Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
80 Kilos of Beauty.

80 Kilos of Beauty.

ashbeeryl

4.0
Komentar
346
Penayangan
4
Bab

Gadis bertubuh gemuk menjalani kehidupan yang sulit ditengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi standar kecantikan. Pertemanan apalagi cinta, bukanlah sesuatu yang ia impikan. Yang ia mau hanya bahagia. Apakah ia bisa berdamai dengan dirinya?

Bab 1 Chapter 1

“Ayo bangun!”

Sebuah suara membangunkan Fani, ia merasa ada goncangan pelan pada tubuhnya. Dengan berat, ia mencoba membuka matanya perlahan dan melihat sosok bu Retno, ibunya.

“Fani, ayo bangun, mandi, terus sarapan.” Ujarnya lagi.

Fani bangun dan duduk di tepi ranjangnya.

“Bu, aku boleh izin gak masuk sekolah?” Tanya Fani hati-hati.

Bu Retno melirik tajam anaknya.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Gak enak badan.”

Bu Retno memegang dahi Fani lalu mengelus pelan rambutnya.

“Sekolah, ya. Kamu sudah kelas 12, Fan. Kalau besok masih sakit, ibu yang minta izin ke sekolah.” Bu Retno berlalu keluar dari kamar Fani.

Fani mendesah kecewa, ia tahu akan sulit merubah fikiran dan keputusan ibunya itu. Dengan terpaksa, akhirnya Fani mandi dan bersiap ke sekolah.

Seusai bersiap, Fani mengeluarkan alat ukur berat badan dari bawah ranjangnya. Ia berdecak kesal melihat angka 85 dari alat tersebut.

“Ck! Padahal beberapa hari yang lalu masih 84. Kok malah naik, sih?”

Fani mendesah kesal, mengingat angka-angka itu hanya akan membawa Fani pada rangkaian hal-hal yang kurang menyenangkan.

Fani mengambil tasnya dan pamit pada ibunya.

“Bu, aku berangkat, ya.”

“Loh, langsung berangkat? Gak sarapan dulu?”

“Diet!” ujar Fani berlalu.

Hari ini, Fani bertekad untuk berangkat ke sekolah berjalan kaki karena jarak rumahnya ke sekolah tidak begitu jauh. Fani melirik jam di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul 6.30, ia berfikir bahwa tidak apa-apa meskipun sedikit telat.

Gerbang sekolah sudah mulai terlihat, namun bel sekolah sudah berbunyi. Mendengar itu, Fani panik dan berlari.

“Ayo dipercepat larinya!” Teriak pak Prapto, guru Matematika, sekaligus wakil kepala sekolah.

Fani bersusah payah mempercepat gerakan larinya.

“Mangkanya jangan gendut!”

Fani menghiraukan kalimat pedas gurunya itu dan berhasil melewati gerbang, ia buru-buru menuju kelasnya. Beruntung, guru datang tepat setelah Fani duduk di bangkunya.

“Selamat pagi, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?” Bu Tri, guru Fisika, memulai kelas pagi dengan salam hangatnya, lalu mulai menerangkan lanjutan materi Listrik Statis.

“Sebelum kelas selesai, kumpulkan tugas yang ibu beri minggu kemarin, ya.”

Para siswa mulai mengumpulkan buku tugasnya ke meja guru, beberapa siswa terlihat menatap Fani dengan sinis. Fani mencoba untuk tidak peduli.

“Gabby? Silahkan kerjakan nomor 1 di papan tulis, ya. Selagi Gabby mengerjakan, ibu akan mengoreksi tugas kalian.”

Gabby terlihat sedikit kesal dan maju ke depan, tangannya meraih spidol namun gerakannya terhenti sampai disitu, ia tak menuliskan apapun di papan tulis.

“Kenapa tidak dikerjakan, Gabby?” tanya bu Tri.

“Hmm.. anu bu, saya...”

Bu Tri membuka tumpukkan buku dimejanya satu persatu.

“Di meja saya gak ada bukumu, kamu belum mengerjakan tugas?”

Gabby melirik gengnya, Tami dan Nuri pun tampak kebingungan.

“Tami? Nuri? Kalian belum mengerjakan tugas juga?” bu Tri kembali bertanya.

Tami dan Nuri menundukkan kepalanya, bu Tri terlihat kesal.

“Ini bukan pertama kalinya kalian tidak mengerjakan tugas. Kalian bertiga, ayo ikut saya ke ruang bimbingan!”

Bu Tri menyelesaikan pelajaran lalu membawa Gabby dan temannya ke ruang bimbingan.

Satu jam berlalu dan kelas Fisika selesai, kelas selanjutnya adalah kelas Bahasa Inggris, namun bu Yuli tidak dapat menghadiri kelas, kelas pun akhirnya bebas.

Gabby dan kedua temannya telah selesai bimbingan dengan bu Tri dan wali kelas. Ketiga siswa itu jelas kesal, mereka menghampiri Fani dan menarik rambutnya.

“Awww!!!” teriak Fani kesakitan.

“Gara-gara lo, ya! Gue jadi dapet hukuman!” maki Gabby.

“Kenapa jadi salah gue?”

“Gausah ngelak lo! Lo udah janji buat ngasih kita contekkan dan datang pagi-pagi! Tapi, lo malah sengaja datang telat!” ujar Nuri.

“Gue gak janji, dan gue telat karena gak dapet angkot..”

“Alah! Banyak alesan lo!” teriak Tami.

Gabby kembali menarik rambut Fani hingga Fani meringis kesakitan.

“Jangan ngelawan lo, gendut! Tau diri dikit! Sekarang mending lo kerjain tugas kita!” Gabby melirik Nuri.

Nuri melemparkan tiga buku ke muka Fani.

“Awas kalau gak lo kerjain!”

Gabby dan kedua temannya meninggalkan Fani yang hampir menangis. Fani mengedarkan pandangannya pada semua teman sekelasnya, ada yang memandang iba namun tak bisa membantu, dan ada juga yang memandang rendah. Hal seperti ini adalah hal yang selalu Fani lalui selama sekolah, bukan hanya di kelas 12, bukan hanya Gabby dan temannya, bullyan dan cacian menjadi makanan sehari-hari. Mengadu pada guru awalnya adalah cara Fani mencari perlindungan, namun semakin lama, guru-guru terkesan lelah dan meremehkan perundungan pada Fani, Fani pun akhirnya menyerah.

🍂🍂🍂

Jam istirahat dimulai, Fani membeli air mineral dan duduk di bangku kantin. Fani duduk sendirian karena tak punya teman dekat, belum lama ia duduk, ia melihat Gabby dan kedua temannya, Fani pun bangkit dari duduknya agar bisa menghindar. Namun, Gabby dan temannya menghentikan Fani dengan menarik lengannya.

“Mau kemana, lo?” tanya Nuri.

“Duduk!” perintah Gabby.

Fani hanya diam dan tetap berdiri, ia tak ingin menuruti Gabby lagi.

“Duduk!” Gabby meninggikan suaranya.

Melihat Fani yang tidak menurut, Gabby menendang kaki Fani sehingga Fani terduduk dan meringis.

“Gila! Kakinya gede banget, sampe sakit kaki gue nendang dia.” Ujar Gabby.

Nuri dan Tami tertawa terbahak-bahak. Siswa-siswa yang lain hanya memperhatikan dan sesekali berbisik dengan yang lain.

“Tugas kita udah lo kerjain belum?” tanya Gabby.

“Buku-bukunya udah gue simpen di meja kalian.” Sahut Fani.

“Cepet juga lo ngerjain tugasnya. Bagus deh, jadi...”

“Gue gak mau ngerjain tugas lo.” Fani memotong kalimat Nuri.

“Hah? Kok lo makin kurang ajar, ya? Nyari mati, hah?” teriak Nuri.

“Udah gak apa-apa, guys. Biarin aja.” Ucap Gabby.

Fani, Nuri dan Tami terkejut mendengar Gabby.

“Kalau dia gak mau, ya udah biar, jangan dipaksa.”

“Serius lo, Gab?” tanya Nuri tak percaya.

“Iya, mungkin dia capek, jadi..”

Gabby menghentikan kalimatnya dan mengambil air mineral di meja.

“Nih! Gue siram, biar seger!!!”

Gabby menyiramkan satu botol air mineral pada Fani, melihat itu kedua teman Gabby kembali terbahak.

“Ambilin lagi, Tam.” Pinta Gabby.

Fani terkejut dan berusaha menutupi tubuhnya karena seragamnya basah.

“Kenapa ditutup? Malu? Lemak semua, sih. Nih gab, airnya.” Ejek Tami sambil menyodorkan botol air mineral pada Gabby.

Fani tak lagi bisa menahan diri dan mulai berteriak.

“Gue gendut itu bukan dosa!! Kenapa kalian selalu memperlakukan gue kayak sampah? Padahal tingkah kalian yang kayak gini, itu yang lebih pantes disebut sampah!”

Muka Gabby merah padam karena diteriaki Fani.

“Lo! Jaga mulut lo, ya!”

Gabby berusaha menyiram Fani, namun ada tangan yang menghentikannya.

“Udah! Cukup!” ujarnya.

“Yuda? Lo ngapain, sih?” tanya Gabby.

“Udah cukup, Gab. Kasian Fani.”

“Lo kenapa jadi belain dia? Lo harusnya dukung gue, karena lo itu pacar gue! Lo mau putus?” ancam Gabby.

“Iya. Kita putus aja.” Tukas Yuda.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku