Balas Dendam Sang Mantan Kekasih yang Dikhianati

Balas Dendam Sang Mantan Kekasih yang Dikhianati

Roby

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

Aryan Adhitama, seorang CEO dengan aura dingin dan dominasi, harus menghadapi kenyataan pahit: ia terpaksa menikahi Alana Shafira, perawat pribadi kakeknya yang sederhana. Peristiwa ini bermula dari malam yang kelam, ketika Aryan tanpa sengaja dijebak oleh wanita pilihan sang kakek dengan obat perangsang. Dalam kondisi tak sadar, ia merenggut kesucian Alana. Demi menjaga nama baik keluarga dan sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan yang tidak sepenuhnya ia sadari, pernikahan pun dilangsungkan. Bagi Aryan, Alana hanyalah sebuah kewajiban. Bagi Alana, pernikahan ini adalah awal dari penderitaan batin, terjebak bersama pria yang menganggapnya tak lebih dari beban. Mampukah dua hati yang dipersatukan oleh paksaan dan sebuah kesalahpahaman menemukan kebahagiaan sejati di tengah perbedaan status, dendam, dan rahasia keluarga yang mengancam?

Bab 1 Ruangan mewah yang biasanya menjadi singgasananya

Malam itu, aroma whisky mahal bercampur keringat memenuhi ruang penthouse Arya Adhitama. Jantungnya berdebar, bukan karena adrenalin bisnis yang biasa ia rasakan, melainkan sensasi panas membakar yang merayapi setiap inci kulitnya. Matanya berkabut, fokusnya buyar. Ruangan mewah yang biasanya menjadi singgasananya kini terasa seperti oven.

"Sialan!" desis Arya, mencengkeram erat kerah kemejanya yang terasa mencekik.

Beberapa jam sebelumnya, Clara-gadis yang didorong mati-matian oleh Kakeknya untuk menjadi menantu-memberinya minuman 'selamat datang' di acara makan malam kecil. Arya sudah curiga, tapi ia terlalu lelah untuk berdebat. Sekarang, panas ini bukan sekadar efek lelah. Ini lebih ke arah neraka.

Ia bergegas ke kamar mandi, mengguyur wajahnya berulang kali di bawah kran wastafel marmer. Air dingin hanya memberikan kelegaan sesaat, setelah itu sensasi mendesak itu kembali, menuntut pemuasan yang brutal. Otaknya memerintahkan logis, menyuruhnya menelepon Dokter pribadi, atau setidaknya pengawal. Tapi tubuhnya... tubuhnya memberontak.

Di sayap kamar tamu yang terpisah, Alana Shafira baru saja menyelesaikan rutinitas malamnya: memastikan Kakek Adhitama sudah tidur pulas, mematikan lampu baca, dan mencatat jadwal pemberian obat besok pagi. Alana adalah perawat pribadi Kakek Adhitama. Tugasnya, dan juga hidupnya, sangat sederhana. Berasal dari keluarga biasa di pelosok Jawa Tengah, Alana datang ke Jakarta hanya untuk satu tujuan: bekerja keras demi menyekolahkan adiknya. Statusnya di rumah megah ini hanyalah bayangan; dilihat sebelah mata oleh nyonya rumah, dianggap angin lalu oleh Tuan muda Arya.

Saat ia berjalan pelan menuju kamar perawatnya, langkah kakinya terhenti. Ada suara gaduh dari arah lorong utama, lorong yang seharusnya sepi setelah jam 10 malam. Jantung Alana berdegup kencang. Ia tahu ini tidak baik.

"Tolong... siapa pun..."

Suara itu serak dan berat, bukan seperti suara Arya yang selalu angkuh dan tegas. Alana ragu. Ia harusnya mengabaikan dan kembali ke kamarnya. Arya Adhitama adalah zona terlarang. Tapi ia perawat. Dan ada orang yang terdengar kesakitan.

Ia memajukan langkah, perlahan mengintip ke arah ruang tamu keluarga yang luas. Sosok Arya berdiri membelakanginya, memukul dinding kaca dengan tinjunya hingga terdengar bunyi samar retakan. Pria itu tampak seperti hewan yang terluka dan terperangkap. Punggungnya naik turun dengan napas yang memburu.

"Tuan Arya?" panggil Alana pelan, suaranya nyaris berbisik.

Arya berbalik. Matanya merah menyala, bukan karena marah, tapi karena kebutuhan yang tak tertahankan. Saat pandangan matanya jatuh pada Alana, pada sosok polos berbaju piyama katun tipis yang berdiri kaku di ambang pintu, rasionalitasnya benar-benar hancur. Obat itu telah mengambil alih sepenuhnya.

Di mata Arya yang dikuasai nafsu, Alana bukan lagi perawat pribadi Kakeknya. Dia adalah penyelamat, satu-satunya jalan keluar dari siksaan yang menghanguskan.

"Kamu..." kata Arya, suaranya berubah menjadi geraman.

Alana mundur selangkah, nalurinya menjerit bahaya. "Tuan, Tuan baik-baik saja? Saya akan panggil Dokter Haikal..."

Ia bahkan belum sempat mengeluarkan ponselnya ketika Arya bergerak. Cepat, brutal, dan tanpa peringatan. Dalam hitungan detik, tubuh kekar Arya sudah menjebaknya di antara dinding dan lengan kokohnya. Aroma whisky, parfum mahal, dan sesuatu yang pahit menyeruak.

"Jangan pergi..." pintanya, tapi cara ia memohon terdengar seperti perintah mutlak.

Alana panik. Ia mendorong dada Arya sekuat tenaga. "Lepaskan! Tuan, apa yang Tuan lakukan!?"

"Panas... tolong... aku panas..." desah Arya, dan cengkeramannya menguat.

Ketakutan mencekik Alana. Ini bukan lagi Arya yang dikenalnya, si CEO angkuh yang acuh tak acuh. Ini adalah orang asing yang dikuasai kegelapan. Ia berjuang, menggigit bahunya, menendang kakinya, tapi Arya terlalu kuat. Kekuatan seorang perawat kecil tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan CEO yang kehilangan akal sehatnya.

Perlawanan Alana hanya memicu reaksi yang lebih keras. Kepanikan Arya berubah menjadi kebutaan. Pria itu mengangkat tubuh Alana, mengabaikan rontaan kecilnya, dan membawanya menuju kamar tidur tamu terdekat-kamar tempat semuanya seharusnya tetap menjadi rahasia, kamar yang kini menjadi saksi bisu kehancuran.

Pagi datang membawa cahaya yang brutal. Sinar matahari pagi menembus tirai sutra tebal, memotong kegelapan dengan kejam.

Kepala Arya berdenyut hebat. Ia membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di kasur yang tidak ia kenali, di sebelah wanita yang seharusnya tidak ada di sana.

Alana.

Ia terbaring meringkuk, memunggunginya. Rambutnya berantakan, dan punggung piyama katunnya robek di bahu. Selimut menutupi sebagian besar tubuhnya, tapi pemandangan itu sudah cukup untuk membuat perut Arya mual.

Kilasan ingatan malam tadi datang menghantamnya. Panas yang membakar, rasa putus asa, siluet tubuh yang melawan, teriakan yang tercekat... Ia memegang kepalanya, seolah ingin meredam suara-suara di kepalanya. Itu bukan mimpi. Itu nyata.

Dia, Arya Adhitama, baru saja merenggut sesuatu yang tak ternilai harganya dari perawat pribadi Kakeknya, seorang wanita polos yang selama ini nyaris tak pernah ia sapa.

Arya bangkit cepat, rasa sakit di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa jijik pada dirinya sendiri. Ia menyambar celana panjangnya dan berdiri di tepi tempat tidur, melihat ke bawah pada sosok yang masih diam itu.

"Alana," panggilnya, suaranya serak dan dingin, seperti baru saja keluar dari kawah es.

Alana tidak bergerak.

Arya mendekat, menjulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi ia menarik tangannya kembali sebelum sempat menyentuh kulitnya. Sentuhan yang tak disengaja malam tadi sudah membawa konsekuensi bencana. Ia tak sanggup menyentuhnya lagi.

"Bangun," perintah Arya, kali ini lebih keras, kembali ke persona angkuh yang ia kenakan setiap hari. Itu satu-satunya cara ia bisa menghadapi situasi ini tanpa ambruk.

Alana perlahan bergerak. Ia tidak membuka mata, tapi tangannya yang gemetar menarik selimut lebih tinggi, seolah selimut itu benteng terakhirnya.

"Alana, lihat aku!"

Alana membuka mata, dan pandangan mata itu langsung menghancurkan pertahanan Arya. Matanya bengkak, merah, tapi yang paling menyakitkan adalah kekosongan yang ada di sana. Tidak ada amarah. Tidak ada air mata. Hanya kehampaan yang mematikan.

"Sudah bangun, Tuan?" tanyanya, suaranya sangat pelan, tanpa emosi, seolah ia hanya menanyakan kondisi cuaca.

Arya tersentak. "Jangan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa!"

Alana akhirnya duduk, menjauhkan selimut dari tubuhnya. Ia merasakan setiap ototnya menjerit sakit. Ia mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, menghindari pandangan Arya, dan menatap ke depan.

"Memang tidak terjadi apa-apa, Tuan," katanya lirih. "Kecelakaan. Kelalaian. Kesalahan yang harus dibayar."

Arya merasa terhina dengan ketenangan Alana. Dia mengharapkan jeritan, tamparan, atau setidaknya air mata. Bukan penerimaan yang mati rasa ini.

"Dengar," kata Arya, suaranya berubah menjadi nada bisnis yang tajam. "Aku minta maaf. Aku tidak sadar. Aku dijebak, aku..."

"Saya tahu, Tuan," potong Alana. "Saya mendengar pertengkaran Tuan di telepon semalam dengan Clara. Saya tahu Tuan tidak sengaja."

Pengakuan itu semakin menyulitkan Arya. Rasa bersalahnya berlipat ganda. Alana tahu, tapi dia tidak berteriak menyalahkan.

"Aku akan bertanggung jawab," janji Arya, memaksakan kata-kata itu keluar. "Aku akan berikan kamu apa pun yang kamu mau. Uang. Berapa pun. Aku akan pastikan kamu dan keluargamu hidup nyaman seumur hidup."

Mata Alana akhirnya bertemu dengan mata Arya, dan di sana, muncul sepercik api yang tidak bisa ditutupi.

"Tuan pikir saya akan menjual kehormatan saya dengan uang?" tanya Alana, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan. "Saya datang ke sini untuk bekerja, Tuan. Harga diri saya tidak bisa dibeli dengan kekayaan Tuan."

Arya terdiam. Dia sudah memperkirakan penolakan, tapi bukan dengan nada setulus ini.

"Lalu, apa maumu?" tanya Arya, frustrasi dan terdesak. "Kita tidak bisa membiarkan ini. Jika Kakek tahu..."

Saat nama Kakek disebut, raut wajah Alana berubah menjadi ketakutan. Kakek Adhitama adalah satu-satunya pelindungnya di rumah itu. Jika Kakek tahu, seluruh rumah akan gempar, dan Alana pasti yang akan menanggung malu terbesar. Statusnya sebagai perawat akan hancur, dan yang lebih parah, ia akan diusir, dan masa depan adiknya akan terancam.

"Tolong, Tuan," kata Alana, suaranya kembali memohon dan rendah. "Jangan biarkan Kakek tahu. Saya mohon. Jika Kakek tahu, saya akan diusir. Hidup saya-"

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," sela Arya. "Aku akan melindungimu. Tapi kita harus menikah."

Alana menatapnya, seolah Arya baru saja mengucapkan bahasa asing. "Menikah?"

"Ya. Menikah," ulang Arya, memaksakan diri untuk menerima ide yang baru muncul ini. "Itu satu-satunya cara untuk membungkam semua orang, termasuk Kakek, dan juga diriku sendiri. Kita menikah. Aku bertanggung jawab penuh. Dan setelah beberapa saat, kita akan bercerai baik-baik dengan kompensasi yang layak."

Alana menggeleng, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir. "Tidak, Tuan. Saya tidak mau menikah dengan Tuan. Saya tidak cinta. Dan Tuan... Tuan membenci saya. Saya tidak mau terikat seumur hidup karena satu malam yang kelam."

"Ini bukan soal cinta!" bentak Arya, kembali ke mode dominasinya. "Ini soal tanggung jawab, Alana! Ini soal image keluargaku dan masa depanmu yang akan hancur jika Kakek tahu! Kamu pikir kamu bisa kembali ke kampungmu dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Kamu akan dicap kotor!"

Kata-kata Arya menusuk tepat di ulu hati Alana. Dia benar. Dunia tempatnya berasal akan menghakiminya dengan kejam. Ia tidak hanya akan menghancurkan masa depannya, tapi juga menghancurkan mimpi adiknya.

Ia menarik napas panjang, menelan pil pahit takdirnya. Pandangannya yang kosong kembali menatap Arya.

"Baik," kata Alana, nadanya pasrah. "Saya akan menikah dengan Tuan. Tapi ada satu syarat."

Arya menatapnya tajam. "Apa?"

"Setelah kita menikah, Tuan harus berjanji," jeda Alana, menatap matanya dalam-dalam. "Tuan harus berjanji, bahwa Tuan tidak akan pernah menyentuh saya lagi. Pernikahan ini hanya kontrak dan nama. Tidak lebih."

Arya mengangguk kaku, tanpa ragu. Itu janji yang mudah ia berikan. Menyentuh Alana lagi, setelah bencana ini, adalah hal terakhir yang ia inginkan.

"Janji."

Saat janji itu terucap, segel takdir Alana dan Arya telah terpatri. Mereka baru saja sepakat untuk memulai pernikahan terpaksa yang didasari rasa bersalah dan kehancuran, jauh dari kata cinta.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Roby

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku