Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
One Night With You

One Night With You

rhmtnaa

5.0
Komentar
258
Penayangan
1
Bab

Brianna, putri sulung keluarga Abraham, dipaksa menikah dengan putra rekan bisnis ayahnya. Namun, karena merasa belum siap dari segala sisi, Brianna memilih kabur sebelum acara pertunangannya dimulai. Untuk menghindari pengejaran, ia menyusup ke sebuah pesta topeng yang ramai dan berakhir dengan melewati malam bersama dengan seorang pria yang ia temui di sana. Siapakah pria itu? Lalu bagaimana kehidupan Brianna selanjutnya? Like, komen dan share ya :') Follow Instagram @ninanana.4

Bab 1 Perjodohan Mendadak

"Kau akan menikah dengan Gevan."

Seorang lelaki paruh baya berbicara dengan ekspresi meyakinkan. Sedangkan di hadapannya, seorang gadis dengan rambut coklat menatapnya tak percaya.

"Siapa, Gevan?" tanyanya bingung.

"Putra keluarga William."

"Hooh." Gadis itu mengangguk santai sambil mengambil sepotong roti di hadapannya. "Tentu saja aku menolak, Ayah," lanjutnya sambil menggigit roti tersebut.

"Aku tidak bertanya pendapatmu. Ini perintah." Lelaki yang dipanggil ayah itu sudah kehilangan sedikit kesabaran menghadapi putri sulungnya ini. Namun ia masih berusaha tersenyum demi memenangkan obrolan penting ini.

"Kenapa tidak? Pendapatku penting. Aku yang akan tidur dengannya setelah menikah."

"Brianna, mengertilah. Dia lelaki yang baik. Aku hanya ingin kau bahagia ke depannya."

"Aku sudah bahagia, Ayah. Lagi pula umurku baru 20 tahun. Terlalu muda untuk menikah. Selain itu aku juga punya pacar."

"Kau pikir aku tidak tau? Di kampus kau hanya bertengkar dan membuat masalah. Tidak ada lelaki yang mau mendekatimu. Apalagi menjadi pacarmu. Blaire selalu menceritakan itu padaku."

Briana memutar bola matanya dengan malas. Blaire, nama yang membuatnya muak setiap mendengar ayahnya mengucapkan nama itu. Sejak ibunya meninggal, Brianna selalu menyendiri dan menjauhi orang-orang. Bahkan saat ayahnya menikah kembali dan membawa Blaire yang lebih muda satu tahun darinya sebagai adik, ia tak pernah mempedulikannya. Namun beruntung hidupnya tidak seperti kisah tokoh utama novel yang sering ia baca. Disiksa ibu dan adik tiri, dicampakkan oleh ayah kandung dan dibuang kekasih tercinta. Ia sangat bersyukur untuk itu, dikelilingi orang-orang yang penuh cinta membuatnya merasa baik-baik saja. Setidaknya itu yang ia lihat dan pikirkan hingga beberapa bulan yang lalu.

"Saat keluarga kita dalam situasi terpuruk, Keluarga William selalu ada mengulurkan tangannya. Lalu beberapa waktu yang lalu, saat bisnis fashion yang dikelola atas namamu sedang diambang kehancuran, lagi-lagi Keluarga William membantu. Mereka sangat ingin mengenalmu lebih dekat, Sayang. Hingga timbullah perjanjian bahwa kami akan menikahkanmu dengan putra tunggal mereka, Gevan. Dia lelaki yang baik. Ini kesempatan bagus, Brianna. Memangnya kau bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Gevan?" tanya lelaki tersebut.

Brianna berdecak, hebat sekali ayahnya bisa mengetahui baik buruk seseorang. Namun sayang sekali, ayahnya seolah buta pada keburukan dua ular di rumah mereka. Beberapa minggu yang lalu, Brianna baru saja menyadarinya bahwa Blaire selalu 5 tingkat lebih istimewa dibanding dirinya. Lalu kedua wanita yang tinggal bersamanya itu sangat pandai menyimpan ekspresi.

"Kenapa bukan Blaire saja yang menikah dengannya? Dia lebih cantik, pintar dan berbakat daripada aku." Brianna bertanya. Ayahnya terlihat sedikit bingung mencari jawaban untuk menjawab pertanyaan sederhana Brianna. Walaupun Brianna sudah bisa menebak jawaban apa yang akan dikeluarkan oleh ayahnya ini.

"Itu ... Mereka menginginkanmu. Lagi pula kau adalah putri sulung keluarga Abraham, dan kau yang pantas menduduki posisi sebagai Nyonya William selanjutnya, Brianna Abraham."

Brianna menatap tajam wajah ayahnya, sekilas ia melihat guratan senyum licik di sana. Namun ia tak ingin terlalu pusing memikirkan itu, yang paling penting adalah, bagaimana ia bisa keluar dari situasi ini dengan cerdik.

"Baiklah, putri sulung Tuan Abraham ini setuju." Brianna tersenyum kecil. Ia harus menyudahi obrolan ini terlebih dahulu baru berpikir bagaimana menghentikan rencana konyol tentang pernikahan ini. Ia masih ingin mengejar karirnya, bersenang-senang dan mengumpulkan uang untuk hidup jauh dari kota ini. Namun hal seperti itu harus ia lupakan jika ia benar-benar menikah nantinya.

"Kau memang putriku, Brianna." Abraham tertawa kecil.

"Apa itu berarti aku sebelumnya dicurigai sebagai anak pungut?" Brianna bertanya blak-blakan.

"Tentu saja kau putriku. Aku yang membuatmu bersama ibumu." jawab Abraham. Brianna tidak menjawab, setelah menghabiskan jus di gelasnya, ia memilih beranjak tanpa pamit dari restoran kecil tersebut.

"Kau adalah putri sulung Abraham." Ia mengikuti nada bicara Abraham sambil berdecak kesal. "Dasar bodoh, aku tidak akan menikah!"

***

"Nona Abraham! Dengar! Ini bukan pertama kalinya kau membuat kekacauan di perpustakaan. Aku sudah lelah mentolerir semua masalah yang kau buat!"

Seorang wanita berusia sekitar 50an tahun itu terlihat menegang. Amarahnya sudah tak terbendung lagi sejak beberapa menit yang lalu, gadis muda dengan kemeja dibiarkan terbuka dan rambut coklat yang dikuncir acak-acakan itu menghajar seorang gadis seangkatannya (bukan menampar, tapi menghajar sungguhan dengan kepalan tangannya. Wajah gadis yang menjadi korbannya terlihat syok dan sedikit mengenaskan).

"Kau mendengarku, kan?!" bentak wanita itu.

"Tentu saja, Mrs Weasley. Kau berteriak cukup kencang. Bahkan gadis yang sedang memakai lipstik di pojok sana saja bisa mendengarmu."

Semua mata di ruangan itu beralih mengikuti telunjuk gadis tersebut. Sesaat kemudian, Mrs Weasley tersadar dan kembali menaruh fokus pada gadis preman di hadapannya.

"Aku tidak akan memaafkanmu. Mulai sekarang, kau tak diizinkan mengunjungi perpustakaan selama 3 bulan. Kemudian, kau! Bawa gadis ini ke pusat kesehatan mahasiswa!" Mrs Weasley menatap lelaki di sebelahnya untuk membawa korban kekerasan gadis itu yang dari tampilan luarnya terlihat menyedihkan.

"Dasar ratu drama! Aku hanya menghajar wajahmu, bukan kakimu! Menjadi beban adalah kebiasaan dalam dirimu, ya?!"

"Brianna! Cukup! Aku tau kau rajin ke perpustakaan hanya untuk tidur, jadi pergilah. Aku memblokir kartu akses perpustakaanmu!" Mrs Weasley menunjuk lorong ke arah tangga menuju lantai dasar. Tempat pintu keluar berada.

Brianna berdecak kesal. Sebelum pergi, ia mendekati seorang lelaki yang terlihat sederhana dan sedikit norak. Kemeja yang dimasukkan rapi, sepatu seperti pegawai kantor rendahan, rambut yang disisir turun dan terlihat licin oleh minyak rambut, celana kain yang lusuh dan jangan lupa kacamatanya yang tebal. Evan. Lelaki yang merupakan kakak tingkat Brianna itu selalu menjadi bahan bully-an di lingkungan kampus tempat Brianna berkuliah itu. Hal itulah yang tadi menimpa lelaki mengenaskan ini, hal itu juga yang membuat Brianna menghajar gadis tadi.

Menurut pemikiran Brianna, wajar saja jika Evan menjadi target bully. Bagaimana tidak, dilihat dari penampilan dan sifatnya yang pemalu sekaligus tertutup itu saja sudah sangat berpotensi sebagai target bully. Ditambah lagi dengan kelembekan dan ketidakmampuannya untuk membela diri. Benar-benar sasaran yang empuk.

"Hei, kau! Aku mempertanyakan jenis kelaminmu. Kau adalah seorang laki-laki, belajarlah untuk membela diri, dasar bodoh! Kau mau terus-terusan menjadi target bully, hah? Orang sepertimu sangat menyebalkan! Bukan tidak bisa, kau hanya malas berubah menjadi kuat. Maka dengar ini baik-baik, jika kau tidak bisa melihat dengan benar, maka gunakan saja kedua tanganmu seperti tongkat kasti. Pukul ke segala arah dengan sangat keras! Biarkan tulang mereka patah. Satu hal lagi, namaku Brianna dan aku sangat benci pria menyedihkan sepertimu."

Brianna berlalu dari hadapan pria itu. Di belakangnya, Mrs Weasley memijit pelipisnya frustasi.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya pada Evan yang masih tercengang mendengar perkataan Brianna.

"Apa aku terlihat sangat menyedihkan, Mrs?" gumamnya lirih.

Mrs Weasley menganga sejenak. Ia sangat ingin berkata jujur bahwa anak itu terlihat sangat menyedihkan. Hari-harinya selalu tersiksa karena bullyan, entah itu dipukul kawanan pria, di siram jus oleh wanita centil, dianggap tidak ada, dan lainnya.

"Tidak, Evan. Tapi jika bisa kau belajarlah bela diri, Nak. Kau harus menjadi kuat untuk melindungi diri. Bersihkan dirimu dulu." Mrs Weasley kembali ke mejanya.

"Brianna? Menarik." Evan tersenyum mengingat bagaimana Brianna menghajar gadis yang menyiram kepalanya dengan jus karena menghalangi jalan. Namun sedetik kemudian, wajahnya terlihat kesal karena mengingat saat Brianna menyebutnya menyedihkan.

"Kurang ajar sekali dia menyebutku menyedihkan."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku