Dialah Ayu Wulansari. Pemilik cerita sendu yang ditelan waktu. Sebuah kisah pengkhianatan paling pilu. Dua orang yang paling disayangi, suami dan adik kandungnya sendiri, mengkhianatinya dengan sebuah hubungan terlarang. Perselingkuhan, cinta segitiga yang membuat hidupnya bagai di neraka. Dunia Wulan seakan runtuh. Hatinya remuk ditikam sembilu. Dalam kepedihan hati, dirinya terpaksa menerima pernikahan sang adik perempuan, Nindi. Adiknya yang telah hamil tersebut akan menikah dengan Rangga, laki-laki yang tak lain adalah suami dari Wulan. Ini adalah kisah tentang air mata. Hati yang tercabik luka. Kenyataan hidup tak melulu tentang tawa. Alir hidup di dunia nyata tak seperti dalam drama. Kesedihan dan pilu akan sambung-menyambung tanpa putus. Lalu kebahagiaan, hanya akan datang ketika negeri akhir telah membayang.
"Kejam! Ini terlalu kejam untukku. Sangat tidak adil. Kenapa dia bisa setega itu?" tangisku pecah tak terkendali begitu mendapati kenyataan bahwa suamiku telah mendua.
"Tenangkan dirimu, Nduk ..." pinta Budhe Lastri sambil berusaha memelukku yang berontak tak dapat mengendalikan diri.
"Mereka biadap, Budhe. Bagaimana mungkin adik kandung dan suamiku bisa setega itu? Mereka manikamku dari belakang. Adik yang aku besarkan penuh kasih sayang, ternyata begitu picik!" pekikku keras. "Mengapa harus dia yang menjadi selingkuhan suamiku? Mengapa?!"
Aku semakin histeris, rasanya tak sanggup menerima kenyataan.
*****
Ini adalah kisah tentang air mata. Hati yang tercabik luka. Kenyataannya, hidup tak melulu tentang tawa. Alir hidup di dunia nyata tak seperti dalam drama. Di mana selalu ada cercah bahagia setelah duka melanda. Kata mereka yang bijak, ketika Tuhan menyayangimu, maka jalanmu semakin terjal. Ujianmu akan semakin berat dan berliku. Kesedihan dan pilu akan sambung-menyambung tanpa putus. Lalu kebahagiaan, hanya akan datang ketika negeri akhir telah membayang.
Ah, entah aku harus percaya atau tidak dengan petuah orang-orang bijak yang telah banyak makan garam kehidupan. Kadang, aku merasa bahwa mereka hanya sedang berusaha menghiburku yang menyedihkan. Memberi setitik harapan semu sebelum aku mati kelu. Namun, dengan jelas aku tahu, kisah sedih ini bagai bayangan yang tak lepas dari hidupku. Mengikatku dengan erat, semakin berat dan penat.
Tuhan menyayangiku? Adakah yang bisa memberi jawaban pasti tentang pertanyaan itu? Aku rasa, selama menyandang status sebagai makhluk, tak akan ada yang bisa menjawabnya dengan segala kepastian. Mereka yang jujur hanya mampu memberi kemungkinan. Mungkin iya, mungkin tidak!
Aku yang tahu betapa kotornya diriku. Selalu merasa bahwa ujian panjang ini bukan karena Tuhan menyayangiku, tetapi sedang marah padaku. Aku yang seorang pendosa, mana pantas hidup bahagia. Iya, aku adalah manusia bunglon yang pandai berpura-pura. Dunia ini adalah panggung teater, tempatku menipu dalam semu. Siapa yang aku tipu? Orang-orang di sekelilingku? Tidak, bukan mereka. Lebih tepatnya aku sedang menipu diriku sendiri, dan mungkin aku sedang mencoba menipu Tuhan. Lihatlah, betapa naif dan pendosanya diriku. Bahkan Tuhan pun ingin aku tipu. Bukankah ini cukup untuk membuat Tuhan marah padaku?
Hahaha .... Apakah aku sudah gila? Mungkin iya. Aku sudah tidak tahu lagi di mana batas normal dari sebuah kewarasan. Pedih dan perih seperti nasi dan lauk yang aku telan setiap hari. Ini cukup untuk bisa membuatku tertawa dengan kubangan air mata. Atau sebaliknya, hati menangis menjerit, tetapi bibir tersenyum ceria bak orang paling bahagia.
Aku yakin, sebagian pasti mengira ini adalah bualan. Sebuah hiperbol untuk mendramatisir cerita. Sayangnya, ini adalah kisah nyata. Kisah sedih yang pilu dalam kehidupan. Tak ada pilihan kecuali menjalaninya. Merangkai hari dengan air mata. Menyulam waktu yang sunyi dengan kidung hati yang mengurai kecewa dan tangis sembilu. Kisah tersembunyi dibalik ketegaran palsu. Jiwa yang kering dengan harapan yang hampir pupus. Aku, Ayu Wulansari, pemilik cerita sendu yang usang ditelan waktu.
*****
Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Menertawakan diriku yang harus tetap tersenyum tegar di hari pernikahan adikku. Adik satu-satunya yang begitu kusayangi. Bagaimana tidak, selepas orang tuaku meninggal, hanya dia yang aku miliki. Ya, kami yatim piatu. Ibu meninggal ketika melahirkan adikku. Sedang bapak, telah berpulang kepangkuan Sang Khaliq ketika usiaku genap dua puluh tahun. Sejak itu, aku hanya hidup berdua bersama adikku. Aku bekerja keras agar kami bisa hidup dengan layak. Tentunya, aku juga harus membiayai adikku yang kala itu masih duduk di bangku SMP.
Kembali pada pernikahan adikku. Mengapa aku menangis di hari bahagianya? Bukankah seharusnya aku ikut bahagia? Normalnya begitu. Namun sayangnya, hidupku sudah tidak normal lagi. Apalagi ketika melihat siapa yang hendak menikahi adikku. Laki-laki itu, dia adalah orang yang aku cintai. Ayah dari anakku. Namun kini, aku harus merelakannya menikahi adikku. Dia yang tadinya suamiku, kini akan menjadi adik iparku.
"Wulan, yang sabar, Nduk ..." kata Budhe Lastri, tetangga sebelah rumah.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar nasihat itu. Sabar? Sampai kapan aku bisa bertahan untuk bersabar? Hidupku sudah terasa bagai di neraka. Aku tersiksa. Ingin menangis, berteriak, dan marah. Tapi marah pada siapa? Adikku? Suamiku? Atau pada diriku sendiri? Rasanya, ini seperti lelucon yang tidak lucu. Bagaimana kemalangan ini bisa terjadi padaku?
Tentanng perasaanku, jangan ditanya bagaimana hancurnya. Ini tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sebah yang memenuhi dada. Kecewa yang menyeruak. Marah yang tak dapat kulampiaskan. Entah rasa apa lagi yang membaur di hatiku. Jika tak ingat pada anak laki-lakiku yang masih berusia lima tahun, mungkin aku sudah gantung diri agar tak menyaksikan pernikahan ini.
"Hapus air matamu, Nduk! Budhe tahu ini berat, tetapi ini adalah keputusanmu sendiri, kan?" Budhe Lasti menepuk bahuku. Seakan mencoba memberiku kekuatan untuk tegar dan bertahan.
"Iya, Budhe. Ini memang keputusanku," ucapku lirih.
Entahlah, aku bukannya menghapus air mataku, tetapi tangisku semakin pecah. Air bening itu semakin menganak sungai menyusuri pipiku. Lalu, kupeluk anak semata wayangku yang kecil. Dia tampak kebingungan melihatku menangis.
"Bunda mengapa menangis?" tanya buah hatiku dengan polos.
"Tidak apa-apa, Nak. Bunda tidak menangis. Ini mata bunda hanya kemasukan debu," kilahku.
Aku semakin erat memeluk putraku. Air mataku semakin tak terbendung. Aku menutup mulutku rapat- rapat agar isak tangisku tak terdengar. Meski kami berada di kamar, tetapi di luar telah banyak tamu yang berdatangan. Aku tak ingin mereka mendengar tangisanku ini. Ya, aku masih saja sombong. Tidak ingin terlihat lemah di mata orang-orang.
"Sabar, Nduk ... sabar ...." Budhe Lastri kembali menguatkanku. Kali ini dia juga ikut memelukku dan anakku.
"Terima kasih, Budhe. Budhe selalu ada untukku," gumamku. Entah Budhe Lastri mendengarnya atau tidak karena suaraku sangat lirih.
Budhe Lastri, wanita berusia lima puluh tahun lebih ini sudah seperti ibuku. Beliau ikut merawatku dan adikku waktu kami masih kecil. Sepanjang hari, kami dititipkan di rumah Budhe Lastri ketika bapak pergi bekerja. Dia juga selalu menguatkanku diwaktu aku terpuruk dan mengalami masa sulit. Seperti saat ini. Sudah beberpa hari, Budhe Lastri selalu mendampingiku. Mungkin dia takut jika aku berbuat nekat atau melakukan sesuatu yang berbahaya. Bunuh diri misalnya.
"Mbak, penghulunya sudah datang. Mbak Wulan dan Ibu mau ke depan atau tidak?" tanya Laili, anak kedua Budhe Lastri. Usianya 20 tahun, seusia dengan adikku, Nindi.
Budhe Lastri melepas pelukannya terhadapku dan anakku. Begitu juga denganku yang tak lagi memeluk anakku. Aku lalu menyeka air mata. Menahannya agar tak tumpah lagi.
"Rio ikut Tante Laili dulu ke luar, ya? Nanti Bunda dan Eyang Lastri nyusul."
"Rio sini, ikut sama Tante!" ajak Laili yang langsung menuntun tangan kecil Rio ke luar dari kamarku.
"Kuatkan hatimu, Nduk! Allah itu Maha Baik. Budhe tahu ujian ini berat untukmu, tetapi kau pasti bisa melaluinya. Budhe yakin, Allah sayang sama kamu. Makannya kamu diuji seperti ini untuk mengangkat derajatmu, Nduk."
Budhe Lastri kembali memberi petuah untukku.
"Semoga aku kuat, Budhe."
Mataku kembali berkaca-kaca. Rasanya ingin kembali menumpahkan air bah dari pelupuk mata.
"Harus, kuat, Nduk," tutur Budhe Lastri sambil membimbingku berdiri. Dia menuntunku ke luar kamar, menuju tempat akad nikah adikku dilaksanakan.
Bab 1 Segores Luka
23/06/2022
Bab 2 Pernikahan Nindi
23/06/2022
Bab 3 Hati yang Perih
23/06/2022
Bab 4 Adu Mulut
23/06/2022
Bab 5 Lelaki Egois
23/06/2022
Bab 6 Keputusan Berat
23/06/2022
Bab 7 Menerima Kenyataan
23/06/2022
Bab 8 Berusaha Ikhlas
23/06/2022
Bab 9 Cinta Terlarang
23/06/2022
Bab 10 Prahara Rumah Tangga
23/06/2022
Bab 11 Demi Anak
23/06/2022
Bab 12 Drama dengan Nindi
26/06/2022
Bab 13 Menyibukkan Diri
27/06/2022
Bab 14 Kemesraan yang Menyakitkan
28/06/2022
Bab 15 Pura-pura Bahagia
29/06/2022
Bab 16 Panik; Aku Hamil Lagi
29/06/2022
Bab 17 Periksa ke Dokter
29/06/2022
Bab 18 Tak Dapat Menghindari Pertengkaran
30/06/2022
Bab 19 Penjelasan untuk Rio
30/06/2022
Bab 20 Kecemburuan
30/06/2022
Bab 21 Hasil USG
01/07/2022
Bab 22 Barang-Barang untuk Bayi
02/07/2022
Bab 23 Ulah Nindi
03/07/2022
Bab 24 Nasihat Budhe Lastri
03/07/2022
Bab 25 Kegilaan Mas Rangga
04/07/2022
Bab 26 Harta Gono Gini
06/07/2022
Bab 27 Bukan Janda Murahan
07/07/2022
Bab 28 Rencana Sewa Rumah
09/07/2022
Bab 29 Perang Terbuka
10/07/2022
Bab 30 Isi Hati Nindi
11/07/2022
Bab 31 Rasa Bersalah
12/07/2022
Bab 32 Nasihat
13/07/2022
Bab 33 Membujuk Nindi
14/07/2022
Bab 34 Berpikir Ulang
15/07/2022
Bab 35 Kebingungan Rangga
16/07/2022
Bab 36 Kontraksi
17/07/2022
Bab 37 Operasi
18/07/2022
Bab 38 Menyembunyikan Kenyataan
19/07/2022
Bab 39 Penolakan Nindi
20/07/2022
Bab 40 Bukan Pembantu
21/07/2022