Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Tulus Trouble Maker

Cinta Tulus Trouble Maker

BiBiFi

5.0
Komentar
35
Penayangan
5
Bab

"Dia sendiri. Traumatik pasca bully dan selalu bertujuan untuk bunuh diri. Mama harap kamu mau bantu Mama untuk buat dia sembuh. Walau kamu terkenal trouble maker, tolong kali ini saja jadi solving maker. Mau ya?" Banyu Saka Rajendra, trouble maker sekolah yang terkenal menyebalkan. Mulutnya lemes otaknya cerdik membuat musuhnya bukan hanya status murid tapi guru juga banyak. Hidup dengan latar psikologi sedikit membuatnya paham akan dunia itu, tapi tugas yang mamanya pinta bukan hal mudah untuk Banyu. Mampukah Banyu menyelesaikan permintaan mamanya itu? Yukk langsung baca.. Cover by. pexels CC by. Me in Canva free

Bab 1 Pasien Rumah Sakit Jiwa

Brakk

Tranggg

Sreeekkk

"JANGAN MENDEKAT!!"

Lengkingan suara itu kini menggema ke semua penjuru ruangan. Para penjaga kini bergegas menemui seseorang yang beberapa detik lalu menyebabkan keributan di siang bolong begini.

Beberapa suster dan penjaga mencoba menenangkan dengan ucapan, namun saking banyaknya suara yang datang. Orang di dalam ruangan itu justru lebih histeris dari sebelumnya.

"Aaa jangan.. jangan.. JANGAN!!"

Permainan pikiran adalah salah satu sumber tenaga terkuat untuk tubuh. Jika mindset sudah di bangun menyatakan mereka musuh maka tubuh akan merespon sejalan dengan pemikiran itu.

Sama halnya dengan pasien ini. Dia menanamkan mindset semuanya jahat, tubuhnya merespon dengan berontak, mengeluarkan semua tenaga untuk menghindar dari para penjaga dan suster yang menanganinya.

Menendang, berteriak, melakukan semuanya untuk pertahanan agar tidak ada yang menyentuh. Sampai satu jam aksi percobaan semua tidak membuahkan hasil. Kekuatan gadis remaja ini masih sama seperti di awal.

"Sudah satu jam Sus, kita tidak bisa menangani lebih lama lagi. Tenaga penjaga habis dia malah tambah histeris."

Kepala suster yang tadi di panggil itu berpikir sejenak. Dia melihat beberapa penjaga dan suster memang sudah bersimbah keringat, nampak sesekali meliriknya juga untuk instruksi selanjutnya.

Kepala suster itu mendesah lelah. Sebenarnya bukan hanya mereka saja yang lelah, kepala suster ini juga sama.

"Ambilkan obat penenang!!"

Tiga detik berlalu tapi semua masih diam di tempat.

"Tidak ada yang mau mengambil?" kepala perawat itu kini berkata sinis. Membuat semua penjaga dan perawat lain sedikit ketakutan.

"Ta-tapi Sus, ini sudah dosis yang kesekian, dan itu menyalahkan aturan pemakaian. Kita bisa membuat pasien jadi--"

"Kalau tidak mau cara instant, kawal terus anak itu. Sampai dia tenang!"

Semuanya kembali bimbang. Saling menatap satu sama lain dan pada akhirnya mereka semua mengangguk.

Lelah setengah hari ini menangani pasien dengan kasus hampir sama, juga panas di siang ini yang jelas terasa padahal ini ruangan AC, membuat pikiran lelah ingin langsung mengakhiri semuanya dengan istirahat siang yang sebentar lagi tiba.

"Baiklah."

Dengan sigap satu perawat mengambil obat penenang dan perlengkapan lainnya.

Dilain sisi kegaduhan belum pudar juga, pasien masih memberontak dan merancau dengan berbagai sebutan tidak jelas. Kurang dari lima belas menit lagi bel istirahat akan terdengar. Tentu pada dasarnya tidak ada yang mau mengorbankan waktu berharga satu jam istirahat mereka hanya untuk mengurus pasien gangguan jiwa itu.

"Ini, Sus."

"Pegangi dengan kuat." semua menurut dengan perintah kepala perawat itu. Semua menutup mata akan pengetahuan mereka soal efek samping dosis berlebih. Toh, pasien ini sudah gila, jika bertambah gila itu tidak akan bermasalah.

Namun, ketika jarum suntik satu senti lagi menembus kulit pasien seseorang datang dan menggagalkan semuanya.

"Stop!! penyalahgunaan obat penenang, heh?"

Wanita setengah baya dengan jas putih khas dokter juga rambut sebahunya memberi kesan tegas untuk setiap ucapan yang terdengar.

Semua diam melihat sosok itu. Mereka bingung dengan kedatangan orang asing di tempat buangan begini.

"Tunggu apa lagi?! Atau kalian mau saya langsung panggil kepala kepolisian?!!" bentak wanita itu garang dengan mata mendelik.

Semua panik mereka menjauh dan meninggalkan pasien tepat saat wanita berambut sebahu itu memperlihatkan tanda pengenalnya.

"Heh, mereka hanya takut pada lencana polisi," desisnya sambil kembali mengantongi benda sakti tadi.

Lupakan soal para suster dan penjaga itu, kini wanita yang mengaku dokter polisi menajamkan penglihatannya. Dia sekarang jelas melihat perempuan remaja yang berantakan sekali tampilannya.

Mata sembab, lebam di mana-mana, rambut awut-awutan juga air mata yang masih mengalir walau sesekali ia hapus kasar.

Beralih dokter kepolisian itu kini melihat semua sudut rumah sakit. Di awal dia masuk sampai berada di dalam banyak sekali hal tidak sesuai di sini.

"Rumah sakit jiwa kelas bawah. Pasti banyak penggelapan dana disini. Hiss.. mereka bahakan menggunakan obat penenang sesuka hati tanpa aturan." kembali desisannya keluar kala melihat banyak bungkus obat penenang di tong sampah.

Yap, namanya manusia, sisi setan mereka bisa saja lebih dominan dari pada hati nurani mereka sendiri. Tidak munafik dalam diri wanita itu juga mengiyakan kalau bisa saja dia tergoda jika hidup di kota terpencil begini.

"Pasti gaji mereka rendah, tapi mau keluar pun, tidak tau harus kemana. Yah, realita memang selalu terasa sadis jika di bandingkan dengan keharusan hati nurani tumbuh."

Beralih ke hal lain, kini senyum tipis terpatri di wajah wanita itu, sambil berjongkok melihat pasien yang masih di dalam ruangan yang lebih mirip penjara ini.

Hanya ada kasur lantai, sudah itu saja. Di bagian depan saat ia masuk tadi kamar pasien hanya di sekat besi, persis penjara, namun pasien ini berbeda.

Walau peralatan yang ada di dalamnya sama, hanya kasur lantai saja tapi ruangan pasien ini terpisah sendiri.

"Aku jadi penasaran, mengapa kamu di bedakan?"

Hening agak lama.

Wanita itu sengaja membuat suasana di sekitar dia dan pasien di dalam sana tenang. Karier sebagai dokter kepolisian membuat ilmunya merambah, bukan hanya forensik atau penyakit umum, kejiwaan juga dia kuasai.

Agak lama, pasien itu akhirnya tenang. Tangisnya berhenti. Hanya sedikit senggukan sisa tangis yang terdengar.

Wanita itu kembali tersenyum tipis. Ini tentu suatu kemajuan dari pasien di depannya.

Dan tidak lama menunggu lagi, dokter kepolisian itu melihat pergerakan pasien. Menoleh sekitarnya dan sampai pada sosoknya yang kini tepat berada di depan gadis itu, dia sedikit beringsut mundur.

Ini reaksi wajar, sangat wajar bagi depresan tingkat manapun. Orang asing bagi mereka adalah ancaman.

"Haii.." sapaan lembut tanpa pergerakan tubuh hanya senyuman saja, menjadi pembuka pembicaraan dua orang itu. Dokter polisi ini berharap tindakannya benar, sebab walau dalam teori psikologi semua sudah di jalankan dengan baik dan runtut, tapi individu punya cara pandang sendiri. Mindset mereka juga sesuai dengan apa yang mereka rasa, jadi mungkin saja individu memiliki ciri khas arah pandang dan pemaknaan kawan atau lawan yang berbeda dari teori buku manapun. Inilah tantangan sebagai seorang psikolog.

Hening lagi.

Dengan hati-hati dokter itu berucap, "aku juga sama dengan kamu, pernah melihat hal orang banyak seperti tadi. Menurut mu.. mereka bagaimana? Kalau menurutku mereka itu baik. Tapi kondisi hidup yang membuat mereka terpaksa berbuat salah. Mau tau kenapa?"

Netra dokter tadi melihat pasien di depannya kini tidak mundur lagi. Ini memang belum dikatakan berhasil, tapi sudah cukup bagus sebab mendapat respon netral dari pasiennya ini.

"Hmm.. aku rasa mereka punya orang yang harus di jaga, jadi.. mau tidak mau harus berbuat salah. Entahlah, aku juga tidak mengerti sebetulnya bagaimana jalan pemikiran itu bisa di katakan benar atau sebaliknya."

"Mereka.. terpaksa?"

Senyum lebar hampir saja keluar dari wajah dokter berambut sebahu ini. Dia tidak mengira secepat itu pasien merespon.

"Mereka.. terpaksa, ibu?"

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku