Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Kau pilih cerai atau ijinkan Haris menikah lagi?!” tanya Ibu mertua tiba-tiba. Jantungku seperti mau copot mendengarnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, kenapa Ibu mertua yang selama ini aku anggap seperti ibu kandung sendiri bertanya demikian?
Aku mendongak sambil mencengkeram sepatu high heels yang baru saja kulepas. Andai saja bukan orang tua, sudah kusumpal mulutnya dengan sepatu ini. Tidak punya perasaan bertanya seperti itu. Pada menantunya pula!
“Maksud Ibu apa?” Aku berdiri menghadap Ibu mertua. Raut wajahnya tidak seperti biasa, tampak tak bersahabat. Sepersekian menit ia tetap bungkam, enggan menjawab.
Aku mengembuskan napas.
Sudah letih pulang kerja, sampai rumah ditodong pertanyaan macam itu. Kulirik Bang Haris. Wajahnya tenang sekali. Bahkan kedua matanya tak ingin menoleh. Memilih asyik menonton televisi. Aku mengembuskan napas panjang.
“Kenapa tiba-tiba Ibu nanya kayak gitu? Masih kurang uang bulanan dari Laila?” Aku bertanya lagi dengan nada tinggi. Kali ini Ibu mertua menyilangkan tangan ke depan dada.
Aiih sombong sekali gayanya. Lupa apa? Kalau mereka itu cuma menumpang di rumah ini. Mentang-mentang sekarang aku sudah tidak punya orang tua, Ibu seenaknya bicara. Dulu aja, sewaktu Abi dan Umi masih ada, mulut Ibu mertua sangat manis, mengalahkan manisnya madu.
“Bukan masalah uang, Laila. Tapi masalah keturunan! Kalian itu hampir tujuh tahun menikah tapi sampe sekarang, kamu belum juga hamil!”
“Lantas?” Aku memicingkan kedua mata. Menunggu jawaban yang sebenarnya jawabannya sudah dapat kutebak.
“Ibu pengen punya cucu!”
“Biasanya Ibu gak masalahin anak, kenapa sekarang tiba-tiba menginginkannya?” tanyaku menelisik.
“Sekarang itu waktunya! Ibu udah tua. Malu juga, tiap ikut arisan selalu ditanya, 'Jeng udah punya cucu belum?’ kan malu.” Halah ... alasan. Aku tahu betul watak Ibu. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal lebih dalam sifat dan tabiat Ibu.
“Kalau gitu, jangan ikut arisan lagi,” usulku sembari berlalu.
“Gak bisa gitu, Laila. Pokoknya Ibu pengen punya cucu! Percuma kamu cantik, kaya raya kalau kamu mandul!” Aku terkejut mendengar kata terakhir yang dilontarkan Ibu. Kata yang sangat menusuk jantungku. Aku membalikkan badan. Menatap Ibu dengan sorot mata tajam.
“Mandul? Ibu bilang aku mandul? Bukannya Ibu pernah lihat hasil tes kesuburan Laila? Kandungan Laila baik-baik saja.” Aku berkilah. Mengingatkan kembali kalau aku pernah periksa kandungan dan hasilnya aku bisa hamil walau aku tak tahu kapan waktunya.
“Gak nutup kemungkinan kalau dokter itu salah!” tuduh Ibu mertua membuka kipas yang selalu ada di tangannya. Aku menggeleng kepala.
Ya Allah sebenarnya ada apa? Kenapa ibu mertuaku jadi berubah ketus begini?
“Bisa jadi Bang Haris yang mandul,” kataku datar.
Memang selama ini selalu aku saja yang disuruh periksa. Dari mulai dicek alat reproduksi sampai keadaan rahim. Dan semuanya baik-baik saja, sehat. Sedangkan Bang Haris, dia selalu berkelit tiap kali aku ajak ke dokter.
“Jaga mulut kamu, Laila! Haris bilang dia udah periksa ke dokter. Dia subur kok,” bela Ibu mertua.
“Kapan? Abang kapan periksa ke dokter? Laila kok gak tau?”
“Bawel kamu! Seminggu yang lalu!” sahutnya tanpa menoleh ke arahku.
“Mana hasilnya?”
“Hilang. Ketinggalan di restoran waktu Abang ketemu klien.”
Aku mencebik. “Heleh alasan! Bilang aja emang pengen kawin lagi. Udahlah Laila capek! Mau istirahat!”
Kutinggalkan ibu dan anak itu. Tak peduli teriakan Ibu mertua yang memanggil namaku.
***
Sarapan pagi ini, membuatku kurang berselera. Bagaimana tidak? Kedua makhluk di hadapanku wajahnya sangat tidak enak dipandang. Cemberut semua.
“Ehm.” Aku berdehem memecah keheningan. Bang Haris melirik. Ibu mertua masih enggan menatapku. Aku menyimpan sisa roti bakar di atas piring.