/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Malam itu, aroma whisky mahal bercampur keringat memenuhi ruang penthouse Arya Adhitama. Jantungnya berdebar, bukan karena adrenalin bisnis yang biasa ia rasakan, melainkan sensasi panas membakar yang merayapi setiap inci kulitnya. Matanya berkabut, fokusnya buyar. Ruangan mewah yang biasanya menjadi singgasananya kini terasa seperti oven.
"Sialan!" desis Arya, mencengkeram erat kerah kemejanya yang terasa mencekik.
Beberapa jam sebelumnya, Clara-gadis yang didorong mati-matian oleh Kakeknya untuk menjadi menantu-memberinya minuman 'selamat datang' di acara makan malam kecil. Arya sudah curiga, tapi ia terlalu lelah untuk berdebat. Sekarang, panas ini bukan sekadar efek lelah. Ini lebih ke arah neraka.
Ia bergegas ke kamar mandi, mengguyur wajahnya berulang kali di bawah kran wastafel marmer. Air dingin hanya memberikan kelegaan sesaat, setelah itu sensasi mendesak itu kembali, menuntut pemuasan yang brutal. Otaknya memerintahkan logis, menyuruhnya menelepon Dokter pribadi, atau setidaknya pengawal. Tapi tubuhnya... tubuhnya memberontak.
Di sayap kamar tamu yang terpisah, Alana Shafira baru saja menyelesaikan rutinitas malamnya: memastikan Kakek Adhitama sudah tidur pulas, mematikan lampu baca, dan mencatat jadwal pemberian obat besok pagi. Alana adalah perawat pribadi Kakek Adhitama. Tugasnya, dan juga hidupnya, sangat sederhana. Berasal dari keluarga biasa di pelosok Jawa Tengah, Alana datang ke Jakarta hanya untuk satu tujuan: bekerja keras demi menyekolahkan adiknya. Statusnya di rumah megah ini hanyalah bayangan; dilihat sebelah mata oleh nyonya rumah, dianggap angin lalu oleh Tuan muda Arya.
Saat ia berjalan pelan menuju kamar perawatnya, langkah kakinya terhenti. Ada suara gaduh dari arah lorong utama, lorong yang seharusnya sepi setelah jam 10 malam. Jantung Alana berdegup kencang. Ia tahu ini tidak baik.
"Tolong... siapa pun..."
Suara itu serak dan berat, bukan seperti suara Arya yang selalu angkuh dan tegas. Alana ragu. Ia harusnya mengabaikan dan kembali ke kamarnya. Arya Adhitama adalah zona terlarang. Tapi ia perawat. Dan ada orang yang terdengar kesakitan.
Ia memajukan langkah, perlahan mengintip ke arah ruang tamu keluarga yang luas. Sosok Arya berdiri membelakanginya, memukul dinding kaca dengan tinjunya hingga terdengar bunyi samar retakan. Pria itu tampak seperti hewan yang terluka dan terperangkap. Punggungnya naik turun dengan napas yang memburu.
"Tuan Arya?" panggil Alana pelan, suaranya nyaris berbisik.
Arya berbalik. Matanya merah menyala, bukan karena marah, tapi karena kebutuhan yang tak tertahankan. Saat pandangan matanya jatuh pada Alana, pada sosok polos berbaju piyama katun tipis yang berdiri kaku di ambang pintu, rasionalitasnya benar-benar hancur. Obat itu telah mengambil alih sepenuhnya.
Di mata Arya yang dikuasai nafsu, Alana bukan lagi perawat pribadi Kakeknya. Dia adalah penyelamat, satu-satunya jalan keluar dari siksaan yang menghanguskan.
"Kamu..." kata Arya, suaranya berubah menjadi geraman.
Alana mundur selangkah, nalurinya menjerit bahaya. "Tuan, Tuan baik-baik saja? Saya akan panggil Dokter Haikal..."
Ia bahkan belum sempat mengeluarkan ponselnya ketika Arya bergerak. Cepat, brutal, dan tanpa peringatan. Dalam hitungan detik, tubuh kekar Arya sudah menjebaknya di antara dinding dan lengan kokohnya. Aroma whisky, parfum mahal, dan sesuatu yang pahit menyeruak.
"Jangan pergi..." pintanya, tapi cara ia memohon terdengar seperti perintah mutlak.
Alana panik. Ia mendorong dada Arya sekuat tenaga. "Lepaskan! Tuan, apa yang Tuan lakukan!?"
"Panas... tolong... aku panas..." desah Arya, dan cengkeramannya menguat.
Ketakutan mencekik Alana. Ini bukan lagi Arya yang dikenalnya, si CEO angkuh yang acuh tak acuh. Ini adalah orang asing yang dikuasai kegelapan. Ia berjuang, menggigit bahunya, menendang kakinya, tapi Arya terlalu kuat. Kekuatan seorang perawat kecil tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan CEO yang kehilangan akal sehatnya.
Perlawanan Alana hanya memicu reaksi yang lebih keras. Kepanikan Arya berubah menjadi kebutaan. Pria itu mengangkat tubuh Alana, mengabaikan rontaan kecilnya, dan membawanya menuju kamar tidur tamu terdekat-kamar tempat semuanya seharusnya tetap menjadi rahasia, kamar yang kini menjadi saksi bisu kehancuran.
Pagi datang membawa cahaya yang brutal. Sinar matahari pagi menembus tirai sutra tebal, memotong kegelapan dengan kejam.
Kepala Arya berdenyut hebat. Ia membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di kasur yang tidak ia kenali, di sebelah wanita yang seharusnya tidak ada di sana.
Alana.
Ia terbaring meringkuk, memunggunginya. Rambutnya berantakan, dan punggung piyama katunnya robek di bahu. Selimut menutupi sebagian besar tubuhnya, tapi pemandangan itu sudah cukup untuk membuat perut Arya mual.
Kilasan ingatan malam tadi datang menghantamnya. Panas yang membakar, rasa putus asa, siluet tubuh yang melawan, teriakan yang tercekat... Ia memegang kepalanya, seolah ingin meredam suara-suara di kepalanya. Itu bukan mimpi. Itu nyata.
Dia, Arya Adhitama, baru saja merenggut sesuatu yang tak ternilai harganya dari perawat pribadi Kakeknya, seorang wanita polos yang selama ini nyaris tak pernah ia sapa.
Arya bangkit cepat, rasa sakit di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa jijik pada dirinya sendiri. Ia menyambar celana panjangnya dan berdiri di tepi tempat tidur, melihat ke bawah pada sosok yang masih diam itu.
"Alana," panggilnya, suaranya serak dan dingin, seperti baru saja keluar dari kawah es.
Alana tidak bergerak.
Arya mendekat, menjulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi ia menarik tangannya kembali sebelum sempat menyentuh kulitnya. Sentuhan yang tak disengaja malam tadi sudah membawa konsekuensi bencana. Ia tak sanggup menyentuhnya lagi.
"Bangun," perintah Arya, kali ini lebih keras, kembali ke persona angkuh yang ia kenakan setiap hari. Itu satu-satunya cara ia bisa menghadapi situasi ini tanpa ambruk.
/0/30994/coverorgin.jpg?v=705668a6b284e9d6cefcf07eb7eb4486&imageMogr2/format/webp)
/0/12671/coverorgin.jpg?v=375c18c57597d6368c6fa370195bcc84&imageMogr2/format/webp)
/0/17878/coverorgin.jpg?v=1a1e91ae2d6693eebb5ac59d07d8724f&imageMogr2/format/webp)
/0/15747/coverorgin.jpg?v=b6b9887edb1e39c8c97b06cd7125b84a&imageMogr2/format/webp)
/0/27413/coverorgin.jpg?v=20250926002939&imageMogr2/format/webp)
/0/26152/coverorgin.jpg?v=20250711083106&imageMogr2/format/webp)
/0/19217/coverorgin.jpg?v=9bc5732d7d827855db7ee5fcf0b96fa5&imageMogr2/format/webp)
/0/4259/coverorgin.jpg?v=20250121182434&imageMogr2/format/webp)
/0/23440/coverorgin.jpg?v=9f3e1f60463dc6fd69384fc9d0c1f59d&imageMogr2/format/webp)
/0/20606/coverorgin.jpg?v=c98e1c490cae7844ad7e903fdae0f8a1&imageMogr2/format/webp)
/0/22399/coverorgin.jpg?v=20250317180439&imageMogr2/format/webp)
/0/16482/coverorgin.jpg?v=78af108cc6452019e114853308ad64ab&imageMogr2/format/webp)
/0/7048/coverorgin.jpg?v=fae5efbc5e95799fc91344de1ba98199&imageMogr2/format/webp)
/0/16862/coverorgin.jpg?v=5b58bde442f778486c7d04e37d3d2af3&imageMogr2/format/webp)
/0/17815/coverorgin.jpg?v=22532312abb581bb0af87ccc4a8b6038&imageMogr2/format/webp)
/0/11004/coverorgin.jpg?v=3f487766eb55efe4faa0737a8aed7553&imageMogr2/format/webp)
/0/2646/coverorgin.jpg?v=0750096518f58d429c0eaa5c15660d31&imageMogr2/format/webp)
/0/29620/coverorgin.jpg?v=20251124142728&imageMogr2/format/webp)
/0/27796/coverorgin.jpg?v=8435240c74d5e8cedcdf22f4ce610f4c&imageMogr2/format/webp)