah Gama.

Setelah kepergian Melinda, Gema merebahkan tubuhnya di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Pria itu rupanya merasa bosan. Terlihat jelas dari posisi tubuhnya yang terus bergerak gelisah.

"Kak, apakah kau tak ingin memiliki seorang kekasih?" tanya Gema kepada Gama yang saat itu tengah fokus berkutat dengan layar monitornya.

"Diamlah Gem! Kau mengganggu konsentrasi ku!" geram Gama.

"Huh, aku hanya bertanya, Kak." Gema mendengus sebal.

"Dengar Gema. Kau bahkan tak memiliki kekasih. Lalu, apa faedahnya bagimu jika kau bertanya seperti itu kepadaku?" tanya Gama dengan kesal.

"Aku lebih senang sendiri Kak. Bagiku-"

"Bilang saja kau belum move on. Aku penasaran, wanita mana yang berani mempermainkan adik kembar ku ini," potong Gama. Ungkapan pria itu berhasil membuat Gema mendengus kesal.

"Kak, jangan berbicara seperti itu. Dia gadis yang sangat manis. Seperti namanya, Li-"

"Stop Gema! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu!" potong Gama.

"Baiklah, aku mengaku salah Pak Direktur." Gema memilih mengakhiri perdebatannya dengan sang kakak, yang tak akan pernah mau mengalah itu.

Tiga hari berlalu, hari itu Gama tengah berada di perjalanan menuju kantornya. Pria itu agak sedikit telat, akibat terlalu nyenyak tertidur setelah melakukan perjalanan selama 2 hari dari luar kota.

"Selamat sing, Tuan," sapa seorang resepsionis dan para karyawan ketika melihat sosok Gama Adriansyah memasuki lobi kantor.

Gama yang memiliki kepribadian arogan turunan dari sang ayah, sangat ditakuti di kalangan bisnis. Berbeda dengan Gema kembarannya, yang memiliki sikap ramah turunan dari sang ibu-Erina Manno.

Gama berjalan menuju lift khusus menuju lantai 7 di mana ruangannya berada. Saat sampai di lantai tiga, sosok Melinda sudah menunggu di depan ruangannya.

"Selamat siang Tuan. Tuan Gema dan Tuan Pradipta sudah menunggu di ruang meeting," jelas Melinda sembari membungkukkan tubuhnya.

"Ya, baik. Aku akan segera ke sana." Gama memasuki ruangannya. Tak cukup 5 menit, pria itu kembali keluar dari ruangannya dan segera melangkah menuju ruang meeting.

"Selamat siang Tuan Direktur," sapa semua orang yang berada di ruang meeting saat itu, ketika melihat kedatangan Gama.

"Ya, selamat siang. Mohon maaf, atas keterlambatan hari ini." Gama segera berjalan ke arah kursi miliknya.

Meeting hari itu berjalan selama kurang lebih 40 menit. Hari itu Gama memutuskan untuk menerima tawaran kontrak kerja sama yang diajukan oleh Arganata Group, setelah ia memverifikasi segalanya secara berulang kali.

***

Hari-hari berganti, dua minggu setelah kepulangannya, Gama kembali meminta izin kepada Gema dan sang ibu. Gama akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama satu bulan, ditemani oleh Raditya, asistennya.

Sudah hampir satu bulan melakukan perjalanan bisnis, pria itu tak pernah lagi menghubungi keluarganya, baik itu Gema ataupun sang ibu. Terakhir kali, sang adik yang lebih dulu mengabarinya untuk berbagi informasi terbaru perihal Pradipta-rekan kerja Gema dalam mengelola suatu proyek di bagian barat.

Gama yang tengah fokus berkutat dengan beberapa berkas di hadapnya, harus membagi fokus dengan benda pipih miliknya yang tiba-tiba berdering.

"Hallo, Tuan?"

"Ya, ada apa?" tanya Gama, setelah menerima panggilan telepon tersebut.

"Selamat siang Tuan. Saya mau mengabarkan, bahwa Tuan Gema mengalami kecelakaan tunggal, diduga akibat rem pada mobil yang dikendarai Tuan Gema tidak berfungsi dengan baik, Tuan." Pria bernama Jaka tersebut memberi tahu Gama secara detail. Jaka adalah orang kepercayaan Gama yang sangat cerdik dan bisa diandalkan.

Bagai disambar petir di siang bolong, Gama syok mendengar kabar buruk tersebut.

"Ba-baik, aku akan segera kembali. Awasi dan pastikan Gema mendapat perawatan di rumah sakit terbaik!" ujar Gama.

Siang itu juga Gama memutuskan untuk kembali ke tanah air, setelah semua keperluannya diurus oleh Radit.

Sepanjang jalan, Gama hanya merasakan sebuah penyesalan yang sangat amat. Jika saja ia tak meninggalkan Gema sendiri, untuk berhadapan dengan seorang Pradipta yang terkenal licik. Mungkin saja tidak akan terjadi hal seperti ini. Bahkan ketika sang adik telah memberitahunya perihal taktik licik Pradipta yang terbaca oleh Gema, dirinya tetap bersikeras untuk tidak pulang dan memilih menyelesaikan segala urusannya di Singapura. Ia sangat yakin, dalang di balik kecelakaan sang adik, tak lain dan tak bukan adalah Pradipta Arganata.

Tepat pada malam hari, Gama baru saja tiba di tanah kelahirannya. Pria itu segera bergegas menuju rumah sakit di mana sang adik dirawat. Rasa lelahnya tak berarti apa-apa, dibanding dengan kekhawatirannya terhadap sang adik.

"Assalamualaikum," ucap Gama saat tiba di salah satu ruangan rumah sakit.

"Wa'alaikumssalam, Gama. Kamu sudah tiba, Nak?" sahut Erina Manno, yang melihat sosok putra sulungnya berjalan ke arahnya.

"Iya, Bu. Ini aku." Gama bergegas memeluk tubuh sang ibu yang saat itu terduduk di samping brankar sang adik.

"Gama, lihatlah adikmu! Dia tak mau membuka matanya untuk kita, Nak," ucap Erina sembari terisak.

"Ibu, tenanglah. Anak nakal itu pasti akan kembali sehat, dan akan mengganggu Ibu lagi ketika sedang membuat cake pelangi," ujar Gama berusaha menguatkan sang ibu. Namun, tanpa disadari, air mata pria itu juga ikut menetes ketika melihat keadaan Gema yang menyedihkan.

Gama membawa sang ibu untuk beristirahat. Karena sejak siang, wanita itu terus menemani sang adik. Ia tak ingin ibunya jatuh sakit karena hal itu. Bergantian dengan Erina, kini Gama yang berjaga di ruangan sang adik.

Gama menatap sendu ke arah sang adik, yang saat itu terbaring tak berdaya di atas brankar. Tubuh Gema dipasangkan kabel-kabel medis, berfungsi membantu kehidupan pria itu. Salah satunya kabel yang menyinkronkan jantung melekat di dadanya.

Akibat kecelakaan yang menimpa Gema sewaktu pulang dari kantor tersebut, menyebabkan sebagian organ tubuh pria itu tak dapat lagi berfungsi. Salah satu di antaranya adalah kedua kaki Gema.

"Gema, maafkan aku." Suara Gama terdengar parau. Kedua bola mata Gama memerah menahan tangis.

"Gema, bangunlah. Jangan buat ibu terus meneteskan air matanya!"

Gama menyentuh lengan Gema yang dipasangkan jarum infus. Lalu, sebelah tangannya mengusap lembut rambut adik kembarnya yang hitam dan tebal.

"Ini pasti sangat sakit, bahkan seumur hidupmu kau belum pernah merasakannya. Pulihlah untukku dan ibu. Ayah sudah tiada, hanya kita berdua yang diharapkan ibu untuk menemaninya di masa tua," gumam Gama.

"Aku tahu, kau pria kuat Gema. Aku tidak pernah mengajarimu menjadi pria yang lemah Gema. Ayo, bangunlah! Kita akan cari tahu dalang dari semua ini, dan kita akan sama-sama menghancurkan orang biadab itu!"

"Aku juga berjanji akan mencari pacar seperti keinginanmu."

Gama terus mengajak Gema berbicara, seakan sang adik dapat mendengar semua perkataannya. Pria dengan sorot mata tajam itu, berubah lemah tak berdaya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku