Adikku Seorang Pelakor
, sebuah acara pernikahan haruslah ada saksi dan disunahkan menggelar walimah meski hanya kecil-kecilan. Untuk itulah kami tetap mengundan
memandang adikku, Nindi. Dirinya tampak cantik dengan balutan kebaya berwarna putih. Sejenak pandanganku beralih ke perut
ai wali nikah. Dulu, tujuh tahun yang lalu hal seperti ini telah terjadi. Laki-laki itu juga duduk di samping paman. Namun, di samping satunya lagi, bukan
alan paman. Katanya dia adalah pemuda yang baik. Aku pun menurut untuk menikah denganya. Beberapa kali pertemuan kami sebelum menikah, dia selalu bersikap so
t sangat menyayangi adikku. Aku merasa tenang dengan hal itu. Setelah duka karena kehilangan sosok ayah, kami menemukan laki-laki yang bisa menjaga kam
asuk untuk mencukupi biaya sekolah Nindi tentunya. Setelah menikah, kami memang membuka sebuah warung makan. Ta
un aku ke sana, paling hanya duduk di belakang meja kasir. Mungkin kata orang-orang memang benar. Tiap anak yang lahir itu membawa rijekinya sendiri. Buktinya, setelah kelahiran Rio, wa
warung makan milikku dan Mas Rangga. Nindi memilih mengambil kursus. Biar bisa cepat kerja katanya. Kursus jahit, itu yang dipilihnya. Nindi memang tidak
ftar. Sejak saat itu, suami dan adikku memang terlihat lebih dekat. Aku tak pernah curiga dengan kedekatan mereka.
u menjalin hubungan. Mereka berselingkuh. Aku baru tahu setelah hubungan mereka berjalan hampir dua tahun. Ent
sambil bersimpuh di kakiku. Tangis adikk
aki yang tujuh tahun bersamaku, terlihat sangat mencintaiku, ternyata tega memakan adik kandungku? Apa salah dan do
khilaf. Maaf
un aku menepisnya. Tiba-tiba tanggan Mas
sendiri!" ucapku
an .
Wulan
epertinya mereka ingin membujukku. Namun aku yang te
ian tidak mau perg
ereka berusaha mencegahku. Akan tetapi aku tidak peduli. Dengan sisa tenaga yang
udhe Lastri. Namun aku menutup pintu ru
masuk, kita harus bicara!" teriak
n melihat wajahmu!" sungutku dengan
a Mas Rangga masih terd
Rangga, Nduk. Kau masukla
rtemu dengannya,
ulu, percayalah sama Budhe!
mperhatikanku di belakang Budhe Lastri pun mengikutiku masuk. Samar-samar aku masih mendengar suara Mas Rangga
tara, biar Wulan di sini. Biar dia t
Budhe
i rumah. Setelah Nak Wulan tenang, dia
ri kamar. Tak lama setelah itu, aku tak mendengar apa-apa lagi. Sepertinya Mas Rangga
" kalimat yang dari tadi diulang Laili
asuki pendengaranku. Aku pun segera memeluk wa
ndi? Dia itu adikku, Budhe. Mengapa Mas Rangga setega ini padaku?" Tangisku semakin
tri. "Laili, buatkan teh hang
g penurut segera bang
a masih kecil. Masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Nyebut, Nduk ... ingat sama Gusti Allah. Jangan gegabah!" nasihat
sa setega itu terhadapku? Ini rasanya benar-benar seperti mimpi buruk. Aku ingin terbangun dari mimpi dan menemukan bahwa itu hanya bunga tidur. S