Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Buy One Get You

Buy One Get You

Erlana Lan

5.0
Komentar
22.8K
Penayangan
33
Bab

Audia (24 tahun) berniat resign dari pekerjaannya gara-gara bos baru yang suka seenaknya. Sayangnya niat itu tak bisa terlaksana karena sang ayah sedang tertimpa musibah. Affangga (31 tahun) dituntut menikah oleh ibunya. Setelah putus cinta bertahun-tahun yang lalu, hatinya membeku. Ia semakin kesal saat ada staf yang mirip mantan tunangannya. Pak Sapto, ayah Audia menjual rumah beserta isinya kepada Bu Sosro (ibunya Affangga) untuk mengganti kerugian akibat modal usaha yang dibawa lari rekan bisnisnya. "Saya jual rumah beserta isinya kepada Bu Sosro seharga 1,7 miliar." "Saya beli rumah tersebut 1,5 miliar dibayar tunai." Sah! Eits. Ternyata di dalamnya masih ada Audia yang sedang tertidur. Apakah artinya anak gadis Pak Sapto termasuk di dalamnya? Tentu saja Bu Sosro tak mau melepaskan kesempatan emas ini. Karungin, angkut, dan bawa ke penghulu bareng Affangga.

Bab 1 Ijab Sah

Wanita bergamis hijau dengan tentengan tas bermerek salah brand ternama asal Paris itu berjalan dengan anggun mengikuti lelaki setengah baya yang sebagian rambutnya sudah kelabu. Namanya Damayanti, usianya sudah 57 tahun, tetapi terlihat sepuluh tahun lebih muda. Wajahnya sebenarnya tak cantik, hanya terlihat bersih dan berkilau khas seperti ibu-ibu sosialita yang biasa muncul di Instagram.

Bu Damayanti berjalan mengikuti Sapto Hadi–lelaki berambut kelabu yang terkenal sebagai pengusaha kuliner Ayam Goreng Bu Hadi. Tiga sebelumnya Bu Damayanti sudah menyelidiki keluarga itu. Kesempatan untuk mengenal datang ketika rumah lelaki itu dipasang di salah satu situs jual-beli.

Sapto Hadi sibuk menjelaskan kelebihan rumah yang dijualnya. Rumah dengan luas bangunan 75 m2 itu terletak di hook dengan luas lahan 200 m2. Bu Sosros sebenarnya tak perlu membeli rumah baru, karena perusahaan suaminya bergerak di bidang properti. Ada alasan khusus yang tentu saja tak mungkin ia ceritakan kepada si pemilik rumah. Alasan yang bersifat pribadi.

"Bagaimana Bu Damayanti? Rumah ini sudah saya renovasi. Ini saya hendak jual beserta isinya. Bisa nego, kok, Bu. Yaaa ... kurang-kurang dikit dari yang saya patok." Sapto Hadi berusaha meyakinkan wanita di sampingnya. Sudah hampir enam bulan belum ada satu pun yang melihat rumahnya. Banyak yang menghubungi via telepon, tetapi semuanya perantara alias calo. Dia ingin berhubungan langsung dengan calon pembelinya agar tak perlu menyiapkan fee saat rumah terjual.

"Rumahnya saya cocok, perabotannya sebenarnya saya tak perlu, Pak. Bagaimana, ya?" Bu Damayanti menjeda kalimatnya. Pandangannya menyapu sekeliling. Model mebelnya sudah tua dan ketinggalan zaman. Jelas tak cocok dengan gaya putra sulungnya yang elegan. Namun, bahan kayu yang terlihat kokoh menarik perhatiannya.

Sapto Hadi yang menyadari arah pandangan Bu Damayanti segera menghampiri meja makan dan mengelus permukaannya. "Ini kayu jati asli, lho, Bu. Saya datangkan langsung dari Jepara. Beberapa perabot lain juga sama,''ujarnya mantap. Ia berharap harganya cocok dan hari ini juga pembayaran diselesaikan. Bank tutup kas sekitar jam tiga, jadi masih ada waktu beberapa jam lagi.

"Pak Sapto mau buka harga pasnya berapa?'' Bu Damayanti lalu menghela napas. Sebenarnya ia selalu menggunakan jasa asisten untuk membantunya mengurus transaksi. Demi misi pribadi, kali ini ia turun tangan langsung. "Saya yakin rumah ini memiliki banyak kenangan," lanjutnya.

Bu Damayanti bukannya tak tahu berita gonjang-ganjing usaha Ayam Goreng Bu Hadi. Lelaki di hadapannya terlilit utang sejak meninggalnya sang istri. Segala informasi tentang itu telah ia kantungi.

Sapto Hadi terdiam sesaat. Ia ingat mendiang istrinya. Rumah itu memang ia beli sebelum menikah, tetapi pemilihan perabot semua dilakukan sang istri. Tentu saja banyak kenangan. Mereka sudah tinggal selama dua puluh tahun lebih. Namun, kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk mempertahankan asetnya. Selain modal usaha kuliner yang dibawa lari rekannya, beberapa usahanya juga mengalami kerugian karena ulah orang-orang yang tak bisa dipercaya. Ditambah lagi ada saudara-saudara orang tuanya yang menginginkan bagian warisan dari Keluarga Hadi.

Audia Melodita, putri semata wayangnya telah menentang habis-habisan saat mengetahui rumahnya hendak dijual. Namun, itu satu-satunya jalan keluar terbaik sebelum pihak bank menyitanya. Salah satu kesalahan besarnya adalah menggunakan suntikan modal dari bank karena ambisinya untuk membesarkan usaha dan begitu mudah percaya kepada orang lain untuk membantu mengelola bisnisnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Sapto Hadi harus cepat mencari solusi terbaik untuk mengatasi kerugian yang lebih besar.

"Saya buka harga satu delapan, Bu. Kalau deal, hari ini juga transaksinya,'' jawab Sapto Hadi. Semakin lama tawar-menawar, semakin ragu hinggap. Ia bertekad suatu saat akan membeli rumahnya kemabli meskipun nanti harganya jauh lebih mahal dari harga saat ini.

"Satu enam, Pak. Saya berani segitu,'' ujar Bu Damayanti sambil menatap sekeliling. Tak ada satu pun foto terpajang, padahal ia berharap ada foto keluarga atau foto lain yang memperlihatkan orang yang ia cari.

"Satu tujuh setengah beserta segala isinya, Bu. Tolong jangan ditawar. Kalau satu enam, terpaksa beberapa barang saya keluarkan dari rumah,'' timpal Sapto Hadi.

Bu Damayanti membetulkan letak kacamatanya. Seharusnya ia tak menawar, karena niat awalnya bukan mendapatkan aset dengan harga miring. "Kalau satu tujuh beserta segala isinya saya bayar hari ini juga. Tanda jadi 500 juta saya transfer sekarang, sisanya kita selesaikan di Bank. Bagaimana?''

Pak Sapto menggosok-gosok dagunya. Selama dua menit ia terdiam. "Baik, Bu. Satu tujuh bila transaksi pembayarannya hari ini,'' ujarnya menyerah.

Bu Damayanti mengeluarkan ponsel lalu melakukan panggilan. "Man, masuk ke sini jadi saksi,'' ujarnya kepada asisten yang menunggunya di mobil.

Beberapa menit kemudian seorang laki-laki berusia awal empat puluhan yang dipanggil Man masuk lalu menghampiri Bu Damayanti. "Saya, Bu,'' sapanya sambil mengangguk.

"Kamu jadi saksi deal harga rumah ini, ya. Nanti kita ke bank untuk sisa transaksinya,'' perintah Bu Damayanti.

Lelaki bernama Herman itu mengangguk.

Sapto Hadi mempersilakan Bu Damayanti duduk berhadapan dengan dirinya. Sebentar lagi kalimat ijab transaksi diucapkan. Putrinya pasti sedih saat tahu rumahnya hari ini dijual. Mereka baru sebulan pindah ke rumah yang lebih kecil. Pakaian dan barang-barang pribadi sudah mereka pindahkan. Audia awalnya hendak membawa tempat tidur kesayangannya, tetapi kamarnya di rumah baru hanya berukuran 3x3 meter.

Bu Damayanti mengeluarkan alat token bank berwarna biru. Melakukan transfer via mobile banking dengan nilai besar hanya bisa menggunakan PIN dari token. Itulah kenapa ia membawanya hari ini.

"Pak Sapto punya nomor rekening bank yang ini, 'kan? Kalau banknya sama, cepat masuk dananya,'' tanya Bu Damayanti.

Sapto Hadi mengangguk lalu mengeluarkan ponsel dan bersiap mengeja nomor rekeningnya.

Beberapa menit kemudian transfer berhasil. Uang muka telah sampai ke rekening Sapto Hadi. Wajahnya seketika semringah. "Alhamdulillah, sudah masuk, Bu. Kita bisa mulai ijabnya sekarang."

Tiga puluh menit sebelum kedatangan Sapto Hadi dan Bu Damayanti.

Audia turun dari motor ojek daring lalu bergegas membuka gerbang rumah yang di depannya ada spanduk kecil dengan tulisan 'Dijual TP. Hub. 08xx xxxx xxxx'. Selain ayahnya, ia pun memegang kunci duplikat. Ada barang pribadi yang lupa ia bawa. Album foto lama yang berisi foto-foto kenangan almarhum ibunya.

Gadis berparas manis itu langsung masuk ke kamarnya. Dadanya terasa sesak saat menyadari akan berpisah dengan segala kenangan di rumah masa kecilnya. Dengan tangan gemetar ia membuka laci di dalam lemari pakaiannya yang sudah kosong. Sebuah album foto lama berbentuk persegi dengan perpaduan hitam-emas ia ambil dari dalam laci.

Hari ini, Audi sengaja cuti sehari dari tempat kerjanya, karena rindu ingin tidur di kamarnya. Sebelumnya ia memastikan gerbang dan pintu utama dikunci kembali agar tak ada orang lain masuk di saat ia tertidur nanti.

"Mah, Audi janji suatu saat akan mendapatkan rumah ini kembali entah bagaimana caranya. Pokoknya Audi janji,'' lirih Audi sambil memeluk album itu. Ia melangkah perlahan menuju tempat tidurnya yang kasurnya sudah polos tanpa dilapisi sprei.

Foto-foto masa muda ibunya hingga memiliki dirinya tersusun rapi dari halaman pertama hingga akhir. Audia tersisak sambil semakin erat memeluk album foto itu. Ia merebahkan diri di samping kasur lalu tertidur.

***

Sapto Hadi menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Saya jual rumah beserta isi di dalamnya kepada Bu Damayanti dengan harga satu miliar tujuh ratus juta dibayar tunai hari ini,'' ujarnya lantang. Tangannya ia letakkan di atas kuitansi bermaterai yang barus saja ia tanda tangani dengan Bu Damayanti.

"Saya terima rumah beserta isinya dengan harga tersebut, dibayar tunai hari ini juga,'' balas Bu Damayanti mantap.

Mereka tidak bersalaman, hanya menyentuh kuitansi penjualan saja.

"Sah!'' Herman berseru lalu mengangguk.

Audia terlonjak saat mendengar kata sah berkumandang. Kesadarannya masih timbul tenggelam saat kedua matanya terbuka. Apa mungkin ada yang melakukan ijab kabul di dalam rumah ini? Setelah tiga menit duduk, gadis itu beranjak lalu melangkah ke luar.

Bu Damayanti dan Sapto Hadi sama-sama menoleh saat mendengar suara kamar pintu dibuka.

"Audi ...." Sapto Hadi melongo saat menatap putrinya.

"A-ayah ngapain? Kenapa sah-sahan? Jangan-jangan Ayah nikah lagi, ya?'' Audia syok menatap ayahnya yang sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik yang berpenampilan mewah. Gadis itu lalu menutup mulutnya. "Ayah jual rumah ini untuk menikah dengannya!'' serunya sambil menunjuk Bu Damayanti.

"Hush! Ngawur kamu, Di. Ini Bu Damayanti yang mau membeli rumah kita,'' timpal Sapto Hadi.

Bu Damayanti tersenyum. "Tadi di dalam ijab, Pak Sapto menyebut rumah beserta isi di dalamnya, 'kan? Apakah itu termasuk gadis ini?'' tanyanya.

Audia tertegun. Suara wanita di hadapannya mirip dengan seseorang yang ia kenal. Ia berjalan mendekat untuk melihat wajahnya dengan jelas. "Tan-tante ...," lirihnya.

"Lho, Audi kenal dengan Bu Damayanti?'' Sapto Hadi menatap keduanya dengan heran.

***

Audia masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa rumah berserta isinya dibeli oleh Bu Damayanti?

"Maafkan Ayah, Di. Suatu saat rumah itu akan Ayah beli lagi." Sapto Hadi menggenggam tangan putrinya. "Pegang janji Ayah,'' lanjutnya.

Bukan itu, Yah. Audia memijit pelipisnya. Di dalam ijab disebutkan dengan jelas bahwa yang dijual adalah rumah beserta isinya. Itu berarti termasuk dirinya yang sedang tertidur di dalam kamar.

"Ayah tahu apa yang Ayah lakukan?'' tanya Audia. "Mana ada seorang ayah yang menjual putrinya sendiri,'' lanjutnya dengan bibir gemetar.

"Mana ada jual-beli manusia, Di. Bu Damayanti juga paham itu,'' timpal Sapto Hadi.

"Ayah juga kenapa mengiyakan saat Bu Damayanti menjodohkan Audi dengan putranya,'' protes Audia.

"Ah, itu A-ayah ...." Sapto Hadi menggaruk kepalanya. "Tapi rumah itu nanti bisa menjadi milikmu kembali, Di. Ingat pesan Bu Damayanti, rumah itu katanya akan diberikan kepada putra dan menantunya. Di, daripada jatuh ke tangan orang lain, makanya Ayah refleks mengiyakan saja,'' lanjutnya membela diri.

"Aih, Ayah ini." Audia merasa kepalanya pusing. Pertama, soal bos yang suka seenaknya di kantor. Siapa lagi kalau bukan Affangga, CEO yang ketus dan dingin. Ia berencana mengajukan surat pengunduran diri karena tidak tahan bekerja dengannya, tetapi melihat kondisi sang Ayah, niat itu ia urungkan.

Apakah perjodohan antara dirinya dan putra sulung Bu Damayanti adalah jalan keluar terbaik saat ini? Bukankah ia selain mendapatkan rumahnya kembali juga bisa keluar dari perusahaan milik Affangga?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku