Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Semalam Dengan Si Bos (One Night Stand)

Semalam Dengan Si Bos (One Night Stand)

Granger

5.0
Komentar
2.8K
Penayangan
10
Bab

21++ (WARNING, AREA DEWASA) Pria itu menatap nakal Rein menyeringai, seolah menelanjangi dengan sorot misteriusnya. "Aku ingin mencicipinya dari bibirmu." Rein bagaikan tersambar petir tatkala pria asing yang belum ia ketahui namanya itu mulai mendekat untuk menjamah. Padahal, di sisi lain Rein tengah dilanda kegalauan karena usai dicampakkan oleh Leon--Si mantan kekasih yang memilih menjalin hubungan dengan gadis baru. Reina Patricia Ellordi, gadis cantik 24 tahun yang akhirnya melepaskan kegadisannya dengan si pria tanpa nama sekitar satu setengah tahun lalu, seketika shock begitu mendapati Bos di kantornya ternyata adalah sosok pria yang sama! Brandon El Carro, CEO somplak yang menjadi incaran para gadis karena sikapnya yang humoris serta wajahnya yang terlewat sempurna membuat Rein terjebak di lubang yang sama. Sampai pada guncangan besar terjadi, Brandon yang seharusnya menjadi ayah dari mahkluk yang dikandung Reina, di saat yang sama malah dijodohkan dengan wanita lain demi keberlangsungan perusahaan. Satu persatu bayangan masa lalu kelam Brandon yang terkuak ke permukaan, seketika mulai menggerogoti citranya sebagai pria sempurna. Akankah Reina bertahan?

Bab 1 1 First Met

1# First Met

"Lebih memilih wanita jalang, lalu membuang wanita berkelas sepertiku? Sinting," desis Rein. Sedetik kemudian, ia memukul setir mobilnya dengan kekuatan penuh hingga menimbulkan suara klakson yang berisik.

TIINN!

Dalam kondisi mengamuk, karena usai dicampakkan oleh Leon-si mantan kekasih, rasanya Rein amat membutuhkan alkohol untuk saat ini. Tragedi putus cinta itu terjadi ketika Rein mendatangi apartemen Leon niat memberi kejutan. Yeah, hari ini pria itu memang sedang berulangtahun yang ke 24.

Sehingga, berbekal kue ulang tahun dan belasan balon warna-warni di genggaman, Rein justru nampak begitu menyedihkan-karena begitu pintu apartemen terbuka, pemandangan yang terpampang nyata adalah Leon yang tengah memadu kasih dengan wanita lain.

Sungguh, bahkan Rein hanya bisa terdiam untuk beberapa detik, apa lagi saat iris matanya yang suci bersirobok dengan pantat yang tengah bergoyang di atas tubuh Leon. Begitu sadar mereka tengah dipergoki, Rein refleks melempar kue beserta balon-balon sialan yang ia bawa, lalu pergi kabur begitu saja.

"Gila! Ini gila! Dunia memang sudah tidak waras!" pekik Rein histeris. Giginya bergemeletuk menahan amarah. Mata lentik yang biasa memancarkan keceriaan, kini nampak begitu merah seperti monster yang akan melahap siapa pun di hadapannya.

Lucunya, bukannya mengejar dan meminta maaf ala-ala di drama Korea seperti pada umumnya, Leon justru membiarkan Rein serta hanya mengirimkan pesan singkat melalui chat aplikasi hijau yang berbunyi; 'Sudah lama aku menyembunyikan ini darimu. Lebih baik kita berhenti di sini, membuatmu kecewa bukan niat awalku. Kuharap kau bisa menerima keputusan ini. –Leon'

"Sial! Sial! Sial!" umpat Rein tanpa henti. Ia kembali tergugu.

SYUUT!

Tanpa melihat spion lagi, ia banting setir berbelok ke Summerlounge-tempat gemerlap khas dunia malam yang selalu menjadi tujuan Reina Patricia Ellordi di kala gundah. Ia sudah tak peduli lagi akan bagaimana jadinya jika menikmati alkohol sendirian. Mengingat selama ini , jika pergi ke sana ia selalu membawa Sisca-sepupunya. Namun, tidak dengan hari ini.

Kedatangan Rein langsung disambut oleh Hugo, si bartender yang memang sudah sangat hafal dengannya. Sebotol penuh alkohol berhasil Rein tenggak dalam waktu singkat. Air matanya terus berderai saat mengingat bajingan yang mencampakkannya hari ini. Pikiran Rein kalut. Bodoh rasanya jika tidak patah hati. Apalagi, tiga tahun menjalin kasih bukan waktu yang singkat.

"Bajingan! Susah payah menjaga hati, tapi di belakangku kau justru bermain api dengan jalang!" desis Rein menggebu-nggebu. Sedetik kemudian, ia menenggak tetes terakhir alkohol di genggaman.

"Apakah kau baik-baik saja, Nona?"

Rein menggeleng dan menepis tangan Hugo yang mencoba untuk menolongnya bangkit. Yeah, karena saking mabuknya, gadis itu sampai hampir terhuyung ke samping kursi.

"Jangan hiraukan aku," ujar Rein singkat. "Aku masih waras."

"Jangan segan memanggilku jika membutuhkan bantuan, Nona."

Rein hanya menanggapi Hugo dengan kibasan tangan di udara. Sementara Hugo Cuma geleng-geleng kepala, lalu memilih untuk melayani pelanggan lain.

Botol alkohol kosong Rein hentakkan ke atas meja dengan malas. Rasa pusing yang menjalar di pelipis, membuatnya sadar bahwa ia tidak akan kuat untuk pulang dan menyetir setelah ini, sehingga akhirnya gadis itu memutuskan memesan sebuah kamar yang merupakan salah satu fasilitas tambahan di SummerLounge.

Setidaknya, nantinya bisa digunakan singgah sampai besok pagi.

Lucunya, baru istirahat selama dua jam dan bangun untuk membersihkan wajahnya yang awut-awutan, Rein justru kembali keluar. Satu kali mabuk, nyatanya belum membuat gadis itu puas untuk membuat pikirannya melayang agar bisa melupakan kejadian buruk hari ini.

Tiap kali akal sehatnya kembali bekerja, bayangan penghianatan Leon selalu muncul di permukaan. Membuat pelupuk mata Rein kembali mengembun. Sial, tetapi kini yang bisa dilakukannya hanya menahan tangis sembari kembali menikmati alkohol sendirian seperti jomblo kesepian.

"Seorang wanita tidak baik minum sendirian, Sweety." Suara barito khas lelaki membuat Rein menoleh. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa lelaki yang menyapanya pasti tidak lebih dari pria jelek miskin yang mencoba menggoda wanita asing. Namun sayangnya, kali ini tebakan Rein tidak tepat sasaran.

"Allo. Aku duduk di sebelahmu, karena memang kosong." ujar pria itu lagi. "Tidak masalah, 'kan? Apakah kehadiranku mengganggumu?"

Rein yang didatangi tiba-tiba, hanya bisa terperangah dan mengerjap. Akhirnya, terjadilah adu pandang antar dua manusia yang baru saja bertemu untuk kali pertama.

Raut wajah dengan rahang tegas, alis lebat dan mata setajam elang itu membuat dada Rein berdesir. Ditambah lagi, ketika Rein melirik ke bawah, gadis itu langsung tau bahwa pria di sampingnya bukan sembarang manusia.

Ya, sepatu merk Passion Diamond Shoe memang salah satu dari sekian merk sepatu termahal di dunia. Dalam sekali lirik, Rein paham bahwa pria tanpa nama ini pasti berasal dari keluarga konglomerat.

"Mooi."

Rein sontak mendongak begitu mendengar si pria lagi-lagi berbicara.

Apa katanya? Batin Rein bingung, tak memahami artinya.

Pria tanpa nama itu mengulang ucapannya, "Mooi." Lalu mendekat dan berbisik, "Bahasa Belanda. Artinya, cantik."

Kemudian, tanpa segan ia meraih sebotol alkohol yang tadinya berada di genggaman Rein, lalu menuangkannya ke dua buah gelas. Gerakannya sungguh gemulai, hingga membuat Rein tanpa sadar terhipnotis. Karenanya, gadis itu bahkan lupa untuk bernapas.

"Hhh."

Dan ketika ia sadar sudah waktunya untuk menghirup udara, aroma maskulin khas pria itu justru menginvasi sebagian paru-parunya. Damn good. Kenapa aroma tubuh pria ini jauh lebih memabukkan ketimbang alkohol yang sedang kunikmati? Pikir Rein mulai melantur.

"Bersulang?" sang pria tanpa nama menyodorkan gelas.

Bagi Rein, ia berani bertaruh bahwa kulit sawo matang khas pria Asia-Eropa itu cukup menggetarkan hati wanita siapapun. Bahkan, Rein mungkin juga salah satunya. Rein mendadak tersenyum.

Diam-diam, ia menatap bola mata sang lelaki lamat-lamat. Gila, kenapa warnanya coklat sekali? batinnya.

"Bersulang atau mau aku pergi saja?" tanya si pria tanpa nama lagi.

"Bersulang," jawab Rein akhirnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Rein tidak bersikap cuek pada pria asing yang baru ia temui.

Mereka berdua mengangkat gelas berisikan minuman memabukkan itu ke udara hingga menimbulkan suara yang berdenting nyaring, lalu meneguknya sampai habis.

"Sendirian saja?" tanya lelaki itu sambil melengkungkan senyuman.

"Berdua. Denganmu." Rein menggigit bibir bawahnya, memang niat ingin sedikit menggoda. Efek alkohol selain membuat akal sehatnya mulai bergeser, rupanya juga meningkatkan hasratnya dengan cepat. Aneh, bahkan sensasi ini baru Rein rasakan ketika bertemu pria tampan seperti saat ini.

Lihat, Leon! Jika kau bisa mencampakkanku, maka aku bisa menggaet pria lain yang lebih darimu! Gumam Rein dalam hati.

Demi membuat kepalanya lebih rileks lagi, Rein pun mengambil alkohol dan meneguknya lebih banyak.

"Ahh!" Rein memekik kecil. Sensasi pahit yang menyejukkan seketika memenuhi kerongkongannya.

"Well," desis si pria asing dengan senyum meremehkan. "Akan kutebak mengapa gadis semanis dirimu datang ke tempat ini seorang diri. Jika salah, kau boleh meminta apapun padaku."

"Dan jika kau benar?" balas Rein tidak sabar. Tatapannya tidak terlepas dari sorot coklat pria asing di sampingnya.

"Maka kau harus memenuhi permintaanku. Impas."

"Deal." Rein menghela napas, menopang dagu dan masih mengamati wajah tampan di hadapannya. Entah setan apa yang merasukinya, mungkin pengaruh alkohol membuatnya menjadi sensitif dan lupa diri.

Ada semacam sensasi menyenangkan ketika melakukannya. Dadanya lega, karena ia merasa bisa menebus perih di dalamnya, meski Leon-si bajingan itu tidak berada di sini. Semacam kiat balas dendam tak terlihat, tetapi tetap membuat batinnya puas.

"Usai dicampakkan mantan kekasih?" Alis lelaki itu naik.

"EH?" mata Rein sontak melebar.

Sang pria asing itu tertawa sumbang. "Celaka. Kurasa tebakanku tepat sasaran."

"Bagaimana bisa ... kau ..." Ia menatap sang lelaki dengan sayu dan setengah memohon. Lucu sekali, berani-beraninya gadis itu memasang wajah menggemaskan dan manja di hadapan lelaki asing yang belum dikenalnya sama sekali?

"Kemarilah. Aku ingin kau memenuhi permintaanku."

Rein menelan salivanya kuat dan mendekat. Jujur, dadanya mulai berdegup kencang. Ia penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

"Aku ingin ..." sang pria merangkulkan sebelah tangannya ke pundak Rein, sementara tangannya yang lain meraih botol alkohol yang sudah tersisa setengah. "Menyicipi sedikit minuman dari botol ini."

"Silakan saja," jawab Rein agak mencicit.

Namun, si pria tanpa nama menyipitkan mata dan mengerling nakal. "Tapi dengan cara yang lain."

"Cara yang lain?" alis Rein mengerut indah. Sementara sang pria tampan menelengkan kepalanya sedikit dan menatap wajah Rein dengan lekat. Membuat dada gadis itu lagi-lagi berdesir. Sial, kenapa pria asing ini begitu rupawan?

"Aku ingin mencicipinya dari bibirmu."

DEG!

Bingo. Ibarat menarik busur panah, dua manusia itu seperti tengah mendapatkan jackpot. Sama-sama rupawan, sama-sama tengah saling memancing dan menggoda. Meski seharusnya Reina lari dari sana saat itu juga, karena ia selama ini adalah tipe gadis yang tidak mudah ditaklukan.

Untuk beberapa saat, Rein akhirnya mencoba membuat keputusan. Alih-alih kabur, gadis itu justru meraih botol alkohol dari sang pria dan meneguknya sedikit. Sengaja, di dalam rongga bibirnya ia menyisakan sedikit cairan memabukkan itu, kemudian....

CUP!

Rein menarik tengkuk sang pria dan menempelkan bibirnya di atas bibir tebal yang menggairahkan itu.

"Hmm," suara merdu itu lolos dari celah bibir keduanya, tatkala cairan itu mulai berpindah dan meninggalkan rasa manis bercampur pahit khas alkohol di waktu yang bersamaan. Sensasi itu sungguh menggelitik.

Rein merasakan perutnya seperti diaduk-aduk dari dalam. Bibir kenyal milik pria itu membuatnya candu dan tidak ingin berhenti untuk memagut. Tangannya bahkan refleks memeluk leher sang pria untuk memperdalam ciuman. Ketika sang pria membalas lumatan itu dengan sama dalamnya, Rein seakan meleleh.

Kegiatan berciuman ini yang amat mendebarkan. Bagaimana pun juga, meski sudah berkali-kali melakukanya dengan sang mantan pacar, tetapi kali ini tetap terasa berbeda. Bagi Rein, ini adalah kali pertama ia melakukannya dengan pria asing. Agak gila, tetapi apa boleh buat jika dilakukan sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian di hari buruk?

"Emmm." Rein membelitkan lidahnya, kemudian melumat bibir atas sang pria. Tangan sengaja ia kalungkan di leher untuk menikmati momen yang ada. Namun saat Rein mulai menginginkan lebih, sedetik kemudian si pria justru melepaskan pagutan itu dengan cepat.

Gadis itu kecewa? Tentu saja. Tidak usah ditanya.

"Kecewa?" bisik si pria dengan nada menggoda sembari masih terengah, seakan bisa membaca isi kepala Rein dengan mudah. Sementara yang ditanya hanya bisa mendongak sayu dengan tatapan memohon.

Beruntungnya, belum sempat Rein menjawab dan kecewa terlalu jauh, sang lelaki tanpa nama menangkap tubuh Rein kembali. Kali ini lebih erat dari sebelumnya. Membuat Rein membesarkan pupilnya. Mata mereka saling beradu untuk beberapa saat.

Lelaki ini benar-benar tampan disertai dengan sorot matanya yang teduh dan menenangkan. Begitu dalam, begitu memabukkan.

"Kau...."

"Ya, Sweety?"

"Kau tampan," ujar Rein polos. Tangannya tergerak menyentuh pipi sang pria sambil tersenyum. "Bolehkah aku..." Degup jantung Rein terasa lebih kencang dua kali lipat dari biasanya.

Bibirnya kembali mendarat di bibir pria asing itu untuk beberapa detik. Gila memang. Dalam keadaan mabuk dan menyedihkan, Rein justru terbuai dengan ketampanan lelaki asing dan menciumnya tanpa permisi.

"Tidak." Rein melepaskan dirinya sendiri karena mulai tersadar jika dirinya melakukan kesalahan. "I have to go. Tidak seharusnya aku-"

SRET!

Ketika Rein akan pergi, pria itu menarik gadis itu lebih erat ke dalam dekapan.

"Tidak seharusnya apa?" tanya sang pria heran. "Kau yang memulai, maka dari itu mari kita akhiri bersama-sama."

Jika tadi yang selalu bergerak duluan adalah Rein, kali ini justru pria itu yang mencium terlebih dulu. Niat Rein yang tadinya ingin pergi, kembali sirna. Sial, iman Rein memang selemah itu.

Cukup lama keduanya berada dalam posisi saling mengecup. Rasa panas yang menjalar di sekujur tubuh Rein, membuat efek mabuk yang dirasakannya lambat laun mulai menghilang. Tergantikan dengan kesadaran penuh, tetapi berujung pada perasaan candu seperti mendambakan sentuhan yang lebih.

Rein hampir kehabisan napas, tetapi sang lelaki masih menelusupkan lidahnya untuk mengabsen gigi serta rongga mulutnya semakin dalam. Sesekali pria itu juga menggigit kecil bibir bawah Rein.

Candu sekali. Napas keduanya tersengal. Sepersekian detik kemudian, lelaki itu melepas ciumannya.

"Hhh, kau membuatku sulit berhenti."

Rein mengusap dada pria yang barusan menciumnya dan tersenyum. Bukan ciuman pertamanya dengan lawan jenis, tetapi rasanya begitu candu.

Sang pria masih memeluk tubuhnya dengan posesif. Tatapannya yang teduh semakin mengunci kesadaran Rein sembari menempelkan dahi masing-masing. Tangan lelaki itu perlahan meremas pinggul Rein dengan sensual. Senyum iblis dari si empunya bibir tebal itu terukir.

Tubuh Rein seketika meremang.

"Aku bukan pria brengsek yang akan menyentuh sembarangan gadis. Tapi kurasa, malam ini kau yang memulai semuanya," ujar lelaki itu dalam. "Namun ketahuilah, Nona. Aku tidak akan melanjutkannya jika tidak mendapatkan izin darimu."

Mata Rein memejamkan matanya dan sibuk mengatur napasnya yang masih satu dua. Gadis itu tau betul, ke mana arah pembicaraan si pria tanpa. Tangan Rein pun tergerak menyentuh pipi pria itu dengan lembut. Ia bergeming, tidak menjawab.

"Aku bersedia pergi. Pun juga tinggal. Katakan, apa kau ... juga menginginkanku?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Granger

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku