Adikku Seorang Pelakor

Adikku Seorang Pelakor

Yoemi

5.0
Komentar
56.3K
Penayangan
103
Bab

Dialah Ayu Wulansari. Pemilik cerita sendu yang ditelan waktu. Sebuah kisah pengkhianatan paling pilu. Dua orang yang paling disayangi, suami dan adik kandungnya sendiri, mengkhianatinya dengan sebuah hubungan terlarang. Perselingkuhan, cinta segitiga yang membuat hidupnya bagai di neraka. Dunia Wulan seakan runtuh. Hatinya remuk ditikam sembilu. Dalam kepedihan hati, dirinya terpaksa menerima pernikahan sang adik perempuan, Nindi. Adiknya yang telah hamil tersebut akan menikah dengan Rangga, laki-laki yang tak lain adalah suami dari Wulan. Ini adalah kisah tentang air mata. Hati yang tercabik luka. Kenyataan hidup tak melulu tentang tawa. Alir hidup di dunia nyata tak seperti dalam drama. Kesedihan dan pilu akan sambung-menyambung tanpa putus. Lalu kebahagiaan, hanya akan datang ketika negeri akhir telah membayang.

Bab 1 Segores Luka

"Kejam! Ini terlalu kejam untukku. Sangat tidak adil. Kenapa dia bisa setega itu?" tangisku pecah tak terkendali begitu mendapati kenyataan bahwa suamiku telah mendua.

"Tenangkan dirimu, Nduk ..." pinta Budhe Lastri sambil berusaha memelukku yang berontak tak dapat mengendalikan diri.

"Mereka biadap, Budhe. Bagaimana mungkin adik kandung dan suamiku bisa setega itu? Mereka manikamku dari belakang. Adik yang aku besarkan penuh kasih sayang, ternyata begitu picik!" pekikku keras. "Mengapa harus dia yang menjadi selingkuhan suamiku? Mengapa?!"

Aku semakin histeris, rasanya tak sanggup menerima kenyataan.

*****

Ini adalah kisah tentang air mata. Hati yang tercabik luka. Kenyataannya, hidup tak melulu tentang tawa. Alir hidup di dunia nyata tak seperti dalam drama. Di mana selalu ada cercah bahagia setelah duka melanda. Kata mereka yang bijak, ketika Tuhan menyayangimu, maka jalanmu semakin terjal. Ujianmu akan semakin berat dan berliku. Kesedihan dan pilu akan sambung-menyambung tanpa putus. Lalu kebahagiaan, hanya akan datang ketika negeri akhir telah membayang.

Ah, entah aku harus percaya atau tidak dengan petuah orang-orang bijak yang telah banyak makan garam kehidupan. Kadang, aku merasa bahwa mereka hanya sedang berusaha menghiburku yang menyedihkan. Memberi setitik harapan semu sebelum aku mati kelu. Namun, dengan jelas aku tahu, kisah sedih ini bagai bayangan yang tak lepas dari hidupku. Mengikatku dengan erat, semakin berat dan penat.

Tuhan menyayangiku? Adakah yang bisa memberi jawaban pasti tentang pertanyaan itu? Aku rasa, selama menyandang status sebagai makhluk, tak akan ada yang bisa menjawabnya dengan segala kepastian. Mereka yang jujur hanya mampu memberi kemungkinan. Mungkin iya, mungkin tidak!

Aku yang tahu betapa kotornya diriku. Selalu merasa bahwa ujian panjang ini bukan karena Tuhan menyayangiku, tetapi sedang marah padaku. Aku yang seorang pendosa, mana pantas hidup bahagia. Iya, aku adalah manusia bunglon yang pandai berpura-pura. Dunia ini adalah panggung teater, tempatku menipu dalam semu. Siapa yang aku tipu? Orang-orang di sekelilingku? Tidak, bukan mereka. Lebih tepatnya aku sedang menipu diriku sendiri, dan mungkin aku sedang mencoba menipu Tuhan. Lihatlah, betapa naif dan pendosanya diriku. Bahkan Tuhan pun ingin aku tipu. Bukankah ini cukup untuk membuat Tuhan marah padaku?

Hahaha .... Apakah aku sudah gila? Mungkin iya. Aku sudah tidak tahu lagi di mana batas normal dari sebuah kewarasan. Pedih dan perih seperti nasi dan lauk yang aku telan setiap hari. Ini cukup untuk bisa membuatku tertawa dengan kubangan air mata. Atau sebaliknya, hati menangis menjerit, tetapi bibir tersenyum ceria bak orang paling bahagia.

Aku yakin, sebagian pasti mengira ini adalah bualan. Sebuah hiperbol untuk mendramatisir cerita. Sayangnya, ini adalah kisah nyata. Kisah sedih yang pilu dalam kehidupan. Tak ada pilihan kecuali menjalaninya. Merangkai hari dengan air mata. Menyulam waktu yang sunyi dengan kidung hati yang mengurai kecewa dan tangis sembilu. Kisah tersembunyi dibalik ketegaran palsu. Jiwa yang kering dengan harapan yang hampir pupus. Aku, Ayu Wulansari, pemilik cerita sendu yang usang ditelan waktu.

*****

Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Menertawakan diriku yang harus tetap tersenyum tegar di hari pernikahan adikku. Adik satu-satunya yang begitu kusayangi. Bagaimana tidak, selepas orang tuaku meninggal, hanya dia yang aku miliki. Ya, kami yatim piatu. Ibu meninggal ketika melahirkan adikku. Sedang bapak, telah berpulang kepangkuan Sang Khaliq ketika usiaku genap dua puluh tahun. Sejak itu, aku hanya hidup berdua bersama adikku. Aku bekerja keras agar kami bisa hidup dengan layak. Tentunya, aku juga harus membiayai adikku yang kala itu masih duduk di bangku SMP.

Kembali pada pernikahan adikku. Mengapa aku menangis di hari bahagianya? Bukankah seharusnya aku ikut bahagia? Normalnya begitu. Namun sayangnya, hidupku sudah tidak normal lagi. Apalagi ketika melihat siapa yang hendak menikahi adikku. Laki-laki itu, dia adalah orang yang aku cintai. Ayah dari anakku. Namun kini, aku harus merelakannya menikahi adikku. Dia yang tadinya suamiku, kini akan menjadi adik iparku.

"Wulan, yang sabar, Nduk ..." kata Budhe Lastri, tetangga sebelah rumah.

Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar nasihat itu. Sabar? Sampai kapan aku bisa bertahan untuk bersabar? Hidupku sudah terasa bagai di neraka. Aku tersiksa. Ingin menangis, berteriak, dan marah. Tapi marah pada siapa? Adikku? Suamiku? Atau pada diriku sendiri? Rasanya, ini seperti lelucon yang tidak lucu. Bagaimana kemalangan ini bisa terjadi padaku?

Tentanng perasaanku, jangan ditanya bagaimana hancurnya. Ini tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sebah yang memenuhi dada. Kecewa yang menyeruak. Marah yang tak dapat kulampiaskan. Entah rasa apa lagi yang membaur di hatiku. Jika tak ingat pada anak laki-lakiku yang masih berusia lima tahun, mungkin aku sudah gantung diri agar tak menyaksikan pernikahan ini.

"Hapus air matamu, Nduk! Budhe tahu ini berat, tetapi ini adalah keputusanmu sendiri, kan?" Budhe Lasti menepuk bahuku. Seakan mencoba memberiku kekuatan untuk tegar dan bertahan.

"Iya, Budhe. Ini memang keputusanku," ucapku lirih.

Entahlah, aku bukannya menghapus air mataku, tetapi tangisku semakin pecah. Air bening itu semakin menganak sungai menyusuri pipiku. Lalu, kupeluk anak semata wayangku yang kecil. Dia tampak kebingungan melihatku menangis.

"Bunda mengapa menangis?" tanya buah hatiku dengan polos.

"Tidak apa-apa, Nak. Bunda tidak menangis. Ini mata bunda hanya kemasukan debu," kilahku.

Aku semakin erat memeluk putraku. Air mataku semakin tak terbendung. Aku menutup mulutku rapat- rapat agar isak tangisku tak terdengar. Meski kami berada di kamar, tetapi di luar telah banyak tamu yang berdatangan. Aku tak ingin mereka mendengar tangisanku ini. Ya, aku masih saja sombong. Tidak ingin terlihat lemah di mata orang-orang.

"Sabar, Nduk ... sabar ...." Budhe Lastri kembali menguatkanku. Kali ini dia juga ikut memelukku dan anakku.

"Terima kasih, Budhe. Budhe selalu ada untukku," gumamku. Entah Budhe Lastri mendengarnya atau tidak karena suaraku sangat lirih.

Budhe Lastri, wanita berusia lima puluh tahun lebih ini sudah seperti ibuku. Beliau ikut merawatku dan adikku waktu kami masih kecil. Sepanjang hari, kami dititipkan di rumah Budhe Lastri ketika bapak pergi bekerja. Dia juga selalu menguatkanku diwaktu aku terpuruk dan mengalami masa sulit. Seperti saat ini. Sudah beberpa hari, Budhe Lastri selalu mendampingiku. Mungkin dia takut jika aku berbuat nekat atau melakukan sesuatu yang berbahaya. Bunuh diri misalnya.

"Mbak, penghulunya sudah datang. Mbak Wulan dan Ibu mau ke depan atau tidak?" tanya Laili, anak kedua Budhe Lastri. Usianya 20 tahun, seusia dengan adikku, Nindi.

Budhe Lastri melepas pelukannya terhadapku dan anakku. Begitu juga denganku yang tak lagi memeluk anakku. Aku lalu menyeka air mata. Menahannya agar tak tumpah lagi.

"Rio ikut Tante Laili dulu ke luar, ya? Nanti Bunda dan Eyang Lastri nyusul."

"Rio sini, ikut sama Tante!" ajak Laili yang langsung menuntun tangan kecil Rio ke luar dari kamarku.

"Kuatkan hatimu, Nduk! Allah itu Maha Baik. Budhe tahu ujian ini berat untukmu, tetapi kau pasti bisa melaluinya. Budhe yakin, Allah sayang sama kamu. Makannya kamu diuji seperti ini untuk mengangkat derajatmu, Nduk."

Budhe Lastri kembali memberi petuah untukku.

"Semoga aku kuat, Budhe."

Mataku kembali berkaca-kaca. Rasanya ingin kembali menumpahkan air bah dari pelupuk mata.

"Harus, kuat, Nduk," tutur Budhe Lastri sambil membimbingku berdiri. Dia menuntunku ke luar kamar, menuju tempat akad nikah adikku dilaksanakan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku