Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Poetry Of Life
5.0
Komentar
479
Penayangan
2
Bab

Bagaimna sebenarnya para paria hidup dalam kesejahteraan sekalipun melepas diri dari materi? Sangat sulit untuk dinalar, tapi begitulah para paria membuka tabir dan hakekat kehidupan.

Bab 1 1

"Aku ingin menjadi penyair, sejenak diam, lalu berkata banyak. Aku ingin seperti awan, sejenak melukis imaji manusia lalu mengajarkan bentuk kepada laut getir di bawah sana." – Paria

Hari-hari terus berganti, malam dan siang berputar, berotasi dengan angkuh, memutar waktu dengan begitu sombong, menimpakan nasib warna-warni kepada seluruh manusia. Namun bagi seorang Paria, waktu hanyalah tentang dunia yang berganti, dan warna adalah selalu sama. Seorang Paria, diam dalam kebutaan materi, bisu dan kelaparan, sepi dan merindu.

Kata orang-orang itu, untuk apa dunia diisi oleh para penyair, mereka hanya merangkai kata tanpa makna, bahkan dalam ketidakpastian, mereka tak mampu mencipta bentuk apapun. Lalu di dalam hati orang-orang itu ada yang mencintai, ada banyak kata yang tercipta di dalam kepala mereka, penuh warna dan gagasan yang tak masuk akal.

Paria kerap bertanya pada diri sendiri, tentang apa yang dirasakannya siang dan malam itu. Dia bertanya tentang terang dan gelap, seperti apakah keduanya di dalam nyata dan bagaimana keduanya di dalam mimpi. Apakah makna cahaya itu saat dunia terselimuti awam hitam lebam dan bagaimana gelap itu saat matahari bersinar terang menyilaukan. Paria adalah peragu yang tak tahu bentuk, dia melihat cahaya hanya melalui hatinya yang rapuh. Di dalam kesenyapan, dia tak tahu arti sepi dan di tengah keramaian dia buta akan makna riuh. Lapar dan haus baginya adalah udara, datang tanpa diminta lalu lenyap seakan membunuh.

Seorang penyair yang hidup dalam diam, bertemankan pena dan kertas kusut. Dia hanya makan apa yang dapat dilihat oleh pikiran dan memberi minum pada hati yang dahaga. Dia muak pada gedung tinggi menjulang dan marah pada gubuk reok yang tiangnya telah usang termakan waktu. Ketika zaman bergerak maju, dia berlari jauh ke belakang dan saat waktu memutar kembali dia bersusah payah merangkak ke depan. Waktu baginya adalah statis, bergerak hanya karena orang-orang mewah berganti wajah, zaman baginya hanyalah sebuah lagu, di mana liriknya adalah tentang kesedihan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Vlomontleus

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku